Tivana pov
Seharian ini aku main ke rumah Mama. Tadi Alvaro yang mengantarku dan nanti sepulang kantor dia juga yang akan menjemputku kemari.
“Have fun, Darling. Jangan nakal, ya,” pesannya sambil mengecup bibirku mesra.
“Aku ini istrimu Al, bukan anakmu. Masa pesanmu seperti itu? Jangan nakal…hah!” aku pura-pura merajuk.
“Jangan nakal, maksudku jangan pernah melirik pria lain,” Al menowel pipiku.
“Al, please deh. Ini di rumah Mama, mana ada pria lain?”
Al tertawa sambil mengacak-ngacak rambutku.
“Darling, mending kamu buruan keluar dari mobilku sebelum aku berubah pikiran. Apa lebih baik kita balik ke kamar kita saja dan b******a habis-habisan?”
Aku meleletkan lidahku dan secepat kilat keluar dari mobilnya. Dari dalam mobil kudengar suara tawa renyah Al. Dasar m***m! Suamiku memang menggemaskan.
Saat didalam rumah Mama, aku masih tersenyum-senyum mengingat kekonyolan kami tadi. Mama memandang wajahku dengan seksama.
“Apa kamu bahagia dengan kehidupanmu sekarang, Tiv?” tanya Mama.
“Sangat, Ma,” jawabku sambil tersenyum lebar.
Mama tersenyum lega.
“Apa dia baik padamu?”
“Alvaro sangat baik padaku. Dan sangat menyayangiku. Bahkan dia sangat tergila-gila padaku.”
Aku tertawa cekikikan seperti gadis ABG yang baru mengenal cinta.
“Apa dia dari dulu seperti ini, Ma? Maksudku, tergila-gila padaku. Aku kan lupa ingatan, tapi pasti Mama masih ingat.”
“Entahlah, Tiv. Mama tak tahu.”
“Loh, kok gitu? Seperti mama gak kenal Al sebelum dia merit sama aku?”
Mama terdiam, tak menjawab pertanyaanku. Seperti ada alarm yang berbunyi di otakku. Ini aneh!
Mama menghela napas berat.
“Tiv, dengarkan Mama. Ada kalanya lebih baik kita tak mengingat masa lalu. Jangan menengok kebelakang. Toh kini kamu juga sudah bahagia, rumah tanggamu berjalan baik. Masa depan bersama suamimu lah yang terpenting sekarang.”
“Tapi aku ingin meraih kenanganku kembali Ma, terutama kenanganku bersama suamiku.”
Mama menatapku aneh.
“Bagaimana seandainya kenangan masa lalumu justru bisa menghancurkan kebahagiaanmu saat ini? Apakah kau masih ingin mengetahuinya?”
Deg!
Ucapan mama membuatku makin penasaran. Ada apa di masa laluku? Apa ada aib dalam hidupku sebelum ini?
“Maksud Mama, apakah ada hal memalukan di masa laluku? Apa aku…ehm, berbuat aib yang memalukan keluarga?”
Lagi-lagi Mama menatapku aneh, kemudian ia berkata, “tidak, Tiv. Dari dulu kau adalah gadis yang membanggakan bagi Mama. Kehidupanmu bersih, Nak.”
Mendengar jawaban Mama membuatku bisa bernapas lega.
“Bila demikian, apapun yang ada di masa laluku tak akan mempengaruhi kehidupan kami, Ma. Al dan aku saling mencintai, kami akan selalu bersama dan hidup bahagia,” kataku naïf.
***
Pukul 17.30.
Sebentar lagi Al pasti akan datang menjemputku. Uh, rasanya sudah tak sabar ingin bertemu dengannya. Padahal baru saja kami berpisah tadi pagi, kini aku sudah merindukannya. Bahkan demi dirinya, sore ini aku sudah mandi dan berdandan cantik khusus untuk menyambutnya.
Ting…tong…bel pintu berbunyi.
Masa Al sudah datang secepat ini? Ah jangan-jangan ia sama sepertiku, sudah tak sabar ingin berjumpa! Sambil tersenyum aku membuka pintu.
“Al….oh, Kak Ardian.”
Kak Ardian berdiri di depan pintu dan menatapku kagum.
“Hai, Tiv. Kau disini rupanya. Kau terlihat…cantik.”
Pujian Kak Ardian membuat pipiku merona.
“Ah Kak Ardian bisa aja. Kak Ardian cari mama?”
“Iya. Mau mengantarkan titipan dari mamaku. Tapi mumpung kamu ada disini, aku ingin berbincang-bincang denganmu. Sudah lama kita tak bertemu. Aku merindukanmu, maksudku aku rindu berbincang-bincang denganmu,” ralat Kak Ardian segera.
Kak Ardian merindukanku? Stop Tivana! Jangan lagi memikirkan pria lain, hatiku mengingatkan.
“Boleh aku masuk?”
Pertanyaan Kak Ardian menyadarkanku. Ya ampun, dari tadi aku lupa mempersilahkannya masuk. Aku segera membuka pintu lebar-lebar.
“Masuk, Kak.”
Seperti di rumah sendiri, Kak Ardian masuk dan berjalan menuju belakang rumah setelah memberikan titipan dari mamanya untuk mamaku.
“Tiv, yuk kita ngomong-ngomong di gazebo taman belakang. Dulu kita sering menghabiskan waktu disana,” ajak Kak Ardian.
Kami pun berbincang-bincang di gazebo belakang, ditemani secangkir teh hangat dan pisang bakar buatan Mama.
“Bagaimana kabarmu, Tiv?” tanya Kak Ardian ramah.
“Aku sehat, bahagia dan sejahtera. Hahaha…beratku naik hampir dua kilo. Pasti kelihatan ndut banget, ya,” kataku sambil memegang pipiku.
Kak Ardian tertawa terkekeh.
“Gendut dari Hongkong? Kamu masih Tivanaku yang imut cakep dan nggemesin.”
Kemudian Kak Ardian menyadari kesalahannya.
“Maaf, aku tak bermaksud apa-apa, Tiv.”
“Tak apa, Kak. Aku tahu Kak Ardian menganggapku seperti adik sendiri,” kataku lembut.
Entah mengapa Kak Ardian justru menatapku sedih.
“Kau salah, Tiv. Mungkin dulu sekali seperti itu, tapi itu sudah lama berubah,” ucapnya sedih.
“Maksud Kakak? Aku tak mengerti.”
Kak Ardian mendekatkan diri padaku hingga menipiskan jarak diantara kami, lalu ia menatapku dengan intens.
“Mungkin ingatanmu belum kembali dan melupakan hubungan diantara kita, tapi apakah hatimu juga melupakanku?”
Perkataan Kak Ardian membuatku terpana. Perasaanku kacau lagi. Oh Tuhan, jangan biarkan ini terjadi lagi! Al terlalu baik untuk disakiti..
“Apa yang kau rasakan saat kita berdekatan begini? Saat aku menatapmu begini?’ tanya Kak Ardian dengan suara rendahnya.
Kacau! Jantungku berdetak kacau.
Kak Ardian meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Ia melanjutkan ucapannya.
“Saat aku memegang tanganmu, saat aku mengelus rambutmu,” dia mengelus rambutku pelan.
Kacau, kacau sekali, perasaanku sangat tak menentu. Aku terpaku di tempat, tak berani bergerak sedikitpun. Namun dadaku terasa bergemuruh. Apalagi saat Kak Ardian meraihku dalam pelukannya.
“Saat aku memelukmu, apa yang kau rasakan, Tiv?”
Aku hanya menatapnya nanar.
“Aku….aku…”
Kemudian kulihat Alvaro berdiri di dekat kami, matanya berkilat-kilat penuh amarah! Astaga, sudah berapa lama ia disana? Sepertinya ia melihat semua yang dilakukan Kak Ardian padaku. Dia menerjang Kak Ardian dan memukulnya sekuat tenaga! Kak Ardian terjatuh di rumput. Bibirnya berdarah terkena bogem mentah Alvaro. Hampir saja Alvaro menyerangnya lagi kalau saja tidak kutahan.
“Beraninya kamu menyentuh istriku!” kata Al geram.
Kak Ardian tersenyum sinis.
“Istrimu? Istri yang kau curi dariku kan?!”
Perkataan Kak Ardian bagai halilintar bagiku. Apa artinya ini?
***
Dalam perjalanan pulang kami hanya berdiam diri.
Al sepertinya masih marah dan kesal, sedang aku terbenam dalam belitan masa lalu yang tak kupahami.
Sesampainya di rumah Al menarikku ke kamar.
“Cepat mandi! Aku tak mau ada bekas jamahan pria itu,” katanya dingin,
Aku merasa tersinggung dengan kelakuannya ini. Jadi dia anggap aku ini w************n?
“Jadi kamu menganggap aku ini sudah tercemar? Sudah kotor?” sarkasku.
Dia tak menjawabku malah menatapku tak sabar. Aku jadi kesal dibuatnya.
“Aku tak mau mandi!” teriakku menentangnya.
Mendadak dia membopongku dan membawaku ke kamar mandi secara paksa! Dia menelanjangiku dan memandikanku meski aku berontak. Akhirnya dia menciumku untuk menenangkan diriku. Tubuhku melunglai dan tak sadar aku balas menciumnya. Kali ini kami b******a di kamar mandi dengan penuh gairah bercampur kemarahan.
Satu jam kemudian..
Aku berbaring di ranjang kami. Al ada di sebelahku, dia asik mempermainkan rambutku yang masih lembap. Aku memandangi jari-jari tanganku yang mengeriput akibat terlalu lama terkena air.
“Lihat! Ini akibat kelakuan tak sopanmu, jariku berkeriput!” rajukku manja.
Al terkekeh geli. Ia memegang jariku dan menciumnya mesra.
“Maafkan ya, jari kesayanganku.”
Dasar! Bisa saja dia berkilah dari amarahku. Aku tersenyum manis padanya.
“Al, apakah kau mencintaiku?”
Dia terdiam dan memandangku dengan mendalam.
“Bagaimana mungkin kau masih menanyakan itu, Darling? Tidakkah semua terlihat jelas sekali?! Aku mencintaimu sampai diluar batas kenormalanku!” katanya tegas.
Aku hanya ingin memastikan perasaanku dan kini aku sudah yakin, aku mencintai suamiku. Bagiku, Kak Ardian mungkin hanya bagian dari masa lalu. Meski dari ucapannya tadi, mungkin saja kami pernah memadu kasih tapi itu sebelum Alvaro memasuki kehidupanku.
“I love you, Al,” kataku penuh perasaan.
Al tersenyum hangat mendengarnya, lalu ia menciumku dengan lembut.
Bersambung