Bab 3: Pertemuan Awal

1192 Words
"Kau sudah gila?!" seru Finn. Sensasi kebas yang menguasai otak Waverly beberapa saat lalu kini telah memudar, dan ketika dia menyadari risiko dari hal yang baru saja dia lakukan, yang tersisa baginya hanyalah ketakutan yang luar biasa. Semua orang memandanginya dengan terkejut. Ayahnya melangkah maju dan para anggota kawanan pun memberi ruang baginya untuk mendekati sang putri. Dia meletakkan tangan di atas pundak putrinya. Waverly mendapati fitur wajah yang nyaris persis dengan dirinya menatapnya balik. "Kau sungguh yakin?" tanya ayahnya dengan tenang. Waverly memandang ke arah Finn yang menatapnya kesal dan cemas, kemudian ke arah ibunya yang tetap menunjukkan ketegaran, meski tatapannya penuh kengerian. Rasanya Waverly tidak lagi memiliki kendali atas dirinya sendiri. Dia menelan ludah dan perlahan mengangguk, mengabaikan rasa takut yang mencekam dalam dirinya. "Kalau begitu sudah diputuskan." Ayahnya mengulas senyuman menenangkan ke arahnya, sebuah senyuman yang menunjukkan kebanggaan sekaligus kekhawatiran. Ayahnya sekali lagi berpaling ke arah kerumunan dan berbicara lantang, "Waverly akan mengambil alih posisi Isadore sebagai korban yang terpilih." Kawanan tersebut saling bergumam. Hal semacam ini tidak pernah terjadi sebelumnya; tidak ada yang pernah mengajukan diri sendiri untuk hal yang pada dasarnya adalah semacam usaha bunuh diri. Seorang pria dari kerumunan berkata, "Memangnya dia boleh melakukannya? Kita, 'kan, sudah memilih!" Ayah Waverly mengangguk. "Ya, kalian sudah memilih. Meski mengejutkan, tetapi aku tidak melihat ada alasan untuk menolak permintaan Waverly ketika dia sendirilah yang mengajukan diri." "Dia tidak boleh pergi!" Finn berdiri tegap, dadanya membusung sehingga membuatnya terlihat lebih kekar daripada biasanya. "Aturannya tidak seperti itu. Ini mengubah segala yang telah kita lakukan sebelumnya dan jika dia pergi, lalu apa—" "Dia boleh dan AKAN melakukannya!" suara ayah Waverly menggemparkan seluruh penjuru kota, memantul di pepohonan. Penampilan tenangnya mendadak berubah murka. "Dia telah membuat pilihan dan sudah menjadi tugasnya untuk memenuhinya! Lain kali kau mempertanyakan kewenanganku, kau akan dicopot dari jabatan pelatihan Alphamu dan posisimu akan jatuh kepada adik perempuanmu, kau paham?!" Finn terdiam dan beranjak kembali ke sisi ibunya. Waverly merasakan setiap pasang mata menatap ke arahnya ketika Aviana dengan tenang berjalan ke arah dia dan ayahnya. Wanita itu menempelkan tangan di pipi Waverly, kemudian tersenyum dengan bibir terkatup. "Waverly-ku yang cantik, mari kita makan terlebih dahulu sebelum kau pergi." Waverly sepakat. Begitu mereka tiba di rumah pertanian, ibunya menyalakan perapian dan membawakan dirinya dan Waverly segelas wine serta sisa pasta, yang mereka makan bersama. Rasa sakit telah menggantikan rasa takut, dan dia pun mulai mengamati segala detail dari rumah mereka, mengingat jendela di lantai atas yang akan berderik ketika angin menghantamnya, serta bagaimana suara detak jarum jam terdengar lebih keras dalam keheningan total seperti ini. Keheningan itu terus terasa hingga suara langkah kaki terdengar menjejak di serambi depan, kemudian bergerak melewati pintu. "Lee, aku tidak bisa membiarkanmu melakukan ini," ucap Isadore begitu dia memasuki rumah. "Aku bisa mengatasinya." Waverly meletakkan piring kosongnya di atas meja dan memalingkan tubuh ke arah sofa untuk menatap adiknya. "Aku tidak pernah meragukan kemampuanmu, Iz. Hanya saja ... kau baru tujuh belas tahun. Kau masih terlalu muda." "Memangnya kau tidak?" bantah Isadore. "Bagaimana kalau ternyata kau bukan pasangannya?" "Kita akan memikirkannya ketika waktunya tiba." Ekspresi wajah Isadora yang semakin muram membuat Waverly langsung merasa bersalah. "Lee, kumohon, biarkan aku saja yang pergi." Waverly menatap adiknya untuk sesaat, sebelum dia merasakan ibunya menyentuh punggungnya. "Waverly, sayang, sudah saatnya pergi." Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Isadore. "Kumohon." "Aku tidak bisa melakukannya, Isadore. Aku telah membuat pilihanku." Waverly meraih jaketnya yang tergantung di rak di samping pintu dan mengenakannya sebelum memeluk saudarinya. "Kita pasti akan berjumpa lagi secepatnya, ya, 'kan? Sampai saat itu tiba, jaga Reina agar tidak terlibat masalah. Kau tahu betapa lincahnya anak itu." Isadore terkekeh pelan meski air matanya menetes jatuh ke lantai. Aviana mengecup pipi anak perempuan keduanya sebelum menggiring Waverly keluar. ** Dibandingkan malam-malam musim panas lainnya, malam ini terasa jauh lebih dingin daripada biasanya. Sinar bulan menerpa rerumputan dan menerangi hutan gelap di depan sana. Indra Waverly terasa semakin tajam dan telinganya terus waspada memperhatikan suara apa pun yang mungkin menandai kedatangan Sang Serigala Merah. "Tidak perlu khawatir soal pertemuan untuk saat ini," tegur ayahnya seolah-olah dia dapat membaca pikiran Waverly. Waverly, ibunya, dan Finn berjalan di belakang sang Alpha selagi dia memimpin mereka ke arah tanjakan, yang sepertinya semakin lama semakin curam. Ayahnya lanjut berbicara, "Dia tidak pernah hadir sebelum sang Alpha dan anggota kawanannya pergi. Itu adalah caranya untuk tetap memisahkan diri dari kawanan lainnya, sebuah kelompok terpisah." "Dia menyukai kerahasiaan," imbuh Finn, terdengar sedikit mencemooh. "Kau pernah bertemu dengannya?" tanya Waverly. Kakinya terasa semakin lelah karena wujud manusianya tidak terbiasa memanjat lereng terjal dalam jangka waktu panjang. "Tidak ada yang pernah bertemu dengannya," jawab ayahnya. Perjalanan ini sepertinya tidak mempengaruhinya sama sekali. "Selain kawanannya, hanya mereka yang dikorbankan yang pernah melihatnya." Kemudian, mendadak ayahnya berhenti. "Kita sudah sampai." Waverly menatap ke sekelilingnya. Mereka berdiri di puncak suatu bukit yang menghadap ke arah pedesaan lain. Cahaya dari pemandangan tersebut, satu-satunya penerangan sepanjang bermil-mil, bersinar di kejauhan. Hal ini membuatnya merasakan sedikit kedamaian. "Sebagai korban, kau harus menunggunya tiba di sini," perintah sang ayah. "Dia tahu lokasinya dan akan tiba di sini untuk menjemputmu. Setelah itu terjadi, nasibmu ada di tangan para Lycan." Waverly merasa lilitan di perutnya semakin kencang, tetapi dia menahannya dengan penuh tekad. Dia mengangguk. Ibunya berjalan ke arahnya dan mengecup dahinya. "Kita akan segera bertemu kembali," dia berkata, sambil mengikuti suami dan anak laki-lakinya yang telah berjalan menuruni bukit. Waverly menatap ke arah rerumputan dan mulai menginjak-injaknya untuk menciptakan permukaan datar. Dia duduk dan memainkan seutas rumput di puncak bukit sambil memandangi pedesaan. Rasanya begitu damai dan tenang. Suasana malam yang terasa hening membuatnya memutuskan untuk bergelung di atas tanah dan tertidur pulas. ** Saat tertidur, pikiran Waverly terus melayang ke arah sesosok pria. Dia memiliki postur yang tegap, sosok yang sangat menarik perhatian, dengan siluet tubuh hitam kelam. Aura pria itu menampilkan kekuatan dan kenigratan. Ketika Waverly mendekatinya, dia bisa mendengar pria itu berbicara padanya dengan samar, kemudian segumpalan asap merah muncul mengelilingi mereka berdua, menutupi wajah pria tersebut. Waverly kehilangan arah dan dihantui rasa takut, hingga dia mendengar pria itu kembali memanggilnya dari kejauhan. Asap memudar dan tiba-tiba sebuah sosok menerjangnya, membuatnya terlonjak bangun. Waverly menjerit ketakutan sementara ia membuka mata. Dia terlonjak dari tempatnya di atas rumput hingga kakinya menghantam sesuatu. Ketika dia berbalik untuk mencari tahu apa itu, dia melihat sepasang sepatu bot kulit setinggi pergelangan kaki. Waverly mengangkat pandangannya perlahan dan bersitatap dengan sepasang mata paling menawan yang pernah dia lihat: satu hitam dan satu biru. Pria itu balik menatapnya, bulu matanya yang lentik beradu tiap kali dia mengerjap. Ekspresi wajahnya kaku dan suaranya berat. "Ayo pergi, waktu kita tidak banyak. Pegunungannya tidak dekat." Pria itu berbalik dan menyusuri bukit ke arah yang berlawanan dari arah Waverly dan orangtuanya datang. Waverly masih terdiam di atas petak rumput, tidak mampu mengumpulkan tenaga untuk bergerak. Dia sekali lagi menatap ke arah pedesaan sambil berharap dapat menemukan keberaniannya kembali. "Siapa kau?" tanyanya, suaranya bergetar ketika dia berbicara. Langkah kaki pria itu terhenti, dan dia bergeming. "Kau tidak benar-benar perlu kuberitahu, 'kan?" Segala yang Waverly pikirkan dan rasakan mendadak lenyap begitu pemahaman tersebut menghampirinya. Pria itu adalah Sang Serigala Merah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD