Lamaran

1706 Words
¨      Pantai Mutiara “Kamu suka pemandangannya?” tanya Haxel menatap ke samping dimana letak laut yang di seberang mereka terlihat ada satu gedung menjulang tinggi. Angin pun bertiup cukup kencang malam itu, membuat rambut Kekasihnya yang tergerai tertiup angin hingga melambai-lambai dan sekali-sekali menutupi wajah sang Kekasih. “Suka banget, tempatnya ramai, penanda makanannya enak dan suasananya favourite aku banget, kamu tau dari mana tempat seperti ini?” tanya Naami, sekali-sekali dia membenarkan kembali letak rambutnya yang menutupi hingga wajahnya. Srett… Tanpa Naami duga, Haxel berdiri dan berjalan ke belakang tempat Naami duduk. Dia mengeluarkan sebuah ikat rambut yang ada di pergelangan tangannya untuk mengikat rambut Naami menjadi kuncir satu yang tidak terlalu tinggi tapi cukup membuat Naami bertambah cantik setelah memperlihatkan leher jenjang miliknya. “Cantik,” seru Haxel setelah dia kembali duduk, siap mengikat rambut sang Kekasih. Naami tersenyum tertahan, dia sudah yakin wajahnya memerah karena dia merasakan panas pada wajahnya padahal angin cukup kencang menyentuh kulitnya hingga tidak ada keringat yang dapat muncul. “Lain kali kalau tidak nyaman menggerai rambut, ikat saja,” kata Haxel. Mereka sudah berpacaran lama tapi sikap Haxel yang memang sering tidak terduga membuat Naami selalu merasa meledak-ledak pada jantungnya, yang artinya tindakan Haxel selalu membuat kesehatan diri Naami tidak baik. “Terimakasih,” cicit Naami, dia malu-malu. “Sama-sama,” balas Haxel sambil tersenyum melihat wajah yang terkena pantulan cahaya lampu jingga di samping mereka. “Untuk pertanyaan kamu tadi, aku tau dari mana tempat ini.” Terdapat jeda dari ucapan Haxel. Dia kemudian menatap Kekasihnya. “Aku tau dari sahabat lamaku, dia recomendarikan restoran ini katanya bagus. Waktu aku kunjungi pertama kalinya aku langsung mikir, tempat ini pasti kamu suka,” tutur Haxel dengan jujur. Naami tersenyum, dia bahagia mendengarnya. Haxel selalu mengingat dia, selalu tentangnya. Hal itu membuat Naami tidak pernah meragukan Kekasihnya itu, Kekasihnya yang sangat dia cintai. Saat ini Kekasihnya sudah menjadi Calon Suaminya, setelah beberapa menit yang lalu Haxel melamarnya. Hari itu adalah hari yang sangat membuat dia behagia dan mungkin saja menjadi hari yang tidak akan dilupakan. Benar hari dimana dia tidak akan melupakannya dan terus mengingatnya bahkan akan menelisiknya suatu hari nanti. “Lusa aku akan datang ke rumah kamu, jadi apakah kamu ada waktu buat pulang ke Palembang?” tanya Haxel pada Naami. Lusa, katanya Haxel akan berkunjung ke rumah orang tua Naami yang berada di Palembang, tentu tujuannya untuk menemui kedua orang tua Naami. Tentu saja sebelum dia berangkat ke Palembang, dia harus mempersiapkan diri, dan member tahukan pada pihak keluarganya bahkan juga keluarga Naami sendiri. Rencananya Haxel akan membuat pertemuan dia keluarga, yaitu keluarganya dan keluarga Naami yang ada di Palembang. Keluarga Naami bukanlah keluarga sembarangan. Naami berasal dari keluarga runtun adat, punya gelar dimasyarakat, sekaligus keluarga pebisnis yang sangat berjaya. Keluarga itu sangat ketat dengan yang namanya nama baik dan citra. Maka dari itu Haxel tidak pernah mau macam-macam pada Naami selama berpacaran dengan gadis itu, karena dia tidak ingin Naami dalam masalah. Keluarga Naami memiliki beberapa tempat pom bensin yang berkerja sama dengan Pertamina. Memiliki dua PT minyak kelapa sawit dan kepala biasa dengan perkebunan PT yang sangat luas. Keluarga Naami juga punya perusahaan makanan seperti coconut, dan perusahaan selai nanas. Sebanding dengan keluarganya tapi keluarga Haxel berbeda dengan keluarga Naami yang ketat adat, sedangkan keluarga Haxel terbilang bebas mungkin saja dikarenakan lingkungan daerah tempat mereka lahir dan tinggal yang membuat hal itu membentuk kepribadian keluarga mereka. Keluarga Haxel juga keluarga sibuk dengan berbagai macam bisnis yang dijalankan, tapi perusahaan keluarga Haxel berjalan di property. Sedangkan Naami sendiri malah bekerja di perusahaan Haxel yang pernah sempat membuat orang tua Naami marah karena anak mereka malah bekerja di perusahaan orang lain saat perusahaan keluarganya sendiri banyak. Tapi itulah Naami, dia hanya ingin bekerja sesuai dengan passion miliknya katanya. “Kamu gak sibukkan lusa?” tanya Haxel lagi saat Naami sepertinya agak lama mengingat jadwalnya sendiri. “Eumm lusa? Sepertinya aku ada janji dengan klien untuk melihat konstruksi pengerjaan bangunan Torno Tower, itu perintah dari Papa sebenarnya,” jawab Naami. “Klien ini datang dari China yang kerja sama dengan Pak Ternos, beberapa hari yang lalu Pak Ternos sudah turun tapi sepertinya rekan kerja samanya dari China itu pengen lihat langsung pengerjaan Torno Tower langsung,” jelas Naami. “Tidak bisa dibatal atau diundur?” tanya Haxel. “Tapi kok aku gak tau ya dengan peninjauan Torno Tower ini?” ucap Haxel heran. “Gak tau, ini perintah dari Papa, dua hari yang lalu dia ngasih tau,” kata Naami lagi. “Tidak bisa digantikan? Papa juga ada-ada saja, padahal anaknya mau bikin pertemuan keluarga,” kata Haxel dengan nada sedikit kesal. “Minta Papa cari orang pengganti saja, ya?” pinta Haxel pada Naami dengan wajah memelas. “Hey, ahaha. Bukannya kamu direkturnya kenapa malah minta Papa yang carikan penggantinya. Suka lupa dia direktur,” sindir Naami mengingat Haxel pada kedudukannya diperusahaan. “Eh iya astaga aku lupa. Besok aku akan cari pengganti kamu dengan orang lain. Ini semua gara-gara Papa yang sering ngurus klien luar negeri jadi aku gak ikut campur tangan,” tutur Haxel. “Makanya lain kali biarkan Papa fokus ke perusahaan yang di Belanda jangan direcokin sama perusahaan di sini,” tukas Naami. “Iya, Sayang. Selanjutnya gak lagi begitu, aku kan dah mau nikah jadi harus benar-benar bertanggung jawab penuh sama perusahaan dan juga istri.” “Bisa aja kamu.” “Kamu sudah selesai?” tanya Haxel. “Sudah, ayo pulang,” ajak Naami yang langsung diangguki oleh Haxel. Setelah mengobrol panjang, makan malam dan ada moment lamaran pada malam itu. Mereka beranjak pulang. Haxel tidak mengantar Naami karena Naami membawa mobilnya sendiri, yang tidak mungin Naami meninggalkan kendaraannya di halaman restoran itu. “Hati-hati di jalan, langsung pulang jangan mampir-mampir ke tempat lain,” peringatkan Naami pada Haxel. Mereka akan masuk ke dalam mobil masing-masing yang jarak antara mobil Naami dan Haxel itu berjalak tiga garis pembatas mobil atau tiga mobil. Haxel menganggukkan kepalanya. “Iya sayang, kamu juga hati-hati di jalan, jangan ngebut aku tau kamu itu masih suka kebut-kebutan di jalan,” tegur Haxel memperingatkan Naami. Naami terkekeh mendengar omelan Haxel. “Itu kalau gak macet, ini macet gimana mau ngebut yang ada aku mati kebosanan di dalam mobil kejebak macet,” gerutu Naami. “Hahaha, aku mau bersyukur kalau jalan macem, jadi kamu gak bisa ngebut-ngebut seperti pembalap,” seru Haxel dengan tawanya yang tergelak lepas mendengar gerutuan Naami yang tampak jengkel. “Dah ah aku mau pulang, kamu juga pulang ntar dicariian Mama kamu!” seru Naami. “Hey! Enak saja, aku tidak begitu ya. Tapi aku memang mau ketemu Mama malam ini, mau bilang yang tadi!” ujar Haxel. Tapi Naami tampaknya tidak ambil pusing dengan yang dikatakan Haxel, dia sudah masuk ke dalam mobil dan melambaikan tangannya pada Calon Suaminya yang masih di luar pintu mobil jok kemudi. “Da… aku pulang dulu!” seru Naami sambil melambaikan tangannya pada Haxel. Haxel membalas kelakuan Naami dengan lambaian tangan juga. Setelah Naami keluar dari area parkir restoran. Haxel pun masuk ke dalam mobil. Kemudian mengambil ponselnya untuk mencari kontak orang yang tadi sebelumnya bertemu dengannya. “Hallo, kamu di apartemen?” tanya Haxel pada orang yang dia hubungi. “….” “Iya, aku akan segera ke sana sebentar lagi. Kamu mau dibelikan apa? Atau ada sesuatu yang lain?” tanya Haxel pada orang yang mendengarnya dari ponsel itu. “….” “Siap dalam setengah jam aku sampai di sana,” kata Haxel. Kemudian dia menutup panggilan dan bergegas untuk berangkat ke sebuah gedung apartemen yang menjadi tempat tinggal salah satu karyawannya. Wajah Haxel berseri-seri sambil mengendarai mobilnya keluar dari area parkir restoran tapi berlawanan arah dengan jalan pulangnya Naami tadi karena dia akan pergi ke suatu tempat dulu sebelum dia pulang atau bahkan dia tidak akan pulang pada malam itu. Sedangkan Naami mengemudi dengan perasaan bahagia. Wajahnya tersenyum berseri, bibirnya tidak lelah untuk melengkung ke atas. Perasaannya saat ini tengah berpesta dengan banyak kupu-kupu yang menggelitik perutnya, kepalanya seakan ada banyak kembang api yang meledak membawa perasaan bahagia. Naami mencengkram kuat stir. “Aghhh gak nyangka!” teriak tertahan Naami di dalam mobil. “Haruskah malam ini langsung aku kasih tau Abah dan Uma?” gumam Naami berpikir dan menimbang-nimbang apakah dia akan memberitahukan langsung tentang lamaran ini pada kedua orang tuanya dan tentang pertemuan keluarga yang lusa Haxel katakan. “Tapikan aku belum tentu bisa mengosongkan jadwal? Eh tapi Papa akan datang mana mungkin Papa tidak mencarikan pengganti segera. Sepertinya yang seharusnya aku hubungi lebih dulu itu adalah Papa agar Papa dengan cepat untuk mengurus pengganti, dan besok aku akan menjelaskan apa yang harus dilakukan? Yeah itu yang benar-benar harus aku lakukan,” katanya sendiri, dia bermonolog dengan dirinya sendiri. Dia butuh untuk membahas itu semua lebih dulu sebelum dia akan pusing sendiri dengan jadwal yang sudah diatur olehnya malah berantakan, bukan hanya dirinya yang akan rugi tapi juga perusahaan. Naami memasang earphone pada telinganya untuk melakukan panggilan pada sang Papa, atau yang sebenarnya adalah bos besarnya, Papa Calon Suaminya. “Hallo, Pa. Selamat malam?” “Yas Sayang. Selamat malam, ada apa tumben sekali malam-malam begini kamu menghubungi Papa?” sahut dan Papa langsung bertanya pada Kekasih anaknya atau tidak lain karyawan perusahaannya juga. “Papa, tau tidak? Tadi Haxel melamarku?” ujar Naami sambil menahan senyum di bibirnya agar dia tidak kelepasan karena terlalu bersemangat. “Benarkah, Sayang?” tanya sang Papa memastikan. “Eum.” “Wahh… selamat ya, kapan rencana Haxel akan menemui keluargamu katanya?” tanya Papa Haxel lagi. “Lusa. Karena itu Naami menghubungi Papa. Papa aku kan ada jadwal untuk lusa ini, bisa Papa mencarikan orang pengganti untukku? Aku harus ikut pulang ke Palembang, mungkin kalau mendapatkan izin dari Papa, aku akan pulang besok,” jelas Naami. “Baiklah, Papa akan mencarikan orang pengganti. Tapi tolong besok jelaskan pada pengganti kamu itu apa saja tugasnya, besok Papa akan meminta dia untuk bertemu denganmu,” seru Papa Haxel. “Benar, Pa? wahh terimakasih Papa!” seru Naami terlepas bersemangat. “Sama-sama, Sayang,” balas Papa Haxel. “Kalau gitu aku tutup dulu, Pa. Bye Papa, selamat malam,” pamit Naami. Menunggu Papa Haxel menjawab barulah dia menutup panggilan itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD