Putus Cinta
Seorang gadis dengan rambut berwarna coklat gelap, kulit yang sangat putih, juga dagu yang lancip, sedang duduk ditaman Universitas Of Milan, seraya menyeka airmatanya beberapa kali, ia terlihat seperti seseorang yang baru saja kehilangan sesuatu yang berharga.
Air matanya luruh begitu saja, bagaimana tidak jika harapan bahagianya dihancurkan hanya karena seseorang yang baru hadir.
Wanita itu bernama Evelynda Villia Steward, wanita yang terlahir sangat cantik dan sempurna, namun kecantikan dan kesempurnaan yang ia miliki tidak membuatnya berhasil memiliki cinta yang indah. Selalu saja kisah cintanya berakhir sad dan tidak membahagiakan.
Gadis itu sering dipanggil Villia, wanita cantik yang menjadi model kampus. Villia dari keluarga yang lebih dari cukup yang terbilang cukup mapan. Ia memiliki saudara perempuan yang beda dua tahun dengannya, saudaranya itu bernama Tridy Lily Steward yang kini kuliah di kampus yang sama, namun mereka berbeda jurusan.
Villia menyeka airmatanya dan mencoba menenangkan dirinya, ia harus kuat dan tidak boleh lemah atas apa yang ia lihat tadi.
Tepukan dipunggungnya membuatnya terkejut, ia pun buru-buru menghapus airmatanya dan menoleh untuk melihat dua wanita cantik tengah tersenyum padanya.
Tridy adalah wanita yang cantik dan penyayang, ia sangat menyayangi Villia adiknya, sedangkan wanita satunya adalah Isabel, wanita tomboy yang banyak mengira bahwa dirinya tidak seperti wanita. Isabel memang terlihat seperti lelaki, dari penampilan dan gaya jalannya pun berbeda dengan wanita feminim pada umumnya.
“Kenapa kamu di sini? Kami mencarimu sejak tadi,” tanya Isabel duduk dihadapan Villia, begitu pun Tridy.
Mereka bertiga tinggal di rumah yang sama rumah dengan arsitektur klasik, elegant namun tetap terlihat sederhana. Desain arsitektur klasik sendiri adalah gaya bangunan dan teknik mendesain yang mengacu pada zaman Yunani kuno pada pediode Helenistik dan kekaisaran Romawi.
Impian mereka bertiga pun berbeda, namun selalu saling mendukung satu sama lain, seolah mereka tidak bisa hidup berjauhan.
Tridy dan Villia memilih menyewa salah satu rumah sederhana yang ada di jejeran kawasan biasa di Milan, Italia. Mereka memilih meninggalkan tempat lahir mereka dan mengejar pendidikan di kota besar ini. Ayah mereka yang menginginkan mereka menjadi orang yang sukses dan tidak di pandang remeh oleh orang lain. Karena dunia ini adalah dunia dimana kamu akan dipandang baik jika kamu memiliki sesuatu yang bisa kamu banggakan.
Milan terkenal sebagai salah satu kota dengan rent tertinggi dan biaya hidup yang mahal di Eropa.
Ayah Villia dan Tridy tinggal di Venesia, Ibu kota Regione Veneto dan Provinsi Venezia di Italia. Kota ini memiliki luas wilayah 412 km² dan populasi 271.663 jiwa ketika di data sensus 2003. Jadi, kota ini terbilang cukup kecil, namun di kota itu lah keluarga Villia tinggal dan di kota itu juga tempat ia dan saudaranya lahir.
“Villia, ada apa?” sikut Tridy membuat Villia menoleh menatap saudaranya itu.
“Aku putus,” jawab Villia.
“Putus? Dengan … Amrie?”
Villia mengangguk, namun tawa terdengar dari Isabel, membuat Villia menghela napas halus karena Isabel memang selalu mengharapkan dirinya putus dari Amrie, lelaki yang berhasil membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama, itu lah yang di rasakan Villia ketika pertama kali bertemu dengan Amrie di salah satu festival kampus.
Kala itu Villia terus berusaha meredam detak jantungnya, ketika Amrie duduk disampingnya dan mereka bersebelahan, awalnya mereka hanya saling menanyai jurusan masing-masing, namun berubah menjadi obrolan serius. Amrie menyatakan tertarik pada sosok Villia yang terlihat cantik dan menawan.
Kecantikan Villia memang diatas rata-rata, bahkan ia menjadi model kampus, ia selalu ikut lomba kontes yang dibanggakan kampusnya ini, namun cantik dan memiliki pendidikan pun tak membuat Villia mendapatkan apa yang ia inginkan.
Tridy menoleh dan menggelengkan kepala melihat Isabel yang terlihat senang melihat Villia putus. “Kamu kok ketawa, Bel?” geleng Tridy.
“Bagaimana tidak ketawa, kalau aku bersyukur sekali jika Villia putus sama Amrie,” jawab Isabel. “Aku kan sudah bilang, b******k itu ya akan selalu menjadi brengsek.”
“Villia memang wanita yang mudah percaya dan jatuh cinta pada lelaki yang mengumbar janji,” sambung Tridy.
“Aku berharap ini menjadi pengalaman untukmu, bahwa lelaki yang kebanyakan janji hanya akan membawa sakit hati,” sambung Isabel.
“Aku minta maaf karena tidak pernah percaya pada kata kalian,” lirih Villia.
“Dimana kamu menemukan b******k itu sedang m***m?” tanya Tridy.
“Aku menemukannya di belakang kampus, dia sedang berciuman mesra dengan mahasiswa baru.”
Isabel tertawa, alih-alih menguatkan Villia yang baru putus, ia malah tertawa dan senang mendengar kabar itu, kabar yang sudah lama Isabel dan Tridy inginkan. Amrie adalah lelaki yang terkenal m***m di kampus ini, Amrie tidak bisa melihat sesuatu yang indah, jika ia melihatnya, ke playboy-nya akan kambuh.
Isabel dan Tridy selalu mengingatkan pada Villia tentang siapa Amrie, namun Villia tidak pernah percaya dan baru kali ini menangis hanya karena seorang lelaki. Isabel menghela napas halus dan bangkit dari duduknya, ia pindah ke sebelah Villia dan mengelus punggung wanita itu.
“Kamu adalah wanita yang cantik, tidak perlu menangis hanya karena lelaki seperti Amrie,”geleng Isabel.
“Jiwa kewanitaanmu akhirnya muncul,” kekeh Tridy.
“Karena itu aku tidak pernah menyukai lelaki apalagi wanita,”jawab Isabel.
“Jadi kamu mau hidup sendiri selamanya?”
“Aku menyesal di lahirkan sebagai wanita,”jawab Isabel. “Karena sakit hati itu susah untuk disembuhkan.”
“Jangan menyesali ciptaan Tuhan.”
“Sudah lah, kamu jangan menangis,” geleng Isabel.
“Rasa perih dan terluka, itulah yang akan dirasakan ketika cinta yang diharapkan tidak dibalas dengan hal yang sama. Memang begitu, kalau sudah terlanjur cinta sulit untuk menyingkirkan perasaan sayang kepada kekasih,” jawab Villia menghela napas panjang.
“Pelangi hanya terjadi saat hujan turun. Ketabahan hanya terbentuk saat luka menusuk jiwa,” kata Tridy.
“Kamu dapat kata-kata darimana?”
“Dari internet,” kekeh Tridy. “Penulisnya seorang anonim.”
“Ya sudah. Kita pulang saja,” sambung Isabel.
“Aku tidak ingin pulang,” lirih Villia.
“Kamu mau kemana?”
“Antarkan aku ke suatu tempat, kalian harus menemaniku,” jawab Villia membuat Tridy dan Isabel saling bertukar pandangan. Mereka tidak tahu apa yang akan dilakukan Villia.
***
Sampailah Villia, Tridy dan Isabel di salah satu bar di Milan, Birrificio Lambrate, terdengar suara musik keras yang menjadi patokan para wanita dan laki-laki yang sedang bergoyang di lantai dansa. Bar ini sangat lah ramai membuat mereka bertiga duduk di meja pojok agar lebih dekat dengan lantai dansa dimana semua orang sedang melikukkan tubuh mereka mengikuti alunan musik keras yang begitu menarik.
“Jadi ini tempat yang kamu maksud?” tanya Tridy pada adiknya.
“Iya. Aku harus mabuk agar bisa tidur,” jawab Villia.
“Kamu benar-benar putus asa,” geleng Isabel menggoyangkan bahunya mengikuti alunan musik keras yang menggema ditempat ini.