Alan menghempaskan tubuhnya ke kursi, ia menutup wajah dengan kedua tangannya, kepalanya terasa berdenyut. Segera ia menghubungi Dirga agar mempercepat kepulangannya ke tanah air.
"Mas Dirga, tolong jangan tunda rencana kepulangan Anda ke tanah air. Ini saatnya Anda menemui Tiyas." pinta Alan Pada Dirga melalui telphon.
"Nggak bisa, Lan. Mungkin empat atau lima hari lagi aku baru bisa pulang ke Jakarta," jawab Dirga yang tidak mau tahu masalah yang di hadapi Alan.
"Baik, Mas Dirga, saya akan berusaha terus mengawasi Tiyas." Alan menutup telphonnya. kepalanya berpikir keras mencari cara menjaga dan mengawasi Tiyas sampai Dirga kembali.
Tiba tiba sebuah ide muncul di kepalanga. Bergegas ia menghubungi Sadeq, memintanya agar menjaga dan mengikuti Tiyas malam ini.
***
Siang ini Alan pulang lebih awal, jam dua siang ia akan ta'aruf dengan Adel di rumah Wita dan suaminya.
Alan keluar dari ruangannya, ia sengaja melewati meja kerja Tiyas,
Alan melirik kearah Tiyas, ia tersentak tak menduga mata mereka akan beradu. Walau tak tega meninggalkan Tiyas yang masih berurai air mata, Alan tetap berlalu tanpa mencoba untuk menghibur. Untuk apa jika itu hanya menambah luka?
Tiyas menjerit dalam hati, ingin rasanya ia berlari menahan langkah lelaki itu, memohon padanya agar membatalkan rencana ta'aru nya dengan Adel. namun kakinya seolah terpatri, hanya air mata yang mengalir deras di pipinya membiarkan Alan berlalu dari hadapannya.
Tiyas menseka air matanya saat Ponselnya berbunyi
[ Assalammualaikum, Tiyas, hari ini jam lima sore kita rapat pengurus Bakti sosial di masjid Intirup, ya, ada beberapa agenda yang harus kita bahas bersama.]
Tiyas menghela napas membaca pesan Saddeq, ia curiga Alan yang menyuruh Sadeq. Itu cuma akal akalan Alan saja memasukkannya dalam panitia Bakti sosial yang akan segera berlangsung. Sebelumnya namanya tidak masuk dalam panitia penyelenggara.
Tiyas hanya membaca pesan Sadeq tanpa ingin membalasnya. Kini ia semakin nekad pergi ke diskotik untuk menarik perhatian Alan, setidaknya itulah yang ia harapkan.
Tiyas melanjutkan pekerjaannya. Sebenarnya ia sudah tidak konsentrasi untuk menyelesaikan tumpukan file di meja, namun ia tidak ingin mendapat surat peringatan dari kantor. Ia masih butuh pekerjaan untuk membantu orang tuanya di kampung. Ibunya hanyalah penjual gorengan keliling kampung. Ia beruntung mendapat beasiswa sehingga bisa melanjutkan kuliah hingga selesai.
**
Di masjid Takwa, sudah berkumpul Alan, Adel, dan Dimas, mereka masih menunggu kehadiran Tiyas. Adel duduk bersila di balik tirai hijau yang membatasi syaf laki laki dan perempuan. Adel mencoba menghubungi Tiyas namun ponselnya tidak aktif. Ia sangat mencemaskan Tiyas.
Sementara di dalam kosan, Tiyas sudah selesai mengemasi barang barangnya ia meninggalkan sebuah pesan untuk Adel di pintu kamar. Walau sakit hati, namun ia tidak ingin Adel mencemaskannya.
Tiyas bergegas naik taxi menuju rumah kontrakan barunya di Condet. Sesampainya ditujuan, ia menata barang barangnya. Rumah utu cukup luas untuk di huni seorang diri. Tidak terasa jam sudah menunjuk angka sepuluh malam. Tiyas memesan taxi dan pergi ke diskotik.
Ini kali pertama Tiyas kelayapan dengan busana terbuka di malam hari. Ini kali pertama ia menginjakkan kaki di diskotik. Jauh di dasar hatinya, ada rasa takut yang menghantui, namun kakinya tetap melangkah memasuki ruangan yang penuh dengan gemerlap lampu disco itu.
Ia melihat Anesya duduk bersama seorang lelaki berwajah tampan. Anesya melambaikan tangan padanya, bergegas Tiyas mendekat.
"Mas Adit, kenalin ini Tiyas teman aku." ujar Anesya.
Tiyas tergagap, ada rasa tidak nyaman ditatap lelaki asing seperti itu, ia mulai ragu dengan langkah yang ditempuhnya. Tubuhnya menegang, keringat bercucuran dari punggungnya.
Saat ini yang paling ia inginkan adalah pulang, dan kembali memakai hijabnya.
"Hai, Tiyas, gabung yuk?" Ujar Adit. Sembari melangkah menuju sebuah kamar.
Anesya menarik tangan Tiyas mengikuti langkah Adit. Tiyas menahan langkahnya.
"Nes, gue balik, dulu ya, gue lupa ada janji sama Adel." dalihnya.
"Haha, napa? Lo takut? Nikmatin aja, Yas. Cuma cara ini lo bisa melupakan masalah yang lo hadapi! Yuk, ke dalam!" tarik Anes sedikit memaksa.
Awalnya Tiyas ingin bertahan, tapi tidak punya nyali. Hingar bingar suara musik berpadu dengan gemerlap lampu menghiasi ruang, semua terasa asing baginya. Ini kali pertama ia memasuki gemerlap dunia malam. Tak pernah terpikir sebelumnya, ia mendatangi tempat seperti ini. Ada rasa cemas yang menyusp hatinya. Tapi, saat bayangan Alan dan Adel kembali hadir dalam ingatannya, Tiyas memutuskan ikut dengan Anesya.
Saat Anesya membuka pintu, seketika Tiyas mundur, matanya terbelalak, tercengang degan apa yang ia lihat di dalam. Orang orang yang berada dalam ruangan remang itu sedang mengadakan pesta n*****a.
Terlihat di sofa merah di tengah ruangan, duduk pria berwajah tampan sedang menghisap bong, ditemani dua gadis cantik yang duduk di sampingnya.
Di sudut ruangan sebelah kiri, dua lelaki dan 1 wanita sedang menyuntikkan cairan ke dalam tubuh mereka, melalui urat vena di lengan. Tampak wajah wajah sakau menghiasi pemandangan setiap sudut. Namun sepertinya Tiyas terlambat untuk mundur, Anes menarik tangannya seraya tersenyum.
"Pliss, Nes, Gue mau pulang" Tiyas memohon, berbisik ke telinga Anes. Tapi sayang wanita itu tidak menggubris, ia malah mencengkram tangan Tiyas dan memaksa masuk.
"Hai, semua," sapa Anes, sembari berjalan menuju sofa.
"Hai Nes, Masuk! Ajak teman, Lo!" balas Adit sambil menoleh ke arah Tiyas yang mencoba bertahan di depan pintu.
Anesya menarik tangan Tiyas lebih kencang. Adit tersenyum tipis melihat Tiyas yang tampak nyata ketakutan.
"Hai Cantik, sini, gabung, yuk!" sapa Adit pada Tiyas.
Menyadari dirinya dalam bahaya, Tiyas mencoba untuk tetap tenang.ia tidak lagi merengek minta pulang. Ia duduk disebelah Anes. Barang barang menyesatkan itu terhidang dengan bebas di meja, sepertinya Anes sudah terbiasa menggunakan barang haram itu, nampak dari caranya memindahkan cairan dalam ampul kedalam spead. Tiyas menatap Anes dalam diam, bibirnya terkunci rapat. Matanya terpejam ngeri saat melihat jarum menembus kulit teman lamanya itu.
"Mau coba, Yas?" tanya Anes sambil mendekatkan satu ampul m****n dan sebuah jarum suntik pada Tiyas.
Tiyas menggeleng, tubuhnya mengkeret. Adit menikmati tingkah Tiyas yang sejak awal telah menarik perhatiannya.
Tubuh Anes melemas setelah cairan putih itu membiusnya, ia berdiri dan berjalan gontai menuju sofa di sudut kiri ruangan, lalu terkulai. Tiyas tampak gelisah matanya nanar menatap sekeliling.
Adit menggeser duduknya mendekati Tiyas, memberi kode pada dua gadis penghibur di club itu agar menyingkir. Adit menatap Tiyas tersenyum.
Jantung Tiyas seolah berhenti berdetak, jika bisa memilih ia ingin segera menghilang di telan bumi. Penyesalan nampak jelas di wajahnya, buliran air mata mulai menetes membasahi pipinya yang putih bersih.