Bab 6: Harga Sebuah Kebebasan

1263 Words
Pagi berikutnya, Waverly terbangun dengan matahari menyilaukan matanya, ketika Felicity membuka tirai ungu besar yang menutupi jendela. "Selamat pagi," ujar Felicity lembut sembari membungkuk untuk membuka panel kaca bawah. Burung-burung yang hinggap di langkan bawah jendela bolak-balik berkicau, menandai fajar indah yang lain. Waverly duduk di kasurnya, menyipit pada semburat terang yang bersinar masuk. Dia menggosok matanya dan meregangkan tubuh. Felicity memandang langit di atas. "Awan-awan masih bergerak lumayan cepat di sana." Perlahan-lahan mata Waverly mulai fokus dan dia mendapati sarapannya terletak di atas meja tunggal: telur dan daging babi asap. Aromanya memenuhi ruangan, membuat perut Waverly bergemuruh. Felicity menyadari tatapan Waverly dan membawakan nampan itu padanya. "Alpha kami berpikir akan menyenangkan bagimu untuk makan pagi dengan menu selain roti bakar dan bubur gandum." Dia tertawa dan meletakkan piring di pangkuan Waverly. Waverly mengamati makanan di piringnya dan mengambil garpu untuk memeriksa isinya. Ketika ia yakin itu aman, dia meletakkan garpunya kembali. "Terima kasih," ujarnya. Felicity tersenyum dan mulai membersihkan debu dari permukaan sedikit barang yang ada di ruangan itu. "Sama-sama, Nona." "Kau tidak perlu memanggilku begitu," Waverly memberitahunya, tangannya sibuk memecahkan telur. "Aku tahu, aku tahu. Itu mungkin protokol, namun formalitas selalu membuatku tidak nyaman. Namaku Waverly." "Senang berkenalan denganmu, Waverly," jawab Felicity. Waverly menggigit daging babi asapnya, lalu berbicara selagi ia mengunyah. "Dan kau adalah Felicity ... benar, 'kan?" Felicity berhenti bekerja dan menghadap Waverly, wajahnya tercengang. "Ba-bagaimana Anda––" Waverly mengedikkan kepalanya ke arah pintu sembari menikmati gigitan lain. Felicity mengikuti tatapannya dan ekspresinya berubah menjadi sangat terkejut. "Aku tahu ada yang mendengarnya," bisiknya, seolah menegur dirinya sendiri. "Lalu, apa Anda mendengar ...." "Tentang kutukan?" Felicity menatap Waverly, tanpa bergerak maupun menjawab. Melihat matanya, Waverly jadi merasa agak bersalah. Mungkin seharusnya dia diam saja. Tetapi ada banyak sekali yang tidak dia ketahui dan dia membutuhkan jalan keluar jika ia ingin selamat dari cobaan ini. "Maafkan aku," kata Waverly. "Aku tidak seharusnya menguping ... hanya saja tak seorang pun memberiku jawaban yang jelas di tempat ini dan seperti yang kau katakan ... aku seorang pemerhati. " Felicity bergeming, gesturnya kaku. Waverly menyingkirkan nampannya dan menghampiri Felicity, celana tidurnya yang kebesaran menyapu lantai saat ia berjalan. Dia meletakkan kedua tangannya di bahu Felicity, sebagaimana yang ibunya lakukan kepadanya sebelum dia pergi. "Aku berjanji aku tidak akan berkata apapun pada Alpha-mu," ujar Waverly. "Itu juga kalau aku akan melihatnya lagi." Dia memutar bola matanya sedikit dan ketika Felicity tidak bereaksi, Waverly memfokuskan perhatiannya pada perempuan di depannya. "Dengar, Felicity ... aku tidak ingin menjerumuskanmu ke dalam masalah, tapi aku perlu tahu lebih banyak tentang kutukan ini. Kumohon. Jika aku adalah pasangannya ...." Mata Felicity kembali bergerak dari titik fokusnya dan ia menggeleng, membebaskan diri dari lamunannya. "Aku tidak bisa." Jantung Waverly mencelos. Dia menjatuhkan kedua tangannya ke sisinya. "Apa maksudmu?" "Aku bersumpah untuk melindungi Alpha-ku." Matanya berkelip ke arah Waverly, yang kini memperhatikan iris hijau di sekeliling pupilnya yang kini membesar. "Tolong jangan membuatku melanggar sumpah itu." Waverly terkejut oleh nada yang keras, tetapi tulus dalam suara Felicity. Tugas adalah sesuatu yang sangat ia pahami dan membuat seseorang mengabaikan janjinya, terlebih lagi, Alpha-nya, adalah sesuatu yang tidak pernah ia rencanakan untuk dilakukan. Waverly menarik napas dalam dan mengangguk. "Aku paham. Maafkan aku." Felicity meninggalkannya menuju kasur dan mengambil nampan yang berisi piring kotor. "Tidak apa-apa. Sang Alpha akan tiba di sini ketika siang dan pelayan lain akan datang memberikan pakaian Anda yang telah dicuci sebentar lagi." Dia berjalan menuju ambang pintu dan berhenti, tersenyum kepada waverly selagi ia keluar. "Semoga hari Anda menyenangkan, Nona." Pintu tertutup di belakang wanita itu dan untuk pertama kali dalam tiga hari ini, Waverly bersyukur ia sendirian. ** Ketika pagi mulai menjelang siang, Waverly makin bertambah gugup. Terakhir kali ia melihat Sang Serigala Merah, pria itu menguncinya di ruangan terkutuk ini, dan sekarang mau apa dia? Minum teh bersama? Meskipun selama beberapa hari ini Waverly menunjukkan sikap berani, dalam hatinya, dia bertambah takut semakin lama dia dikurung di sini. Apa yang direncanakan pria itu untuknya? Apakah dia akan dibebaskan? Dia merasa segala hal yang pernah ia impikan ... melihat kawanannya, menjelajahi negara ini ... lenyap dari pikirannya. Bahkan, si pria bayangan sekalipun tidak lagi muncul di mimpinya. Semenjak kedatangannya di Pegunungan Trinity, Waverly belum memimpikan dia atau menggambar sepasang mata itu sama sekali, dan selama masa kurungannya, dia mulai bertanya-tanya apakah itu sebuah berkah atau pertanda dari sesuatu yang lebih buruk. Waverly duduk di kasurnya yang baru dirapikan, mengenakan kaus gombrong dan legging hitam, pakaian yang sama yang ia kenakan di hari kedatangannya di di Pegunungan Trinity, dan satu-satunya pakaiannya, selain sepasang baju tidur dan celana jeans yang mampu ia bawa. Tangannya menelusuri titik di selimutnya, bergerak seperti pensil, selagi ia menunggu kedatangan Sang Serigala Merah dan mencoba menenangkan pikirannya. Kemudian, seolah dengan aba-aba, dia mendengar kunci pintu diklik terbuka. Pikirannya berkecamuk, tapi dia berusaha tetap fokus pada pola di kasur untuk membantunya menenangkan diri. Dari sudut matanya, dia melihat Sang Serigala Merah memasuki kamar dan mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Hampir seketika, suasana terasa berat, membuat Waverly merasa malu dan gugup. Pria itu menutup pintu di belakangnya dan kembali mengantongi kunci itu. Di tangannya yang lain, Sang Serigala Merah menggenggam sejenis kotak kecil, dengan ukiran rune dari kayu tua. Dia tetap pada tempatnya, tidak bergerak ataupun berbicara. "Jadi kau masih hidup," kata Waverly, matanya tidak menatap tamunya. Ia hampir menghabiskan seluruh kekuatannya untuk menjaga suaranya tetap tegas dan tidak bergetar, meskipun tangannya agak gemetar. "Aku minta maaf tidak bisa datang lebih cepat. Aku ... punya beberapa urusan untuk dikerjakan." Suaranya lembut dan dalam, membuat Waverly terkejut. Waverly mengangkat pandangannya dan mendapati pria itu mengamatinya, dan kegugupan yang ia rasakan menghilang sejenak. Matanya tidak seperti mata lain yang pernah Waverly lihat ... meski demikian, tangannya tahu setiap garis pada mata itu seolah Waverly telah melihatnya ribuan kali sebelumnya. Waverly berhenti melamun dan meletakkan tangan di pangkuannya, lalu menunjuk kotak tersebut. "Apa itu?" tanyanya. Sang Serigala Merah menatap barang di tangannya. "Ini semacam hadiah." Hadiah? Itu sama sekali bukan jawaban yang Waverly duga. Waverly berdiam sejenak dan mengamati pria itu, mencari petunjuk, serta mengira-ngira apa yang ada di dalam kotak tersebut. Ada 50:50 kemungkinan dia mengatakan yang sebenarnya, tapi juga ada kemungkinan besar bahwa dugaan Waverly terbukti sepenuhnya salah. Pria itu menyadari tatapan penuh tanyanya dan menaiki pijakan menuju kasurnya. Waverly bergeser dengan hati-hati, tidak melepaskan pandangannya dari Sang Serigala Merah, selagi pria itu duduk membelakanginya di tepi kasur. Dia membuka kait kecil yang mengunci kotak itu dan mengangkat tutupnya. Waverley mencondongkan tubuh dengan penasaran, melihat dari balik bahu pria itu. Matanya membesar begitu melihat segenggam emas dan banyak perhiasan berkilauan di dalamnya ketika terkena sinar matahari. "Ini dulu milik ibuku," dia mulai menjelaskan, punggungnya masih menghadap Waverly. "Mungkin harganya lebih mahal dari apapun yang pernah kau dapatkan di hidupmu." Pria itu setengah berbalik dan meletakkan kotak itu di kasur. Waverly menatap perhiasan-perhiasan paling indah yang pernah ia lihat ... batu ruby, mutiara, safir, semuanya tergeletak di atas tumpukan kecil emas. Ketika dia mengamati setiap benda dalam tempat itu dengan matanya, kotak itu bergerak ke arahnya. Waverly menengadah dan melihat Sang Serigala Merah mendorong kotak itu ke arahnya. "Ini untukmu," ujar pria itu, matanya tidak berpaling dari kotak tersebut. "Ini akan menyediakan cukup uang untukmu dan kawananmu selama bertahun-tahun ke depan, bahkan mungkin membangun kembali tempat tinggal kalian." Waverly tidak bersuara. Dia malah menatapnya, bingung, mencoba untuk memahami pemikiran pria itu. Kawanan Waverly? Dia tidak akan pernah bertemu mereka lagi ... apa hubungannya kawanan dia dengan ini semua? Sang Serigala Merah mendongak menatapnya, melihat ekspresi di wajah Waverly. Mata pria itu membesar saat dia berbicara. "Kau bebas."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD