Perjalanan menuju pegunungan terasa begitu mencekam, satu-satunya suara yang terdengar hanyalah suara bebatuan yang terinjak oleh sepatu setiap mereka melangkah. Malam telah berlalu dan berganti fajar, sementara warna langit pun berubah dengan cepat; dari biru gelap menjadi merah, kemudian merah muda, lalu jingga. Matahari mengintip dari sisi timur cakrawala, membawa serta hari yang baru.
Semenjak Waverly menyadari siapa pria ini, dia terlarut dalam pikirannya sendiri. Apa yang sedang pria ini pikirkan? Dia terlihat ... tenang ... begitu hafal dengan prosedur yang ada. Kurasa setelah melakukannya selama puluhan tahun, kau pun akan terbiasa. Akan tetapi, ada satu pertanyaan yang mengusik benaknya; apakah pria ini yang akan membunuhnya?
Sontak tubuhnya bergidik ketika mereka tiba di suatu dataran yang luas dan terbuka. Di ujung jalan terdapat sebuah mobil kuno tahun 1960-an yang dicat dengan warna abu-abu gelap.
"Kita akan naik mobil?" Waverly bertanya, berusaha menyembunyikan rasa terkejutnya.
"Kau pikir kita akan berjalan kaki ke Pegunungan Trinity?" balas pria itu sedikit jengkel.
"Tidak, maksudku ... kupikir kita akan berlari."
Sang Serigala Merah mengeluarkan kunci mobil dari dalam kantong celana jins birunya dan mengambil gantungan kunci yang berbentuk simbol Kawanan Bayangan Merah, sebelum menyelipkan kunci tersebut ke dalam starter mobil.
"Tidak."
Pria itu berjalan mendahului Waverly dan membukakan pintu untuknya. Langkah Waverly terhenti seketika. Dia tidak menyangka pria itu akan melakukan tindakan semacam itu. Sang Serigala Merah berdiri tegak, perawakannya yang tinggi terlihat semakin menawan saat diterpa sinar mentari pagi.
"Apa lagi?" tanyanya, masih terlihat acuh tak acuh.
Dari kisah-kisah yang pernah dia dengar sejak kecil, hingga gosip yang beredar di antara para kawanan, Sang Serigala Merah tidak terlihat seperti seseorang yang akan menyetir mobil, apalagi membukakan pintu bagi orang lain, terutama untuk seorang korban.
Waverly mengerjapkan mata dengan cepat, kemudian mengenyahkan keterkejutannya. "Tidak ada apa-apa," jawabnya sambil memasuki mobil. "Terima—"
Sebelum Waverly bisa menyelesaikan perkataannya, pria itu telah menutup pintunya, kemudian beranjak ke tempat duduknya sendiri dan menyalakan mobil.
"Tunggu sebentar," Waverly memulai percakapan. "Tadi kau bilang Pegunungan Trinity? Itu—"
Waverly menatap ke arah Sang Serigala Merah yang tatapannya terpaku pada jalanan di hadapannya. Waverly pun menempelkan kepala ke sisi jendela mobil, dan mengamati pepohonan yang mereka lintasi satu per satu sambil membayangkan dirinya berlarian bebas di antara pepohonan tersebut, pergi ke mana pun yang dia impikan. Dia membiarkan matanya mengerjap-ngerjap sebelum akhirnya tertutup sepenuhnya, kemudian suara mobil pun memudar.
Sekali lagi, Waverly berdiri di hadapan seorang pria bayangan. Asap merah masih mengambang di udara, tetapi kali ini asap tersebut mengalir di sekeliling pria itu, alih-alih memisahkan mereka berdua. Ketika dia mendekati pria tersebut dengan hati-hati, ia menyadari sosok pria itu bukanlah hitam melainkan abu-abu gelap, nyaris seolah telah memudar. Di kedua sisinya terdapat dua ekor serigala putih dengan bulu bernoda.
Pria itu mengisyaratkannya untuk mendekat, hanya saja ketika Waverly bergerak, tanah di bawah kakinya bergetar hebat. Waverly mengulurkan tangan, berusaha menyeimbangkan diri, tetapi dia malah terjatuh ke belakang ketika tanah kembali berguncang untuk yang kedua kalinya. Tanah terus bergoyang sementara dia terjatuh semakin dalam ... dan dalam ....
Waverly terduduk tegak di kursinya dan menatap ke sekelilingnya, sementara mobil berguncang selagi mereka berpindah dari jalanan beraspal menuju tanah berkerikil. Mata Sang Serigala Merah tertutup sebuah kacamata hitam, tetapi Waverly tahu bahwa pria itu menyadari dia sudah terbangun.
Waverly memicingkan matanya dan melindunginya dari sinar matahari. Di kaki sebuah lanskap gunung yang tentram terdapat sebuah desa yang terdiri dari sekumpulan serigala dan manusia. Rerumputan hijau yang tinggi dan hamparan bunga menyelimuti tanah, melengkapi pepohonan yang berderet di samping jalan.
Ketika mereka mendekati pemukiman tersebut, Waverly melihat dua ekor anak serigala saling berkejaran, berguling di atas gundukan tanah, dan saling menggigit satu sama lain sebelum berkejaran untuk mencapai halaman belakang rumah mereka.
"Kalian bisa bertahan dalam bentuk serigala di sini?" tanya Waverly, matanya terus menatap ke arah pemukiman.
Sang Serigala Merah menoleh ke arahnya, menunjukkan bahwa pria itu mendengarnya. Akan tetapi, pria itu kembali berpaling dan menatap jalanan di depan sana sementara mereka berkendara melewati pemukiman.
Mobil terus melaju dan berbelok ke sisi jalan, mengikuti jalur berliku yang dipenuhi pepohonan serupa dengan pohon-pohon yang mereka lalui sebelumnya. Waverly memperhatikan selagi mereka melintas memasuki suatu dataran besar yang ditempati oleh sebuah rumah yang bahkan lebih mewah dari seisi desa.
Mobil akhirnya berhenti ketika Sang Serigala Merah mematikan mesin. Pria itu beranjak keluar mobil tanpa mengucapkan sepatah kata pun dan Waverly mengikutinya.
"Ini rumahmu?" tanya Waverly ketika mereka berjalan melewati pintu ke dalam ruang depan yang begitu memukau dan dilengkapi dengan tangga megah serta beberapa lukisan.
Waverly menopangkan tangannya ke dinding, kemudian mengangkat kaki untuk mencopot sepatunya.
"Tuan," seorang pria berkaus hitam dan jins berwarna senada mengangguk begitu mereka berjalan masuk. Sang Serigala Merah melepaskan kacamata hitamnya dan terus berjalan. Waverly menurunkan kaki dan mengikutinya.
"Ini ... aku bahkan tidak bisa mendeskripsikannya." Dia mengintip ke dalam ruangan yang mereka lalui, melihat sebuah meja makan berukuran sedang dengan hanya empat set kursi yang tersedia. Meja tersebut terlihat kosong, hanya ada botol garam dan merica yang diletakan oleh seorang wanita yang mengenakan pakaian hitam dan celemek.
"Lewat sini," kata pria itu. Suaranya serak dan agak kasar.
Waverly mengikutinya menelusuri lorong kecil yang dihiasi patung di sepanjang kedua sisi dindingnya. Pria itu membawanya menuruni anak tangga lainnya, melintasi sebuah perpustakaan, ruang olahraga pribadi, dan beberapa ruangan lain yang pintunya tertutup. Orang-orang dengan pakaian hitam yang sama berlalu-lalang, menundukkan kepala ketika melintas.
Sang Serigala Merah berhenti di depan sebuah ruangan dan mengeluarkan sekumpulan kunci lainnya dari dalam saku. Pintu yang ini terlihat berbeda dari pintu-pintu lainnya. Pintu ini berbingkai kayu dengan kaca patri di tengahnya. Pria itu menyelipkan kunci yang dipilih ke dalam lubang serta memutar kenopnya, mempersilakan Waverly memasuki ruangan.
Di dalamnya terdapat sebuah tempat tidur berukuran sedang yang terletak di area loteng serta menghadap ke sebuah jendela yang menampilkan pemandangan pedesaan. Dindingnya polos, dan tidak ada perabotan lain yang mengisi ruangan tersebut, selain sebuah meja bundar dan secarik surat di atasnya.
Waverly berjalan ke arah meja, kewaspadaannya meningkat.
Pada surat tersebut tertulis: Selamat datang di rumah barumu. Kuharap kau akan betah. SM.
Rasa takut yang hebat menghantam Waverly. Dia menoleh dan menyadari bahwa Sang Serigala Merah mengamatinya sedari tadi, dengan ekspresi seolah menyesal pada wajahnya. Waverly menerjang ke depan, tetapi pintu kayu yang berayun menutup membentur kepalanya dan menguncinya di dalam ruangan.