Flashback ON.
Villia melangkahkan kakinya meninggalkan Amrie keluar dari salah satu coffee shop di jajaran kawasan kantor, sebuah tangan mencegahnya hingga ia menoleh dan melihat Amrie yang menatapnya tajam saat ini.
Villia heran sekali kepada Amrie. Amrie yang duluan berselingkuh, namun mengapa Villia merasa bersalah saat ini?
Villia memang belum bertemu dengan Amrie setelah ia tahu Amrie berselingkuh dengan salah satu mahasiswa di kampus, Villia tidak akan menerimanya semudah itu dan berpura-pura lupa bahwa kekasihnya itu berselingkuh.
Villia menghela napas panjang dan berkata, "Ada apa lagi, Amrie?"
"Aku tidak mau putus denganmu."
"Jangan gila kamu."
"Aku akan lebih gila dari ini," kata Amrie. "Sayangnya kamu bekerja di tempatku bekerja. Dan, asal kamu tahu saja, pemilik perusahaan ini adalah pamanku."
"Terus? Jika milik pamanmu, kenapa?"
"Ya tidak apa-apa. Aku hanya mengingatkanmu jangan sampai membuatku marah. Membuatku harus menyakitimu." Perkataan Amrie saat ini benar-benar terdengar seperti sebuah ancaman.
"Kamu mengancamku?"
"Tentu saja. Apa pun bisa aku lakukan agar kamu tetap di sisiku. Aku sudah katakan. Aku tidak akan pernah mau putus."
"Apa masalahmu?"
"Masalahku? Aku harus membuatmu berpikir bahwa hanya aku pria yang akan memilikimu."
Flashback OFF.
***
"Villia! Villia!" panggil sebuah suara membuat Villia menoleh.
"Iya?"
"Sejak tadi kamu berdiri di situ, lihat kertasnya, tidak kamu atur." Salah satu rekan kerjanya bernama Mitrina itu menggeleng tak percaya.
Villia lalu menundukkan kepala dan terkejut, semua kertas sangat berantakan.
"Oh maaf," ucap Villia.
"Kalau kerja itu yang becus. Jangan selalu menganggap pekerjaan ini seperti tugas kuliah yang biasa di abaikan." Mitrina menyindir membuat Villia menganggukkan kepala.
Villia lalu mengatur semua kertas yang berantakan itu dan mencoba menyusunnya, namun susunannya malah berantakan.
Villia menghela napas panjang, ia menggeleng tak percaya jika ia seceroboh ini, Villia lalu mengatur semua kertas itu meski susunannya sudah tidak sesuai dengan apa yang Dave berikan.
Villia lalu membawa semua kertas itu ke hadapan Dave.
"Ada apa ini? Kenapa berantakan sekali?" tanya Dave.
"Saya minta maaf, Tuan, saya tidak tahu mengapa semua ini jadi kacau seperti ini." Villia menundukkan kepala. Beberapa dari mereka selalu saja
"Kamu tidak tahu? Kenapa bisa kamu tidak tahu? Sementara yang membuat kekacauan ini adalah kamu. Apa kamu menganggap pekerjaan yang saya berikan itu seperti tugas kuliah?" Dave mendongak dan menatap wajah Villia yang kini di tekuk.
"Maaf, Tuan," lirih Villia.
"Kamu susun semua itu sampai rapi, saya tidak mau tahu, kamu lembur itu tidak penting bagi saya. Yang penting selesaikan semua itu dan bertanggung jawab lah dengan apa yang kamu kacaukan."
Villia menganggukkan kepala, wajahnya ia tekuk, sampai beberapa rekan kerjanya malah menertawainya. Dave memang seperti itu, selalu saja marah jika pekerjaan tidak ada komentar yang beres.
"Dave, ada apa? Kenapa kamu memarahi anak magang?" tanya Clarissa yang mendengar kebisingan.
"Tidak ada." Dave menjawab.
"Aku mendengarnya, Dave. Ada apa? Apa anak magang ini tidak becus dalam bekerja? Kamu kan tahu dia masih magang, akan selalu ada saja yang salah."
"Harusnya dia belajar dari kesalahannya, jangan selalu menambah pekerjaan dan membawa masalah. Ini bukan kampus, yang boleh tidak menyetor tugas, dan boleh mengabaikan."
Villia merasa kesal pada bosnya itu, selalu saja Dave tidak melihat apa yang ia kerjakan, meski pria itu tidak mau tahu tentang itu.
Vilia kepikiran tentang perkataan Amrie, ia jadi pusing, dan bingung harus bagaimana, setiap apa yang ingin ia kerjakan, selalu saja kepikiran pada pria yang ia putuskan hari ini dan pada akhirnya membuat susah dan pekerjaannya tidak ada yang beres.
"Dave, ayo makan siang," ajak Clarissa.
"Aku masih banyak pekerjaan."
"Setelah bekerja kamu ke ruanganku, kita makan siang bersama."
"Ada baiknya kamu makan siang duluan. Aku lagi banyak pekerjaan. Dan, aku tidak memikirkan hal lain selain menyelesaikan permintaan Tuan Helix," tolak Dave membuat Clarissa malu didepan semua bawahannya. Apalagi mereka semua mendengar apa yang ia katakan.
Beberapa karyawan jadi merasa insecure karena Clarissa saja ditolak apalagi mereka yang bukan siapa-siapa.
Clarissa menggeleng, lalu menghela napas halus, ia lalu melangkah kembali ke ruangannya, ia menutup semua tirainya menggunakan remote control.
Clarissa menghentak kakinya dan geram sekali dengan sikap Dave. Ia mengepal kedua tangannya dengan kesal. Setidaknya, meski Dave menolaknya, tapi jangan didepan semua orang.
"Eh kalian lihat kan, Nona Clarissa marah sekali," kekeh Mitrina.
"Benar. Aku juga mendengar dia mengamuk di dalam sana."
"Ah. Aku jadi insecure."
"Why?"
"Karena, Nona Clarissa yang kaya raya dan cantik saja di tolak oleh Tuan Dave, bagaimana kita? Yang bukan siapa-siapa."
"Ah. Sepertinya Tuan Dave saja yang tidak mau pacaran."
"Lebih baik kalian kerja saja. Jam makan siang kalian baru bisa bergosip." Dave menggelengkan kepala tanpa berbalik melihat bawahannya.
Semuanya lalu diam dan saling memberi kode.
***
"Berkas apa ini? Kenapa kalian tidak bekerja dengan baik?" Amrie melampiaskan kekesalannya kepada semua bawahannya.
Ia mendapatkan jabatan sebagai salah satu manager di tempat ini, karena pamannya adalah pemilik perusahaan. Jadi, ia memanfaatkannya dengan baik.
Semua bawahannya itu mengambil dokumen yang di buang Amrie. Selalu saja ada yang tidak di sukai Amrie.
Amrie kesal sekali kepada Villia. Villia selalu saja sok jual mahal padanya, sementara selama ini hubungan mereka baik-baik saja. Ia memang terkenal candu pada wanita.
Wanita yang di goda Amrie lalu memainkan rambutnya, setelah semuanya keluar dari ruangannya.
"Kamu kenapa masih di sini?"
"Aku hanya mau bertanya padamu, apa kamu membutuhkanku malam ini? Aku siap dan aku free."
"Terus kamu pikir aku mau? Aku lagi kesal."
"Aku janji aku akan membuatmu melayang malam ini."
"Aku sedang marah. Jadi, tidak usah menggangguku. Lagian, tubuhmu kurang menarik."
"Apa?"
"Kenapa? Kamu marah? Mau aku pecat saja?"
Wanita itu menggeleng kuat dan menghela napas halus. Lalu melangkah keluar ruangan Amrie. Sebenarnya, Amrie belum banyak mengetahui tentang perusahaan, ia hanya mengandalkan pamannya yang pemilik perusahaan.
Amrie memukul meja kerjanya keras. Ia kesal sekali dengan sikap Villia yang cuek padanya.
Amrie lalu bangkit dari duduknya dan melangkah keluar ruangannya, ia langsung ke departemen sebelah, ia ingin menemui Villia.
***
Villia menghela napas panjang, bagaimana ia bisa tahu semua susunan kertas yang kini berserakan di hadapannya. Sementara, semua kertas ini akan di serahkan kepada pria yang bernama Tuan Helix.
Villia benar-benar tidak berguna, ia menoleh dan melihat meja kerja bosnya. Untung saja Dave tidak di tempat saat ini, jadi ia masih bernapas lega, jika Dave ada di sini, sudah pasti ia akan kehilangan kepercayaan diri.
Entah pria itu kemana, Villia tidak tahu, namun ia bersyukur akhirnya pria itu pergi dari tempat ini untuk membuatnya bernapas lega.
"Villia!" teriak sebuah suara membuat Villia menoleh dan melihat Amrie tengah berdiri didepan pintu masuk.
Villia menurunkan kepalanya agar tak terlihat.
"Villia!" teriak Amrie lagi membuat semuanya keheranan melihat sikap Amrie.
Ada yang keheranan darimana Amrie mengenal Villia. Dan ada masalah apa di antara keduanya.