Author POV.
Ketika Villia keluar dari lift, ia menghentikan langkah kakinya ketika melihat Amrie yang masih menunggunya, Villia tak tahu harus berbuat apa sekarang, tapi ia tidak boleh bertemu dengan Amrie hari ini, ia harus keluar dari sini tanpa sepengetahuan Amrie.
Villia melihat Dave keluar dari lift lain, ia pun menghampiri Dave dan memegang lengan bosnya itu.
“Ada apa lagi?” tanya Dave menunduk menatap Villia yang masih menyembunyikan wajahnya dari Amrie.
“Tuan, apa saya bisa meminta tolong?”
Dave menggelengkan kepala.
“Amrie masih menunggu saya, apa saya bisa bersembunyi pada Tuan?”
Dave menggeleng dan mencoba tidak terpengaruh pada Villia, ia tidak boleh lagi ikut campur pada urusan Villia, karena itu hanya akan membuat dirinya terlihat banyak ikut campur urusan orang lain.
Dave kembali melangkahkan kakinya, namun Villia malah berdiri disampingnya, Dave menoleh, gadis yang berani, bisa-bisanya gadis itu mengganggunya, bahkan mereka tidak memiliki hubungan apa pun.
“Villia!” teriak Amrie membuat Villia menghela napas panjang, Villia berdiri tidak jauh dari Amrie, lalu lelaki itu mendekatinya, sedangkan Dave melanjutkan langkah kakinya.
“Apa yang lakukan di sini? Aku sudah katakan kepadamu, kita tidak punya sesuatu yang harus kita bicarakan,” kata Villia dengan helaan napas kasar.
“Aku sudah katakan kepadamu. Aku tidak mau putus dari kamu,” kata Amrie.
“Apa kamu gila? Apa sih yang kamu harapkan dariku? Kamu sudah memiliki kekasih.”
“Astaga. Itu semua hanya salah paham.”
“Aku sudah katakan kepadamu, Amrie. Jangan menggangguku. Please,” lirih Villia.
“Ayo ikut aku,” kata Amrie lalu menarik Villia, namun sebuah tangan menggenggam lengannya, Villia menoleh dan melihat Dave yang kini berdiri tidak jauh dari keduanya. Amrie menautkan alis dan menghela napas halus. Lalu, kembali berkata, “Dave, kamu jangan ikut campur. Dia ini kekasihku.”
“Aku bukan kekasihmu, kita sudah putus,” kata Villia.
“Wah. Apa ini? Apa kamu berlindung dibelakangnya?” tanya Amrie dengan sudut bibir terangkat, Amrie menyeringai menatap wajah Dave.
“Jika kamu punya urusan dengannya, bertemu lah di luar. Jangan bertemu di tempat kerja, kamu hanya mengganggu karyawan jika seperti ini,” kata Dave masih menggenggam kuat lengan Amrie.
“Lepaskan aku!” Amrie menghempaskan tangan Dave dan melepaskan genggaman tangannya pada Villia, membuat Villia bersembunyi dibelakang Dave, entah mengapa Villia malah percaya kepada Dave, sedangkan ia tidak mengenal pria itu.
“Tolong aku!” lirih Villia.
“Aku sudah katakan kepadamu. Aku memiliki urusan dengannya,” kata Amrie.
“Aku juga sudah mengatakannya, jika ada urusan dengannya, lebih baik bertemu dengannya diluar.”
“Kenapa kamu ikut campur?” tanya Amrie. “Dia bukan siapa-siapa.”
“Dia karyawanku. Dia bekerja dibawahku. Jadi, aku pasti ikut campur.”
“Wah. Sejak kapan kamu ikut campur dengan urusan karyawan? Apa kamu tidak ada pekerjaan lain?” tanya Amrie.
Clarisa keluar dari lift dan menoleh melihat pandangan orang-orang, Clarisan menautkan alis dan melihat Dave, Amrie dan karyawan baru itu sedang berdiri. Clarisa menghela napas panjang dan menggeleng tak percaya. Dave benar-benar kurang pekerjaan, sampai harus ikut campur urusan orang lain seperti itu.
Clarisa setengah berlari dan menghampiri ketiganya. Lalu dengan helaan napas halus, berkata, “Dave, ada apa ini? Kenapa kalian terlihat seperti itu?”
“Clarisa, dia ini selalu saja ikut campur urusanku. Aku memiliki urusan dengan Villia. Namun, dia malah melarangku dan melindungi wanita itu,” geleng Amrie mengadu pada Clarisa.
Clarisa mendongak dan menatap wajah Dave. “Apa kamu sudah kehilangan akal? Kenapa kamu ikut campur urusannya?”
Dave tidak bisa menjelaskan apa pun, ia juga tidak tahu mengapa ia ikut campur urusan keduanya, Dave menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Tidak mungkin menjelaskan tentang ia yang perduli pada karyawannya. Karena itu hanya akan menjadi alasan busyit. Klise memang, alih-alih menjelaskan, Dave malah menarik Villia dan membawanya pergi bersamanya, meninggalkan Clarisa dan Amrie yang kini tertegun melihat keduanya.
Clarisa mengepalkan kedua tangannya dan tidak memahami kebaikan Dave pada Villia, ada apa sebenarnya. Mengapa Dave malah membela Villia, bahkan mata Dave terlihat khawatir.
Dave memasukkan Villia ke mobil, lalu ia mengemudikan mobilnya meninggalkan pelataran parkir. Villia masih tertegun dan menoleh menatap Dave.
“Apa-apaan ini? Kenapa Dave terlihat perduli pada Villia? Apa hubungan mereka?” tanya Amrie pada Clarisa yang kini terlihat marah. “Aku tidak pernah melihat Dave seperti itu padamu. Apa dia melupakanmu?”
“Jangan ganggu mereka, Amrie. Kamu hanya akan menyakiti dirimu sendiri. Aku memiliki wewenang di perusahaan ini.”
“Kamu memiliki wewenang. Namun, jabatanmu lebih rendah dibandingkan aku. Apa kamu paham?”
Clarisa menoleh dan menatap wajah Amrie yang menyindirnya barusan.
“Dimana rumahmu?” tanya Dave.
“Jalan Bunggal,” jawab Villia. “Terima kasih.”
Dave mengabaikan ucapan terima kasih Villia. Dave tidak ingin perduli, namun entah mengapa ia malah perduli pada Villia.
Ponsel Dave bergetar sejak tadi, Dave tahu telpon itu dari Clarisa, namun Dave memilih mengabaikannya karena tidak ingin bertengkar dengan sahabatnya itu.
Mendengar deru mobil, Tridy dan Isabela mengintip lewat jendela, melihat mobil mewah parkir didepan rumah mereka, sesaat kemudian Villia keluar dari mobil tersebut, Villia melambaikan tangannya, lalu mobil itu pergi meninggalkan pelataran parkir rumahnya.
Belum juga ia melangkahkan kakinya, Tridy langsung berlari menghampirinya, lalu menarik adiknya masuk ke dalam rumah.
“Siapa dia?” tanya Tridy.
“Apa sih kamu,” geleng Villia.
“Aku akan ambilkan minum,” kata Tridy lalu setengah berlari menuju dapur membuat Villia tertawa kecil melihat tingkah kakaknya yang penasaran.
Isabela ikut tertawa dan menggelengkan kepala.
Sesaat kemudian, Tridy kembali dan membawa satu gelas air mineral, lalu diberikan kepada Villia adiknya. Villia meneguknya hingga tandas karena minum air putih pun baik untuk tubuh.
“Siapa yang mengantarmu?” tanya Tridy tanpa basa-basi lagi.
“Apa kalian sepenasaran itu?”
“Kamu kan baru bekerja, tentu saja kita akan penasaran siapa yang mengantarmu. Apa kamu sudah mendapatkan pengganti Amrie?” tanya Tridy.
“Ya ampun. Apa segampang itu?” geleng Villia.
“Lalu tadi siapa? Mobilnya mewah sekali. Aku tahu mobil itu, itu hanya dimiliki orang-orang tertentu.”
“Dia bosku,” jawab Villia.
“Bossmu?”
“Hem. Hari ini ini ada kejadian yang membuat bossku terpaksa menolongku. Jadi, kalian jangan salah paham.” Villia menjelaskan.
“Kejadian apa?” tanya Tridy, ia masih penasaran.
“Amrie ternyata … bekerja di perusahaan itu juga,” jawab Villia.
“Apa? Dia bekerja di perusahaan itu? Kamu bertemu dengannya?” tanya Isabela.
“Yaps. Aku bertemu dengannya dan bossku itu yang menolongku.”
“Kenapa dia bisa menolongmu?”
“Aku meminta tolong kepadanya,” jawab Villia.
“Jadi, dia mengantarmu pulang?”
Villia menganggukkan kepala. “Dia melindungiku dari Amrie.”
“Lalu kenapa dia melindungimu? Apa alasannya? Ya tidak ada orang yang mau ikut campur terhadap orang lain semudah itu,” kata Isabela membuat Tridy menganggukkan kepala.
“Benar kata Isabela. Mungkin saja … bossmu itu suka sama kamu.”
“Dia melindungiku karena aku ini bawahannya. Bekerja di bawah bimbingannya,” jawab Villia. “Jadi, tidak akan ada yang terjadi antara kami. Aku pun akan bersikap yang sama dengan bossku jika aku melihat sesuatu yang tidak benar.”
“Aku masih curiga,” kata Isabela.
“Benar. Aku juga,” sambung Tridy. “Tapi aku berharap kamu bisa sama bossmu itu.”
“Maksudmu?”
“Ya semoga saja kalian jodoh. Kalau dia melindungimu artinya dia bisa melindungimu juga nantinya,” kata Tridy.
“Apa semudah itu kelihatannya? Tidak akan mudah menemukan lelaki yang seperti itu.”
“Tapi kamu sudah menemukannya, bossmu itu pasti perduli sama kamu,” kata Isabela.
“Lebih baik kalian cari kekasih juga. Jangan ikut campur urusanku,” geleng Villia bangkit dari duduknya.
“Hari ini, jadwalmu yang masak,” kata Isabela. “Jangan lupa.”
Villia menganggukkan kepala, lalu melangkah masuk ke kamarnya. Meski rumah mereka kecil, tapi mereka bertiga bisa nyaman senyaman-nyamannya di rumah ini.
“Aku yakin, boss Villia itu perduli kepadanya,” kata Tridy.
“Tapi, Villia tidak menyadarinya, begitu?”
“Benar.”
“Ah, jangan mengatakan hal itu, Tridy. Villia baru saja putus cinta. Baru saja selesai menangis. Jadi, aku tidak membenarkan apa pun perkataanmu tentang bosnya itu. Mungkin saja apa yang dikatakan Villia memang benar. Bosnya itu hanya menganggapnya sebagai karyawan biasa dan kemungkinan memang bosnya aja yang terlewat perduli karena hari ini adalah hari pertama Villia bekerja.”
“Jangan menganggap bahwa boss Villia itu seperti orang tua kita,” geleng Tridy.
“Sudah lah. Aku mau ke kamar,” kata Isabela, lalu bangkit dari duduknya.
Villia berbaring di atas ranjangnya dan melihat langit-langit kamarnya, langit-langit kamar itu seperti berseru kepadanya, bahwa hari ini adalah pencapaian yang besar untuknya. Villia benar-benar beruntung karena Dave mau menolongnya, meski itu tidak akan membuat Amrie menyerah padanya. Namun, setidaknya bisa menghindari Amrie sementara waktu.