Ragu

1419 Words
Ponsel Adel berkali-kali berdering, yang menelepon tentu saja Ben. Adel sudah berkali-kali menghela napas panjang karena enggan menjawab panggilan tersebut. Namun, keengganan Adel justru semakin mengundang rasa penasaran Ben. Makanya pria itu tak kunjung menyerah setelah belasan panggilannya yang tak terjawab. Adel sedang tidak ingin diganggu saat ini, lebih tepatnya ia tak punya jawaban untuk pertanyaan Ben. Ia tidak ingin diinterogasi oleh pria itu atas penolakannya. Ben Calling … Panggilan tersebut adalah yang ke-20 setelah 19 panggilan sebelumnya dibiarkan saja oleh Adel. Kesal juga, mau tak mau Adel menyambar ponselnya dengan kasar. “Apa sih Ben?” “Kenapa baru dijawab? Sekarang kamu di mana?” balas Ben, dengan suara menuntut. “Di kampus, lagi ngajar. Udahan yah Ben, gue harus lanjut ngajar lagi.” Adel langsung mematikan panggilan dari Ben secara sepihak. Sementara pria itu benar-benar belum selesai dengan segala rasa penasarannya. Tak puas dengan jawaban singkat Adel, Ben memilih meninggalkan kantornya dan menuju kampus untuk menemui Adel. Sialnya bagi Ben, karena saat ia sampai di kampus, Adel justru tidak ada di sana. Saat ia bertanya pada dosen lain, katanya Adel cuti karena sakit. Padahal saat Ben meneleponnya Adel mengatakan bahwa ia sedang di kampus dan mengajar. Artinya, Adel membohonginya. Karena itu, ia menelepon Adel lagi. Meski ia tahu alasan di balik kebohongan Adel, karena wanita itu memang sengaja menghindarinya. Karena Adel memang tak punya niatan untuk memiliki hubungan apapun dengannya. Tapi, Ben tidak ingin menyerah begitu saja. Ia harus mendengar alasan yang masuk akal agar ia menerima keputusan Adel. Ah tidak, Ben tidak ingin sebuah penolakan. Dan karena itulah, ia terkesan menjadi pemaksa saat ini. Ben Calling … “Kenapa lagi sih Ben?” tanya Adel dengan suara tak senang begitu ia menjawab panggilan Ben. “Kamu di mana?” “Di kampus, mesti berapa kali sih loe nanya dalam sehari. Bahkan baru sejam loe nanyain gue.” “Di ruangan mana? Di ruangan mana kamu sekarang, huh?” Suara Ben sudah meninggi karena kesal terus dibohongi oleh Adel. “Kamu pikir kamu bisa bohongin aku?” Adel memilih mematikan panggilan dari Ben. Bukan hanya panggilan telepon dari Ben yang ia matikan, tapi juga ponselnya. Ben sudah benar-benar kelewatan. Ben sangat posesif dan sangat mengekang Adel. Padahal mereka tak punya hubungan apa-apa. Hari ini Adel memang meminta cuti sakit karena ia benar-benar kelelahan gara-gara PP Jakarta-Bandung kemarin. Ditambah soal Ben yang membuatnya stress hingga Adel butuh menenangkan diri. Tapi, bukannya menenangkan diri eh malah dikejar-kejar terus oleh Ben. Adel bangkit dari tempat tidur dan mencari-cari obat tidurnya, ia butuh tidur sepanjang hari agar tidak tambah stress. Belum sempat Adel meminum obat tidurnya, bel apartemennya sudah berbunyi. Perasaan Adel mulai tak tenang, ia curiga jika yang memencet bel adalah Ben. Benar saja, saat Adel mengecek melalui kamera pemantau, Ben berdiri di depan pintunya. Benar-benar mengganggu. Adel bahkan kepikiran untuk menelepon polisi atau pihak keamanan gara-gara Ben yang kelewatan posesif begini. “Aku tau kamu di dalem Del, bukain pintunya, aku pengen bicara sama kamu. Semakin kamu ngehindar kayak gini, aku bakalan makin ngejar kamu.” Adel mendecak kesal, sepertinya ia memang tak bisa terus menghindari Ben. Harusnya sejak awal ia menatapkan batasan yang jelas antara hubungannya dengan Ben, yang harusnya hanyalah hubungan antara dosen dan mahasiswa. Namun, tanpa ia sadari, ia justru ikut menikmati segala perhatian pria itu. Sambil menjambak rambut karena frustasi Adel kembali ke kamarnya untuk berganti pakaian. Setelah itu ia mengambil tas dan ponselnya. Pintu terbuka dan Ben akhirnya bernapas lega karena wanita itu terlihat baik-baik saja. Tidak terlihat jika wanita itu sedang sakit, seperti yang Ben duga ketika mendengar dari dosen di kampusnya bahwa Adel sedang cuti karena sakit. Begitu berhadapan dengan Ben, Adel segera menutup pintunya sebelum pria itu melakukan hal-hal aneh, seperti menerobos masuk. Dan tanpa mengatakan apa pun, Adel menarik Ben ke dalam lift dan turun ke lantai dasar. “Di mana mobil loe?” tanya Adel dengan segera. Tak ingin berbasa-basi. Ben menunjuk ke arah mobilnya. Kemudian pria itu gantian menarik tangan Adel, membawanya ke dalam mobil miliknya. “Mau kemana Del?” tanya Ben setelah ia ikut masuk ke dalam mobil. “Terserah loe, yang penting bukan ke hotel.” “Kenapa kalo ke hotel? Takut diperkosa?” goda Ben. “Iya,” balas Adel dengan singkat. Ben sedikit terkekeh saat ia melihat wajah kesal Adel. Ada perasaan dalam dirinya yang bergejolak ketika melihat bibir yang mencebik itu. Membuat pikirannya melanglang hingga langit ketujuh. Untuk mewaraskan pikiran nakalnya, Ben menghela napas dengan cukup keras. Membuat wanita yang sedang duduk di sampingnya itu menoleh, hanya sekilas sebelum Adel memilih menatap objek lain. Merasa sedikit lebih tenang dari pikiran yang teramu otaknya, Ben kemudian mengemudikan mobilnya. Sepanjang jalan, Adel memilih diam. Meski beberapa kali Ben mengajaknya bicara, wanita itu hanya mengangguk malas atau sesekali menggeleng. Karena sedang jam makan siang, Ben memilih berhenti di salah satu restoran yang cukup sering ia datangi. Dan ia memang sudah cukup paham kebiasaan Adel, pasti wanita itu belum makan karena tidak mungkin seorang Adel memasak di apartemennya. Wanita itu malas berurusan dengan yang namanya alat-alat dapur. Karena itulah, Adel terbiasa makan di luar atau makan makanan cepat saji. Ben memilih private room karena butuh tempat yang lebih privasi untuk berbicara dengan Adel. Saat Ben sibuk memilih-milih menu makanan Adel masih betah diam. Ia hanya membolak-balikkan buku menu tanpa memilih apapun. “Samain aja,” ucap Adel pada pelayan ketika Ben selesai menyebutkan menu yang ia inginkan. Setelah pelayan kemudian meninggalkan private room tersebut, Adel memberanikan diri untuk mendongak, menatap Ben yang juga sedang menatapnya. “Ben, please berenti kayak gini. Gue bener-bener gak nyaman loe kayak gini sama gue. Loe tuh posesif banget. Belum apa-apa loe udah maksa-maksa, loe nelponin gue berkali-kali, loe nanyain gue hal-hal gak penting berkali-kali.” “Hal-hal gak penting?” tanya Ben dengan senyum yang getir. “Hal-hal gak penting itu, itu adalah perasaan aku ke kamu, ternyata perasaan aku gak ada artinya di mata kamu.” Nada kecewa dan sorot mata Ben menohok hati Adel. Adel tak punya maksud seperti itu, hanya saja ia terlalu frustasi diganggu terus oleh Ben. “Apa perasaanku hanya perasaan sepihak?” tanya Ben dengan nada kecewa. Matanya lurus menatap dua bola mata Adel, mencari jawaban di sana. Ia selami mata itu, sangat dalam. Tapi, entah kenapa tak ada jawaban yang ia temui. Hanya ada mata yang menatapnya dengan penuh keraguan. Adel ingin menjawab, sangat ingin malah, tapi tak tahu harus berkata ya atau tidak. Ia bahkan tak memahami hatinya sendiri. Cukup lama Adel terdiam, ia memikirkan pertanyaan Ben. Ia ingin mengakhirinya secepatnya, ia lelah terus dikejar-kejar. Tapi, mulutnya tak bisa mengatakan apa pun. Entah mengiyakan atau menyangkal, ia tak tahu mana yang benar. Setidaknya kau diam, artinya kau ragu. Setidaknya ada aku di sana, meski dalam keraguanmu. Tanpa Adel sadari, makanan sudah tersaji di atas meja. Ben menyentuh punggung tangannya dan menyuruh Adel makan. Tapi bukannya makan, Adel hanya mengaduk-aduk makanan yang ada di piringnya. Adel bahkan tak memakannya walau satu suap pun. “Gak suka makanannya? Mau pesen yang lain?” “Emm … gak usah,” Adel menggeleng. “Lagi gak laper aja.” Ben meletakkan sendok dan garpunya, ia kemudian meneguk segelas air putih. Pria itu mengambil serbet dari atas pahanya dan mengelapkan ke mulut. “Del … perasaan kamu ke aku sebenernya gimana?” “Gak tau Ben,” jawab Adel dengan frustasi. “Kalo gitu, ayo kita kencan dengan benar. Bukan dengan paksaan seperti ini, tapi dengan cara yang benar. Aku posesif karena aku peduli, bukan maksud mau ngekang kamu. Tapi semakin kamu ngehindar, aku tuh khawatir, makanya aku berlebihan sama kamu.” Ucapan itu, entah kenapa membuat Adel tertarik. Buktinya, matanya menyorotkan semangat untuk mendengar kelanjutan ucapan Ben. “Gini deh, kita kencan tiga kali, setelah itu kamu tanya ke diri kamu sendiri gimana perasaan kamu. Kalo kamu emang gak ada rasa sama aku, yah aku bakalan mundur.” “Tiga kali kebanyakan, sekali aja deh Ben.” Ben tertawa, Adel masuk dalam perangkapnya. Ben sebenarnya tak menyangka jika Adel bersedia berkencan dengannya. Ia pikir jika wanita itu akan menolak mentah-mentah. Tapi, Adel ternyata tak keberatan. Bukankah itu artinya jika Adel sebenarnya memang memiliki rasa pada Ben tapi enggan mengakuinya? “Dua kali.” Ben menawar. “Diam berarti setuju.” Ben melanjutkan dengan cepat. Sebelum Adel protes, ia segera meraih tangan wanita itu dan menjabatnya. Adel bahkan tak sempat protes sama sekali, tapi Ben sudah tersenyum penuh kemenangan. Ben akan memastikan dua kali kencan yang ia tawarkan akan membuatnya memiliki wanita itu. Yah, Ben memastikan itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD