Waverly duduk di kamar kosong tersebut dan menatap keluar ke arah kota yang ramai di bawahnya. Baik serigala maupun manusia sama-sama menjalani hari mereka; seorang pria yang pendek namun rapi duduk di atas mesin pemotong rumputnya dan mulai memangkas rumput di halamannya yang telah agak tinggi, sementara di beberapa rumah setelahnya, seorang wanita memanggil anak-anaknya yang tengah berkejaran menyusuri jalanan dalam wujud serigala.
Dua hari telah berlalu sejak kedatangannya di Pegunungan Trinity dan dia belum menemui siapa pun selain orang-orang yang kerap kali masuk untuk membersihkan kamar dan membawakannya makanan. Berbagai pertanyaan mulai memenuhi pikirannya: bagaimana pria itu berharap untuk mengetahui apakah mereka pasangan jika dia tidak pernah membiarkan Waverly keluar? Mungkin justru itulah intinya; mungkin dia memang tidak ingin menguji ikatan mereka.
Dia tetap bergeming dan menatap keluar jendela, ketika suara pintu diklik terbuka untuk pertama kalinya hari itu.
Ketika Waverly menatap desa di bawahnya, seseorang dengan pakaian serba hitam dan bercelemek, yang Waverly tahu adalah seorang pelayan, masuk. Tiupan udara di belakangnya menciptakan angin sepoi-sepoi yang mengingatkan Waverly akan alam terbuka. Dia membiarkan perasaan itu menguasai dirinya, sementara suara samar bantal yang ditepuk-tepuk memberitahunya bahwa pelayan itu telah menyelesaikan tugasnya.
"Ada lagi yang bisa saya lakukan untuk Anda sebelum sarapan, Nona?"
Tatapan Waverly tetap menghadap depan. "Ya ..." dia membalas tanpa menghadap wanita di belakangnya itu. "Aku ingin pergi keluar."
Pelayan itu meletakkan tangannya pada ikatan di celemeknya. "Saya ..." jawabnya ragu-ragu. "Saya tidak bisa mengabulkan itu."
Waverly berbalik di tempatnya dan menatap wanita itu, yang sedang memandangnya.
"Siapa namamu?" tanyanya pada si pelayan.
Wanita itu melepaskan pegangannya pada celemek dan merapikannya. "Aku tidak boleh memberitahukannya pada para nona di rumah ini."
"Para nona?" tanya Waverly. Dia memutar badan sepenuhnya hingga ia benar-benar menghadap lawan bicaranya.
"Para wanita yang datang kesini setiap tahunnya. Mereka––" wanita itu segera menghentikan diri.
Waverly menegakkan tubuhnya, tertarik dengan percakapan mereka. Ini adalah interaksi nyata pertama yang ia alami dalam waktu yang telah terasa seperti selamanya.
Namun wanita itu hanya berjalan menghampiri meja, meletakkan surat lain. Waverly menyaksikannya kembali ke tempat ia berdiri sebelumnya.
"Ada hal lain yang bisa saya lakukan untuk Anda?" ulangnya lagi. Raut Waverly kembali kecewa dan ia terduduk lesu.
"Tidak ada. Terima kasih."
Pelayan itu menunduk sedikit pada Waverly dan keluar melalui pintu, lalu menguncinya. Waverly mendesah dan kembali memperhatikan pemandangan di luar griya. Pikirannya melayang ke dua hari sebelumnya; dia punya banyak sekali pertanyaan yang belum terjawab, tapi tidak ada yang mau memberikannya jawaban. Responnya selalu sama: aku tidak dapat memberitahumu.
Awan-awan bergerak cepat melintasi langit biru, menandakan badai akan datang besok atau lusa. Waverly mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan dan mendapati surat itu tergeletak di atas meja dari sudut matanya. Apa isinya kali ini? Catatan lain yang mengatakan padanya "semoga betah" atau malah lebih buruk dari itu?
Dia berdiri dan melangkah berhati-hati menghampiri meja, rasa takut pada hal yang tidak diketahui menjalar di sekujur tubuhnya. Tangannya meraih surat tersebut, namun berhenti ketika ia mendengar suara teredam yang datang dari lorong di balik pintunya.
Waverly melangkah dengan cepat dan berjinjit menuju pintu, menempelkan telinganya di tengah-tengah. Dari kaca patri yang buram, dia dapat samar-samar melihat titik-titik warna yang berasal dari pakaian mereka ketika mereka hampir sampai di depan kamar.
"Apa kau ingat untuk meletakkan suratnya?" suara seorang perempuan bertanya. Dia terdengar muda, mungkin seumuran Waverly, bisa jadi lebih tua.
"Di atas meja," jawab suara kedua. Waverly langsung tahu itu adalah pelayan yang baru saja meninggalkannya tadi. Terdapat jeda sejenak sebelum ia berbicara lagi. "Kali ini dia menanyakan namaku."
"Lalu apa kau memberitahunya?"
"Tidak," wanita kedua menjawab. "Tapi aku ingin. Dia beda dari yang lainnya. Dia orang yang jeli... dan pasti akan tahu."
Waverly menekan telinganya lebih keras di kaca. Dia mendengar seseorang menyuruhnya diam dari balik pintu.
"Yah, dia jelas akan tahu kalau dia mendengarmu!" ujar wanita pertama, suaranya berupa bisikan keras.
Mereka berhenti berbicara, dan sejenak yang Waverly dengar hanyalah gelas-gelas berdenting ketika mereka meletakkannya di sesuatu yang terlihat seperti bayangan kereta dorong.
"Sang Alpha ..." wanita kedua berkata, suaranya lebih rendah dari sebelumnya. "Menurutmu yang ini akan berhasil?"
Helaan napas terdengar dari lorong. "Ini sudah 10 tahun, Felicity. Aku tidak yakin apakah ada yang masih bisa menjawabnya ... "
Denting lain menyela percakapan mereka.
"Tapi dia masih punya waktu," perempuan itu, yang kini Waverly ketahui bernama Felicity, menyatakan. "Gerhana Bulan masih sebulan lagi. Masih banyak waktu baginya untuk mematahkan kutukan."
Sesaat, Waverly berhenti bernapas. Kutukan? Para penyihir memang ada sama seperti manusia serigala, dan seringkali bersembunyi di depan mata, namun tak ada seorangpun yang Waverly ataupun keluarganya kenal pernah bertemu mereka. Mereka adalah dongeng, sebagaimana manusia serigala bagi manusia.
Tiba-tiba, suara mesin yang dinyalakan memecah keheningan dan membuat Waverly kehilangan pijakan.
"Kau dengar itu?" Orang pertama bereaksi. Waverly menahan dirinya agar tetap stabil sementara lorong berubah senyap. Napasnya terengah-engah selagi dia berusaha untuk tetap tidak terdeteksi.
Felicity memecahkan kesunyian. "Suaranya terdengar seperti berasal dari luar. Kita harus segera pergi. Chris sedang menanti kita di atas."
Setelah mereka pergi, Waverly terduduk di lantai, mencerna informasi yang telah ia dengar. Sang Serigala Merah terkena kutukan? Hal buruk apa yang telah terjadi sehingga pria itu harus membayarnya seperti ini? Semakin lama ia tinggal di ruangan ini, semakin banyak pertanyaan yang menggelayuti pikirannya dan tidak ada yang mau memberinya jawaban yang jelas.
Merasa lelah, Waverly berdiri dan melihat surat itu masih berada di atas meja. Dia menghampirinya, berdoa surat itu akan mengandung sedikit jawaban. Dia mengambilnya lalu membalik secarik kertas itu dan tidak menemukan jawaban apapun, hanya sebuah kata singkat:
Besok. CW.