Part 4

1379 Words
"Kamu ingin keluar dari sini?" tanya Adit, seolah bisa membaca isi hati Tiyas. Tiyas tercengang, tak percaya dengan apa yang didengarnya barusan. Reflek, Tiyas mengangguk dengan wajah memelas. Adit beranjak dari duduknya, lalu mengambil kunci mobil yang tergeletak di meja. "Yuk!, aku antar pulang," ujar Adit. Segera Tiyas berdiri dan berjalan mengikuti satu satunya orang yang tidak mirip jombi di ruangan itu. "Mas Adit, Saya pulang sendiri saja," pinta Tiyas saat Adit berjalan menuju parkiran. Adit acuh, seolah tak mendengar, ia membuka pintu mobil, memberi isyarat pada Tiyas untuk masuk ke dalam. Tiyas bertahan, ia berpikir untuk kabur. Namun situasi di parkiran itu lebih menakutkan. Sekilas, ia melihat beberapa lelaki bertato duduk di pintu keluar, aura parkiran itu sangat dingin. Akhirnya Tiyas memutuskan ikut bersama Adit. Tak lama kemudian, mobil Adit meninggalkan tempat itu. Dari kaca spion Tiyas melihat sebuah mobil Innova dengan plat polisi yang sangat ia kenal mengikuti dari belakang. Sedang apa Mas Alan di sini? Tanyanya dalam hati. Ingin rasanya ia turun dan berlari ke mobil Alan, namun ia khawatir akan menyeret Alan dalam masalah. Tiyas memilih pasrah mengikuti kemana Adit akan membawanya. Ia hanya bisa berdoa semoga Tuhan memberinya satu kesempatan untuk bertaubat. "Tiyas, temani Aku makan sebentar, boleh?" tanya Adit sopan. Takut-takut Tiyas mengangguk. Ia berharap Alan terus mengikutinya. Adit melaju dengan kecepatan tinggi, lima belas menit kemudian mereka sudah sampai di sebuah kafe. Saat tiyas ingin turun dari mobil, Adit menahannya. "Tunggu sebentar, gadis secantik kamu nggak boleh buka pintu sendiri. Bisa jatuh harga diriku!" gombal Adit. Tiyas hanya mematung, menahan napas. Adit turun dari mobil menuju pintu kabin Tiyas, lalu membukanya. Tanpa menyentuh, ia mempersilakan Tiyas turun dari mobil. d**a Tiyas berdesir mendapat perlakuan dari Adit. Andaikan ia tidak melihat Adit menghisab sabu sabu, andaikan pertemuan mereka tidak di club malam seperti ini, mungkin hatinya akan berbunga bunga. Sekilas, Tiyas melihat mobil Alan parkir tak jauh dari posisi mobil Adit. Ditengah romantisnya suasana kafe, ingin rasanya ia melarikan diri, namun entah mengapa kakinya enggan menjauh dari Adit. Sesampainya di meja, Adit mempersilakan Tiyas duduk, ia menarik kursi untuk Tiyas, lalu merapatkannya kembali saat Tiyas akan duduk. Tiyas kikuk, seumur hidupnya belum pernah diperlakukan seistimewa itu, ia duduk dengan anggun. Sesekali ia melirik lelaki Adit yang tenag, kalem, dan karismatik. Tak lama berselang seorang pramusaji datang menghampiri dan menyerahkan album menu makanan. Adit mulai mencari menu yang akan dipesan, sementara Tiyas hanya diam tanpa menyentuh album menu di depannya. "Saya pesan wagyu steak sirloin satu," kata adit pada pramusaji, lalu ia menatap Tiyas. Melihat tidak ada respon, ia inisiatif memesan makanan untuk gadis bertubuh sintal yang terlihat sedikit pucat itu. "Dua" ralatnya, ia juga memesan minuman untuk mereka berdua. Setelah pelayan restoran itu berlalu, Adit mencoba mencairkan suasana. "Kamu kenal Anesya di mana?" tanya Adit hati hati. "Teman kuliah, kami pernah tinggal bareng," jawab Tiyas singkat. Adit mengangguk, tanda mengerti. "Aku yakin kamu gadis baik baik, hanya saja aku heran, kenapa bisa kamu jalan bareng Anes? Kamu sedang butuh uang?" tanya Adit menyelidik. Tiyas menggeleng seraya merapikan duduknya, terlihat ia salah tingkah, tangannya reflek menyanggul rambut yang tergerai berantakan. "Atau jangan jangan...” Adit menahan ucapannya, melirik Tiyas sejenak, “lagi patah hati?" lanjutnya, matanya lekat menatap Tiyas. Perasaan Tiyas semakin tidak menentu, malu, takut, sedih, semua bercampur menjadi satu. Tidak ada sepatah kata yang terucap dari bibirnya. Air mata mulai tergenang di pelupuk matanya, hidung dan pipinya memerah bagaikan tomat matang. Adit menikmati wajah itu, wajah ayu nan polos dalam kegundahan. Jemarinya mengetuk ngetuk meja mengikuti irama musik seakan bisa merasakan kegalauan hati gadis di depannya. "Jangan hancurkan dirimu dalam kesesatan, Nona! Belum terlambat untuk berhenti." Ucapan Adit bagai air penghilang dahaga di gurun pasir. Tiyas menunduk, memejamkan matanya. Ia bersumpah, ini yang pertama dan terakhir ia mendatangi tempat itu. Perlakuan Adit membuatnya nyaman. Ketegangannya mulai hilang, perasaan kalut, takut, dan ngeri saat di club malam tadi, mulai menguap dari ingatannya. Dua pramusaji mengantar pesanan mereka, lalu menata makanan di meja. "Masih ada yang bisa saya bantu, Mas?" tanya pramusaji tersebut. "Tidak, terimakasih" jawab Adit sembil mengangkat tangan kanannya. "Adit menggeser pesanan Tiyas, lalu merapikan duduknya. Postur tubuhnya yang tinggi berisi, terlihat semakin maco dengan kaca mata hitam tergantung di kerah baju kaos putih yang dikenakannya. Tiyas menyantap makanan di depannya, rasa lapar yang sudah sampai puncak kepalanya menepis sejenak sakit di hatinya. Adit tersenyum menatap Tiyas yang mulai sibuk memotong Steak di depannya. Adit mengambil magkuk mirip lampu aladin yang terlihat mewah dengan warna silver di dekat Tiyas, lalu menuangkannya ke dalam hot stone mereka. Adit memperlakukan Tiyas cukup istimewa, walau merasa tersanjung, namun Tiyas mengunci hatinya rapat rapat, rasa nyaman dan takut beradu mempermainkan perasaannya. "Kalau kamu nggak kebeatan, gimana kalu kita nonton?" tanya Adit. "Maaf, Mas Adit, tapi ini sudah larut malam, saya harus pulang. Terimakasih untuk traktirannya," jawab Tiyas hati-hati, takut menyinggung perasaan Adit. Adit melihat arlojinya, jarum jam menunjuk anga dua belas. Adit tersenyum, ia semakin yakin, gadis di hadapannya sedang mencari pelarian, sama seperti dirinya dulu. "Oke, nggak masalah, aku antar pulang, ya?" Adit kembali menawarkan bantuan. "Nggak usah, Mas, saya naik taxi saja," ujar Tiyas. Adit mengangkat alisnya, ia tidak ingin memaksa Tiyas, ia tahu gadis di depannya masih syok melihat pemandangan di club tadi. *** Sesampainya di rumah, Tiyas terduduk lemas di atas kasur. Ia sujud syukur karena telah sampai di rumah dengan selamat. Seribu penyesalan berkecamuk di hatinya. Ia yakin keberuntungannya lolos dari club itu, semua karena pertolongan tuhan. Ditariknya napas dalam, perlahan ia berjalan menuju kamar mandi, setelah membersihkan diri, Tiyas berwudhu, ia ingin sujud syukur atas pertolinganNya, ia ingin mengadukan sakit hatinya, ia ingin memohon ampunanNya, ia ingin memohon agar hatinya kembali ditetapkan pada keimanan. Tiyas mengais dalam sujutnya. Hingga tertidur saat berdzikir. **** Di saat yang sama, di belahan bumi lain, di kota Los engles, Dirga sedang menikmati secangkur kopi bersama syaqilla disebuah kafe. "Kamu tahu, apa yang membuatku benci dengan perpisahan ini?" tanya Syaqilla berbahasa inggris. "Apa?" tanya Dirga, menoleh pada gadis berkerudung hitam di sampingnya. "Saat aku tahu, kamu pergi untuk menemuinya." Syaqilla mendongak berharap air matanya tidak tumpah. Dirga diam, sejak awal ia sudah memberitahu gadis Turkey itu bahwa hatinya sudah ada yang punya. Tapi pertemanan yang mereka jalin membuat keduanya dekat dan saling membutuhkan, saling melengkapi, bahkan saling memahami. "Dirga, beritahu aku cara membencimu! Agar hati ini rela melepasmu!" Syaqilla menatap Dirga dengan mata berkaca-kaca. Keduanya saling pandang, hanyut dalam perasaan masing-masing. "Beri aku waktu tiga bulan, jika memang kita ditakdirkan berjodoh, percayalah, aku pasti kembali untukmu." ujap Dirga menghibur Syaqilla. Tangannya mengusap kepala gadis bermata coklat itu, untuk yang pertama dan mungkin yang terakhir. Syaqillah gontai, air matanya tumpah tak terbendung. Dirga menghela napas, sebenarnya ia tidak tega meninggalkan Syaqilla di negri paman sam itu melanjutkan kuliahnya yang belum selesai, tapi rindunya pada Tiyas hampir tak terbendung. Ia tidak ingin menunda lebih lama lagi moment yang sudah lama ditunggunya. *** Di langit Jakarta, malam semakin larut, tangis Adel tumpah di hadapan Andre dan Wita. mereka menunggu kedatangan Alan dan Sadeq yang sedang mengikuti Tiyas. "Mbak, batalkan saja recana pernikahan ini, Aku nggak mau jadi jurang pemisah Tiyas dan Mas Alan." ujar Adel terisak. "Adel, kita dengar dulu penjelasan Alan, saya juga nggak ngerti duduk permasalahannya. Kenapa Alan melamar kamu sedangkan dia dan Tiyas saling mencintai." ujar Wita mendekap Adel. Andre keluar menyambut Alan saat melihat mobil lelaki itu memasuki halaman rumahnya. Setelah memberi salam, Alan dan Sadeq masuk, wajah kedua pemuda itu terlihat lelah. Alan melirik Adel yang masih berlinang air mata. "Sebelumnya saya minta maaf atas semua kekacauan ini, terutama pada Ukhti Adel." ucap Alan, ia menuturkan duduk permasalahannya, tentang kisah lamanya bersama Tiyas tentang perjanjiannya bersama Dirga. Adel, terkejut mendengar penuturan Alan, perih hatinya mengetahui jika ia hanya sebagai pengalihan Alan dari Tiyas. Ada cemburu di hatinya, mengetahui Tiyaslah yang ada di hati Alan. Tubuh Adel gemetar, perutnya terasa enek, ingin rasanya ia berteriak sekuat tenaganya, melepaskan semua sesak di d**a. Ia tidak menyangka lelaki yang sangat di kaguminya itu, tega mempermainkan perasaannya. Tiba tiba Adel menatap Alan tajam. Ada amarah di wajahnya. "Mas Alan! Saya batalkan menerima lamaran ini, saya tidak mau hanya sebagai tempat pelarian, Mas! Saya wanita yang punya perasaan!" ujar Adel tegas, lalu pergi ke dapur dan menangis sesunggukan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD