Kencan Pertama

1780 Words
Kenapa Adel bersedia? Karena ia merasa Ben ada benarnya. Ia ingin memastikan perasaannya lalu mengakhirinya dengan benar. Malam ini, Adel setuju dijemput oleh Ben. Meski hanya dijemput di parkiran, karena Adel menolak mati-matian untuk dijemput di apartemennya. Ben mengantar Adel ke sebuah salon kecantikan. Kenapa salon? Yah, hitung-hitung memanjakan calon pacarnya itu. Bukankah setiap wanita suka dimanjakan? Adel diam saja dengan semua yang dilakukan Ben untuknya. Toh, beberapa bulan terakhir ini Adel memang tak menyempatkan diri untuk melakukan perawatan. Setelah menyelesaikan dandanan dan menata rambutnya, Ben membawa Adel ke sebuah butik, tepat di sebelah salon kecantikan yang tadi. Di tempat itu, Adel memilih-milih pakaian dengan bingung. “Kita mau ke acara apa sih?” “Rahasia.” “Ben, gue kan harus tau biar bisa milih gaun yang sesuai. Kan loe juga yang nantinya bakalan malu kalo gue salah kostum.” “Mau ke kondangan.” “Kondangan? Siapa yang nikah?” “Ke acara pertunangannya mantan … aku,” ujar Ben sambil menggaruk kepala. Tawa Adel pecah saat itu juga. Ia tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya. Kasian sekali Ben, harus ke acara pertunangan mantan pacarnya. Miris, tapi bukannya prihatin. Adel malah menertawakannya. “Jadi gue dijadiin tameng biar loe gak ngenes amat datang sendirian?” Adel memilih sebuah gaun panjang berwarna navy. Warna navy pasti akan membuat kulit putihnya lebih terpancar. Setidaknya Ben tidak akan ngenes-ngenes amat di acara pertunangan mantannya kalau Adel terlihat lebih cantik. Sementara Adel berganti pakaian, Ben menunggunya di sebuah ruangan tunggu khusus. Hanya ia yang ada di ruangan tersebut karena para pegawai butik memang sengaja meninggalkannya berdua dengan Adel yang masih berada di balik tirai ruang ganti. Adel keluar dari ruang ganti dan memperlihatkan penampilannya pada Ben. Ia memutar tubuhnya beberapa kali. Ben tersenyum puas memandangi penampilan Adel. Sangat cantik, sangat-sangat cantik hingga ia kesulitan mengontrol mata nakalnya. “Cantik banget, Del,” puji Ben. “Cantikan mana dari mantan loe?” “Cantikan kamu,” jawabnya sambil mendekati Adel. Diraihnya panggang wanita itu agar merapat padanya. Yang entah mengapa Adel justru tak keberatan dengan perlakuan tersebut. Adel tersenyum bangga. Entah hanya sekedar ucapan Ben untuk menyenangkannya atau ia memang benar-benar lebih cantik, tapi Adel tetap tersanjung. “Makanya cari pacar Ben, biar hidup loe gak ngenes amat gara-gara ditinggal nikah sama mantan loe.” Ben tersenyum samar, tangannya bergerak melingkari pinggang ramping wanita itu, lebih erat. “Makanya pacaranlah denganku, kamu mau, 'kan?” Adel memilih tak menjawab, tapi ia malah mendongakkan kepalanya. Pergerakan Adel membuat posisinya sangat dekat dengan wajah Ben. Ben tersenyum lalu meraih tengkuk Adel dan menciumnya. Adel tak menolak sama sekali, ia membiarkan pria itu membelai permukaan bibirnya. Belaian bibir Ben, sukses membuat Adel memejamkan mata, menikmati bagaimana lembutnya perlakuan pria itu. Sisi wajahnya diusap lembut, sementara Ben mulai menghisap pelan bibir bawah Adel. Tak ada pembalasan atau bahkan penolakan yang Adel beri, ia biarkan pria itu berkuasa atas kemauannya sendiri. Sementara ia menenggelamkan diri, dalam ciuman tersebut. Membiarkan dirinya, berharap atau lebih tepatnya terombang-ambing atas perasaan yang tak seharusnya ia mulai. Ben mengakhiri ciumannya di bibir Adel, lalu mengiringinya dengan sebuah kecupan lembut di kening wanita itu. “Apakah ini artinya kita berpacaran sekarang?” “Loh kenapa?” tanya Adel dengan bingung. “Karena kamu menciumku.” “Siapa yang nyium loe, bukannya kebalik?” ketus Adel tak terima. “Loh, kan kamu yang duluan, kamu deketin bibir kamu. Artinya minta dicium, ‘kan?” Adel memukul lengan Ben. “Siapa yang minta dicium. Leher gue sakit, pegel, loe aja yang salah paham.” Karena kesal, Adel memilih melepaskan diri dari pelukan Ben dengan wajah yang cemberut. Wanita itu berjalan keluar dari ruang tunggu sambil mendumel sendiri. Entah mendumeli Ben atau sedang mendumel pada dirinya sendiri. Sementara itu, Ben tersenyum miring memandangi punggung Adel yang semakin menjauh. “Kamu … akan menjadi milikku, kupastikan itu.” Ben mengejar langkah Adel dengan derap langkahnya yang lebar. Dalam hati ia mengucap sumpah bahwa Adel adalah wanita yang ia inginkan, entah bagaimanapun itu, akan ia miliki. “Ayo,” ajak Ben sambil mengulurkan tangannya. Adel mendongakkan kepala, melihat pria itu lebih dekat. Seulas senyum terbit dari bibirnya. “Ayo, gue temenin loe,” balas Adel lantas meraih uluran tangan Ben. “Ucapanku malam itu, tak pernah kusadari jika kau mengartikannya dalam hal yang lain. ‘Menemani’ yang kumaksud adalah menemanimu ke pesta pertunangan mantan pacarmu.” “Ucapanmu malam itu, kuanggap sebuah penerimaan. Bahwa kau bersedia menemani di sepanjang jalan hidupku. Karena kata ‘ayo’ yang kumaksud adalah ajakan untuk kita bersama selamanya. Bukan untuk bersama dalam satu malam.” Adel mengamit lengan Ben dengan mesra sambil memasuki aula hotel tempat acara pertunangan mantan Ben. Indri, wanita itu adalah cinta pertama Ben. Cinta pertama dan juga pacar pertamanya. Wanita yang telah Ben pacari bertahun-tahun namun memilih meninggalkan Ben saat pria itu benar-benar berada dalam posisi tersulit dalam hidupnya. Indri meninggalkan Ben saat Ben terpuruk karena masalah ekonomi perusahaannya. Indri meninggalkan Ben dan lebih memilih sahabat Ben yang lebih kaya dan lebih mapan saat itu. Namun, keadaan berbalik sekarang. Perusahaan milik Ben jauh lebih sukses dari perusahaan milik Tommy, pria yang dipilih oleh Indri. Tak masalah, toh sekarang Ben sudah menemukan cintanya yang baru. Ia memiliki Adel yang kini memenuhi seluruh hatinya. Pesona Adel mengusir segala hal tentang Indri dari hati Ben. Karena itulah, Ben bersedia untuk datang ke acara pertunangan Indri dan Tommy. Bukan berniat buruk tapi ia ingin menunjukkan bahwa ia sudah benar-benar melupakan Indri. “Hey, Ben,” sapa Tommy Ben memeluk Tommy lalu mengucapkan selamat. Ben tersenyum pada Indri dan tak lupa mengucapkan selamat dengan tulus. Tak ada lagi dendam atau rasa sakit yang tersisa di hati Ben, ia benar-benar sudah melepaskan Indri. “Siapa nih, Ben?” celetuk salah seorang sahabat Ben yang lain. “Calon emaknya anak-anak gue,” ucap Ben dengan bangga. Ben memperkenalkan Adel dengan bangga pada sahabat-sahabatnya. Adel juga sangat ramah menyalami sahabat-sahabat Ben. Acara pertunangan dimulai, masing-masing pihak keluarga memberikan sambutan kepada para tamu undangan. Sekarang giliran Tommy dan Indri untuk mengambil tempat dan saling bertukar cincin. “Sabar …,” goda Adel sambil menepuk-nepuk punggung Ben. Ia menatap pria itu dengan tatapan iba. “Jangan sedih yah, entar loe bakalan dapet gantinya,” lanjutnya dengan senyum terkulum. Dikasihani oleh Adel jelaslah membuat Ben kesal. “Uh, kasiannya mahasiswaku satu ini, uh … sabar yah ….” Semakin wajah Ben memerah karena kesal, semakin gencar pula Adel menggodanya. Ben benar-benar kesal apalagi Adel melakukannya di hadapan sahabat-sahabatnya. Bisa-bisa ia dikirai masih menaruh hati pada Indri. “Cup … cup … cup … jangan nangis yah,” ucap Adel seolah-olah sedang menenangkan seorang bayi yang sedang merajuk. “Nanti sama Miss Adel dibeliin permen yah, jangan nangis dong.” CUP … CUP … CUP Kesal dengan tingkah Adel, Ben membalas. Dan pembalasan yang ia lakukan membuat wanita itu membulatkan matanya. Adel tak siap dengan ciuman mendadak yang mendarat di bibirnya. Ben menyeringai dengan lebar sementara Adel mau lari dari tempat itu karena semua orang melihat ke arahnya. “Woi, kampret loe Ben, gue yang tunangan, napa loe yang ciuman disitu!” teriak Tommy dengan nada ketus. “Kebiasaan nih si Ben, numpang eksis di acaranya orang,” sambar Adit, salah seorang sahabat Ben. “Huuuuhh …,” sahabat-sahabat Ben berseru mengejek Ben. Sejak Ben menciumnya, Adel jadi salah tingkah sendiri. Ia lebih banyak diam dan menunduk malu-malu. Benar-benar sial, padahal ia yang berniat mengerjai Ben malah terbalik Ben yang berhasil mengerjainya. Malah diciumnya di depan umum. Kalau di tempat privasi sih, mungkin oke-oke saja. “Dasar tukang nyosor,” omel Tommy saat ia mendekati Ben. “Kagak tahan gue,” sambar Ben dengan ekspresi tanpa dosa. Adel mengipas-ngipaskan tangannya ke wajahnya karena hawa yang tiba-tiba memanas gara-gara ucapan Ben. Begitulah Ben, jika di hadapan sahabat-sahabatnya, ia suka berbicara seenaknya. Berbicara hal-hal mésum pun sudah tak asing lagi di antara mereka. Tapi, kalau di depan Adel, ia terkadang jadi super lembut dan perhatian. Juga bisa mendadak jadi posesif dan sangat mengekang. **** Di perjalanan pulang, Adel berkali-kali memijit bagian belakang lehernya. Semalam ia salah posisi tidur hingga lehernya tak nyaman. Ben berbalik ke samping setelah menyadari jika Adel berkali-kali memutar lehernya sendiri. “Sakit, Del?” Ben menyentuh bagian belakang leher Adel saat di lampu merah. Adel hanya berdehem pelan sebagai jawaban. Karena itulah, Ben memijit bagian belakang leher Adel dengan lembut sambil menunggu lampu lalu lintas berganti menjadi warna hijau. “Kok bisa sakit?” tanya Ben saat ia kembali mengemudikan mobilnya. “Salah posisi tidur, makanya pegel, gak enak banget.” “Jadi, tadi beneran sakit lehernya? Bukan karena minta dicium?” “Kan udah gue bilang Ben, leher gue sakit. Loe aja mikirnya aneh-aneh.” “Sorry deh, mau kupijitin gak? Aku pijitin di apartemen kamu yah, kali ini aku boleh masuk kan?” “Gak boleh,” sergah Adel dengan cepat. “Nyembunyiin apa sih? Kenapa gak boleh terus? Ya udah deh, kita rumah aku.” “Gak nyembunyiin apa-apa sih, takut diperkosa aja, mana aku tinggal sendiri.” “Pikiran kamu tuh yah, buruk banget, padahal aku berniat baik mau mijitin kamu.” “Mijit kan bisa loe jadiin alesan. Eh, tau-taunya gue diperkosa beneran.” “Ya udah deh, kalo gak mau ke apartemen kamu. Kita ke rumah aku aja.” Tanpa menunggu persetujuan Adel, Ben memutar balik mobil yang ia kemudikan itu menuju rumahnya. Sekitar 10 menit kemudian, akhirnya Ben memarkirkan mobilnya di depan rumah berlantai dua tersebut. Ia turun dan berjalan memutar untuk membukakan pintu untuk Adel. “Ben, ogah ah. Gak enak gue.” “Ya jelas gak enak lah, kan belum aku pijitin, kalo udah kupijitin, aku sih yakin kamu bakalan nagih terus,” ujarnya dengan terkekeh. Adel mencebik, kemudian tangannya memukul pelan bagian perut Ben. Awalnya tak ada niat sama sekali untuk melakukan hal-hal aneh, hanya sekadar melampiaskan kekesalannya karena ucapan Ben. Tapi, tangan itu justru melakukan hal lain. Naluri alamiahnya mengambil alih, membuat ia gagal mengendalikan diri. Pukulan itu disusul oleh pukulan berikutnya. Ah, bukan pukulan lebih tepatnya. Adel sedang membelai perut Ben yang dilapisi oleh kemeja. Terbuai akan sentuhan yang sudah cukup lama tak pernah ia lakukan lagi, membuat tangannya kian intens menelusuri perut pria itu. Dan dari belaian tangannya, ia sudah bisa menerka-nerka bagaimana wujud perut itu jika tak dilapisi oleh pakaian. “Tergoda yah?” sahut Ben dengan seringaian kecil di wajahnya. “Ah … uh, a-anu, eh … ga-gak,” jawab Adel dengan tergagap. Bagai maling yang tertangkap basah. “Tergoda juga boleh-boleh aja,” balas Ben sambil tersenyum nakal. “Ayo, masuk. Aku pijitin, setelah itu gantian kamu yang mijitin aku. Kamu boleh mijit di mana pun dan bagian mana pun yang kamu mau.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD