¨ Distrik 8
Naami sudah sampai di unit apartmentnya. Sebelum dia mandi, dia lebih dulu delivery order makanan untuk dia cemil sambil mengerjakan perkerjaannya yang belum dia selesaikan.
Naami beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Saat kulit tubuhnya terkena air dia akan merasakan relax yang dia butuhkan untuk melepaskan lelah yang sudah dikumpulkan selama seharian ini.
Setelah selesai membersihkan tubuhnya dengan mandi. Naami keluar dengan pakaian santai rumahannya, kaos putih oversize dengan celana piyama panjang menjuntai di kaki jenjangnya.
Tidak lama sebuah ketukan dari pintu depan mengalihkan perhatian Naami yang sedang membuka-buka document yang tadi dia bawa pulang, tapi karena dia bergegas pergi menemui Haxel, document itu pun tergeletak tak berdaya di atas meja ruang tengahnya.
Tok tok tok!
Naami menghampiri pintu apartmentnya.
Ceklek
“Delivery order atas nama Naami?” kata orang yang mengantarkan pesanan Naami.
“Ya, ini uangnya, Mas. Terimakasih,” seru Naami, membayar dan mengucapkan terimakasih setelah pesanannya berpindah tangan padanya.
Naami membawanya ke ruang tengah kembali, meletakkan makanan yang dia pesan tadi di atas meja dan pergi beranjak menuju dapur untuk mengambil minuman yang dia akan tubuhkan.
Drrtt…
Drrtt…
Getaran benda pipih yang disebut ponsel mengalihkan perhatian Naami. Benda itu bergetar di atas meja membuat suaranya lebih nyaring untuk menyadarkan Naami yang tengah fokus pada makanannya.
“Hallo, Abah?” sapa Naami lebih dulu saat melihat nama kontak yang tertera sebagai penelponnya.
“Kamu sudah di rumah, Nam?” tanya sang Abah pada putrinya.
“Sudah, sekarang sedang makan. Ada apa Abah?” tanya Naami.
“Seharusnya Abah yang nanya kamu ada apa? Kenapa tidak memberitahu Abah tentang Haxel yang melamar kamu?” tanya Abah pada Naami kembali.
“Eh? Abah tau? bagaimana bisa?” kata Naami dengan keheranan.
“Candra menelpon Abah dan memberitahukan kalau kamu tadi sudah dilamar oleh anaknya, dan lusa mereka akan datang ke Palembang, kamu harus pulang besok! Abah akan pesankan tiket pesawat, jangan ada penolakan atau Abah yang datang besok ke sana untuk menyeret kamu pulang ke Palembang!” Suara tegas sang Abah membuat Naami terkejut dan sedikit menjauhkan ponselnya dari telinga. Dia tidak tahu bahwa Abahnya akan bereaksi seperti ini saat mengetahui dia sudah dilamar dan akan dilamar secara resmi diharapan dua keluarga langsung oleh Haxel beberapa hari lagi.
“Maaf Abah, tadi Naami mau ngasih tau tapi takutnya Naami tidak bisa kosongkan jadwal lusa yang sudah penuh sama pertemuan dengan klien,” elak Naami agar dia berhenti untuk disalahkan oleh sang Abah.
“Tapikan Calon Suamimu itu direkturnya, Calon Mertuamu itu pemiliki perusahaan. Masa tidak kasih kamu kelonggaran buat cuti beberapa hari saja. Serius idak mereka mau melamar kalau begitu!”
Awalnya nada bicara Abah Imam masih lembut dan santai tapi saat ucapan akhirnya Naami langsung terkejut karena Abah Imam kembali meninggikan suaranya.
“I-iya Abah, tadi Papa Candra sudah mencari orang kok untuk menggantikan Naami. Jadi besok pagi ke kantor dulu sebentar, baru habis itu Naami pulang. Serius Naami tidak bohong,” jelas Naami kembali dengan cepat.
“Nah begitu seharusnya.”
“Abah jadi belikan tiketkan besok untuk Naami pulang?” tanya Naami penuh harap. Ya setidaknya dia tidak mengeluarkan uang lagi untuk membeli tiket pesawat pulang ke Palembang.
“Kamu ini, sudah kerja. Masih saja jadi lintah Abah,” tegur Abah Imam pada putrinya.
“Tadi Abah bilang begitu, jadi Naami cuma menagih kok,” ujar Naami dengan tanpa ada rasa bersalah.
“Ck, bisa sekali kamu menghindarnya. Iya malam ini Abah akan pesankan tiket pesawat untuk kamu, berangkat besok. Janji besok selesai urusan langsung berangkat jangan menunda-nunda kamu!” tegas Abah.
“Siap Bos Besa!” seru Naami.
“Sudah-sudah, sekarang tutup telponnya, terus istirawat kamu!”
Abah Imam meminta putrinya yang lebih dulu menutup panggilan tersebut, Naami yang mendengarnya hanya terkekeh geli dengan sikap Abahnya itu.
“Ok ok. Eh tapi Bah?”
“Hmm apa?”
“Uma sudah tidur kah?”
Naami tidak jadi menutup panggilan malah menanyakan keberadaan Ibunya yang dia panggil Uma.
“Sudah dia, kecapean katanya tapi tadi dia senang sekali tau kamu dilamar dan dia menebak besok kamu pulang ke Palembang!” jelas Abah Imam.
“Hemh pantas, pantas,” seru Naami dengan mencebikkan bibirnya.
“Kenapa kamu?” tanya si Abah.
“Ya pantas Abah mau pesankan tiket pulang ke Palembang untuk Naami, orang tadi Uma bilang begitu, uh dasar bucin Uma!” cibir Naami.
“Heh bahasanya!” tegur Abah Imam tegas.
“Iyo iyo Tuan Besa, jangan marah-marah terus nanti Naami lapor ke Uma,” ancam Naami untuk sang Abah.
“Lapor-lapor! Tidak boleh pulang kamu!” tegas Abah lagi.
“Ampun lah Rajeku, Sultanku!” seru Naami yang hampir tergelak telah berhasil membuat sang Abah jengkel dan kesal padanya.
“Siap-siap uang kamu tidak Abah kirim!” ancam Abah lagi.
“Bah? Bah? Janganlah, itu uang sewa apart kalau tidak Abah transfer, Nam bayar sewa pakai apa?! Aih Abah ancamnya tidak lucu, ganti ganti jangan uang tranferan!” tolak Naami dengan keras mendengar ancaman berikutnya dari sang Abah. “Mau anaknya tidur di emperan gara-gara Abah stop transfer uang sewa? Anak Siad kayaraya jatuh miskin! Itu jadi bulletin utama di Koran sama di berita breaking news tv!” gerutu Naami yang terdengar seperti sebuah ancaman balasan darinya untuk Abah Imam.
“Biarlah, biar Abah cari anak baru saja,” sahut sang Abah.
“Aaaa…. Abah tidak lucu! Udah ah, besok Nam pulang Nam kasih tau Uma, titik tidak ada koma, dah abis dah! Assalamualaikum, selamat malam dan selamat tidur Datok Said Rajeku Imam, sampaikan salam putrimu ini pada Umanye yang cantik jelita! Bye bye Abah!” tutur Naami setelahnya dia tanpa menunggu jawaban salam dari sang Abah, Naami lebih dulu menutup panggilan tersebut.
Setelah menyelesaikan panggilan yang cukup panjang itu, Naami tidak jadi memeriksa dokumentnya karena dirinya merasa harus cukup istirahat untuk besok.
Besok dia membutuhkan banyak energi, untuk pergi ke kantor, lalu melakukan perjalanan panjang untuk pulang ke Palembang, menghadapi pertanyaan-pertanyaan dari kedua orang tuanya, belum lagi cercaan dari saudaranya, bahkan dari keluarganya yang lain.
“Haaaah….” Helaan napas itu terdengar begitu jelas lolos dari bibir Naami.
“Ayo Nam yao semangat Nam semangka mark Nam!” ucapnya untuk dirinya sendiri.
“Hei yo Nam! Dah ayo tidur.”
Setelah meregangkan tubuhnya dia berdiri dari duduknya, kemudian melangkah dengan hentakan kaki yang terdengar keras menuju kamar tidurnya.
“Selamat tidur, besok Nam akan kelelahan,” ucapnya sebelum dia menutupi dirinya dengan selimut tebalnya.
“Eh tapi? Papa belum dihubungi, buat nanya siapa yang gantiin aku?” gumamnya kembali membuka mata mengingat orang yang akan menggantikannya belum dia ketahui siapa.
“Aku juga belum packing,” katanya lagi.
“Nanti kalau udah nikah, gimana ya? Apa masih bisa nyusahin Abah sama Uma? Atau ganggu Along?” pikirnya.
“Eum… seharusnya tadi, aku ngasih cincin juga gak sih ke Haxel?” tanyanya sambil melihat jarinya yang sudah dipasangkan satu cincin dari Haxel.
“Tapi kan, aku tidak tau kalau dia mau melamar, bagaimana mau menyiapkan cincin?”
“Atau besok aku beli cincin dulu sebelum berangkat ke bandara? Beli cincin, ya? Tapi cincinnya yang seperti apa? Ukuran jari tangan Haxel?”
“Tapi, apa Haxel mau makai cincin?”
Terlalu banyak pertanyaan yang Naami pikirkan membuat matanya malah tidak bisa terpejam dengan mudah sebab overthinking itu.
Perasaan Naami bahagia tapi juga ada rasa khawatir yang dia rasakan. Entahlah dia hanya merasakan aneh saja.
Setelah berjam-jam bergelut dengan pikirannya sendiri. Akhirnya Naami bisa memejamkan mata karena lelahnya sudah terlalu membuatnya mengantuk hingga tampa dia sadari dia malah jatuh tertidur.
Pukul 05:01, Naami terbangun. Bukan karena alarm yang berbunyi atau kesebuah kebisingan apapun yang membuat terkejut dari tidurnya lalu terbangun.
Dia terbangun hanya karena sebuah getaran dari bawah tubuhnya yang berasal dari benda pipih yang tertindih olehnya saat tertidur.
Drrtt…
“Hmmh!” dengusnya kesal tidurnya terganggu, dengan setengah kesadaran yang dia miliki. Dia mencoba untuk meraih ponsel yang tertindih tubuhnya sendiri.
Begitu sulit ternyata meraih ponsel yang ditindih oleh tubuhnya, membuat dia kesusahan dan merasa kesal sendiri.
“Argh… astaga susahnya!” erangnya merasa kesulitan.
Sampai getaran itu tidak lagi dirasakan olehnya. Satu panggilan sudah berlalu.
Naami tidak jadi meraih ponselnya saat ponsel itu berhenti bergetar. Dia malah lanjut memejamkan matanya berniat untuk tidur kembali, karena rasanya mata dan tubuhnya semua masih ingin tidur nyaman di atas kasur empuknya.
Drrtt…
Tidak lama getaran itu malah kembali terasa. Dengan kesal Naami bangun dan meraih dengan murah ponsel yang naas terasa panas karena ditindih oleh berat tubuhnya.
Melihat ke layar ponselnya tertera nama kontak.
“Uma?”
“Ya hallo Uma?”
“Eh iya, assalamualaikum, Uma?”
Akibat teguran dari sang Uma, Naami mengulang sapaannya dan menggantinya dengan salam.
“Waalaikumsalam…, sudah siap barang kamu untuk pulang hari ini? Kamu jadi pulangkan? Kata Abah kamu pulang hari ini? Benarkan?” cerca Uma dengan berbagai pertanyaan pada Naami yang melongo mendengarnya.
Dia menjauhkan ponselnya dari bibirnya. “Ck Abah!” geramnya tertahan.
“Iya Uma, Nam insya Allah pulang. Tapi pagi ini Nam ke kantor dulu terus rencananya mau pergi sebentar setelah siap urusan baru Nam berangkat ke bandara,” jelas Naami. “Uma, Abah jadi pesankan tiket pulangkan?” tanyanya pada sang Uma.
“Tiket pulang? Uma tidak tau kalau Abah yang pesankan tiket untuk kamu, coba tanya Abah,” suruh Umanya pada Naami.
“Aaaa… Uma saja yang tanyakan, nanti kalau Nam yang nanya Abah bukannya jawab tapi ngajak kelahi Nam,” kesal Naami mengadu pada sang Uma.
“Ahahaha, anak ini ada-ada saja. Baiklah sebentar Uma tanyakan,” kata sang Uma. Kemudian Naami tidak mendengar suara Umanya lagi. Tapi sayup-sayup terdengr percakapan Uma dan Abahnya yang Naami tebak para orang tuanya itu masih di kamar.
“Bah, Abah jadi pesankan Nam tiket pulang tidak? katanya.”
“Sudah. Suruh anak itu cek emailnya, Ahmad semalam sudah pesankan.” Jawaban yang Naami dengar dari sang Abah. Ahmad? Sekretaris Abah. Pria muda yang baru berumur 23 tahun. Menurut Naami, Ahmad adalah pria imut dan lucu, penyabar dan penurut. Cocok berkerja dengan Abahnya yang super cerewet, galak, perfectionis. Pokoknya Abah adalah seorang yang butuh kesempurnaan yang ada di seluruh dunia. Itu menurut Naami tentang si Abah.
“Nam?” terdengar suara panggilan dari ponsel Naami. Naami malah melamun.
“Naami!” teriak suara Uma.
“Eh? Iya Uma?! Gimana- gimana?” tanya Naami.
“Kata Abah sudah, tiketnya semalam dipesankan Ahmad. Coba cek email kamu katanya, ada atas nama PT ALT,” tutur Uma.
Buru-buru Naami membuka aplikasi email miliknya. Ternyata dibagian notifikasi ada email yang masuk setelah dia tertidur semalam. Melihat nama yang tertera di tiket itu membuat Naami berdecak kesal.
“Ck! Abah ini, anaknya malah dibikin orang PT ALT, ok Uma sip ada,” kata Naami dengan nama seperti tidak suka tapi dia harus suka menerimanya.
“Sabar Sayang, masih mending Abahmu itu mau memesankan tiket pulangmu,” balas Uma.