Ben meraih jemari Adel, ia membawa wanita itu keluar dari dalam mobil. Lantas dengan begitu percaya dirinya, ia menggandeng Adel menuju teras rumahnya. Jelas wajah Adel mendadak jadi kikuk, entah bagaimana ia harus menghadapi siapa pun yang akan ia temui di dalam rumah. Karena itu, sebelum kakinya yang terbalut heels 11 senti itu melangkah masuk melewati ambang pintu rumah besar itu, Adel menggoyangkan tangan besar yang menggenggam tangannya.
“Kenapa?” tanya Ben dengan cepat, sadar bahwa wanita itu masih diliputi keraguan untuk masuk ke dalam rumahnya.
“Loe tinggal sama orang tua loe kan? Gak mungkin kan loe tinggal sendiri di rumah segede ini.”
“Aku emang tinggal sama orang tua aku,” jawab Ben dengan enteng. “Terus kenapa? Apa hal itu mengganggu kamu? Atau kamu mau kita ke hotel?” goda pria itu.
“Ben, aku serius ih,” sela Adel dengan nada suara yang kesal.
“Udah, gak usah khawatir. Lagian Mamaku lagi keluar kota.”
Ucapan tersebut membuat Adel lebih lega. Karenanya, ia tak menolak lagi saat Ben menarik tangannya hingga mereka melewati ambang pintu. Adel menatap ke sekeliling rumah mewah tersebut. Meneliti satu per satu foto yang terpajang di dinding atau bahkan pada pernak-pernik serta furniture di ruang tamu.
“Ayo, kita ke kamar,” ajak Ben.
Dalam hatinya, Ben tak kalah diliputi rasa gugup yang menggebu, seolah-olah akan membawa pengantin wanitanya ke dalam kamar pengantin. Untuk mereka menghabiskan malam pertama yang penuh keintiman. Jelaslah otak Ben sedang meramu segala macam fantasi yang selama ini sudah pernah tercipta di kepalanya. Dan malam ini, benar-benar ingin ia tuntaskan.
“Ben, loe gak bakalan ngapa-ngapain gue, ‘kan?” tebak Adel saat pria itu menunjuk sebuah kamar, yang Adel yakini adalah kamar milik Ben.
Ben tersenyum samar, “Aku gak seberengsek itu,” ujarnya. “Tapi, jangan salahkan aku kalo kamu yang minta duluan.”
“Mimpi aja loe, Ben,” ketus Adel.
“Kalo mimpi udah sering, sisa dibuat nyata.”
“Tuh kan, loe emang ada niatan buruk.”
“Gak,” sergah Ben dengan cepat. “Percaya aja, aku gak bakalan maksa kamu. Tapi, lain ceritanya kalo kita sama-sama mau.”
Adel hanya mencebik, tapi tak membuat ia menyanggahi lagi ucapan pria itu. Ia malah membiarkan dirinya ditarik masuk ke dalam kamar Ben. Kamar yang sangat luas, membuat Adel terkagum-kagum akan interior dan setiap benda yang ada di kamar tersebut.
Ia bukan anak orang kaya yang membuatnya hidup bergelimang harta. Ah tidak, dalam kurun waktu 29 tahun ia hidup, ia terbiasa hidup sederhana. Terlebih saat ia merantau kuliah di luar negeri dengan mengandalkan beasiswa, ia jelas harus berdamai dengan dana beasiswanya.
“Kamar loe bagus, Ben,” ujar Adel sambil menolehkan kepalanya, meneliti seisi kamar yang tercat dengan warna abu-abu gelap serta kombinasi putih. “Akh,” keluhnya saat merasa lehernya makin tak nyaman saat ia menolehkan kepala.
“Belum diapa-apain udah mulai mancing-mancing aja suaranya.”
“Leher gue sakit, Ben. Pikiran loe tuh yah.”
“Ya udah, dari pada makin sakit, sini … aku pijitin.”
“Mijitnya bakalan ples-ples gak nih?”
Ben sedikit terkekeh. “Tergantung kamu, maunya yang ples apa yang mines. Aku … sebagai tukang pijitnya sih menuruti kemauan yang mau dipijit. Tapi, aku pribadi sih merekomendasikan pijat ples-ples.”
Ben menepuk-nepuk kasurnya agar Adel berbaring. Adel sedikit menggaruk tengkuk karena salah tingkah, tapi pada akhirnya ia memberanikan diri untuk duduk di Kasur Ben. Kemudian ia menarik sebuah bantal yang tertumpuk dan memposisikan benda tersebut untuk menyanggahi bagian dadanya saat ia tengkurap.
Wanita itu kini dalam posisi tengkurap, lantas Ben bangkit sesaat untuk mengambil essential oil dari dalam nakasnya. Sebuah botol kecil—tingginya tak lebih dari segenggaman tangan Ben—berwarna coklat gelap itu, kini dibuka bagian tutupnya oleh Ben. Pria itu kemudian duduk di sisi kiri Adel, di pinggiran ranjang.
Ia merapikan rambut panjang Adel ke samping, menyentuh terlebih dahulu bagian samping leher wanita itu. Menghantarkan perasaan aneh bagi Adel. Sudah cukup lama Adel tak disentuh oleh pria, apalagi di bagian tubuh yang cukup sensitif, seperti lehernya. Membuat ia, sebagai seorang wanita dewasa merasa menginginkan sentuhan yang lebih dari itu. Tapi, ia mencoba menepisnya.
Anggap saja ini relaksasi, jangan terpancing, Del. Wanita itu berujar dalam benaknya, meredam keinginan dalam dirinya agar tak semakin berkuasa.
Setetes, diikuti tetesan berikutnya, bersama tetesan-tetesan lainnya, disertai belaian lembut tangan kokoh itu. Bohong jika Adel mampu meredam keinginan yang kini mengambil alih pikirannya. Hanya sentuhan kecil, di bagian lehernya, membuat ia memejamkan mata. Bukan karena kantuk, tapi karena ia menikmati bagaimana cara pria itu memperlakukannya, dengan lembut.
“Del, kamu mau gak tinggal bareng sama aku?”
“Huh?”
Pertanyaan tiba-tiba itu membuat mata Adel yang semula terpejam dengan seketika terbuka. Ia hendak bangkit dari posisinya yang tengkurap, tapi gagal karena lehernya justru makin kaku atas pergerakannya yang tiba-tiba. Hingga ia hanya mampu meringis kesakitan.
“AKHH!!”
“Belum selesai, Del. Aku baru mulai nih, mau ke mana sih? Tiduran aja lagi, sambil kamu istirahat. Biar gak makin sakit lehernya.”
Pada akhirnya Adel tak melanjutkan upayanya untuk meninggalkan tempat tidur lagi. Ia membiarkan pria itu melanjutkan pijatannya, atau justru bisa disebut belaian. Karena sentuhan itu, entah apa nama yang tepat untuk menyebutnya. Entah belaian atau pijatan, tapi hal itu membuat Adel tersiksa. Karena ia hampir berteriak meminta sentuhan yang lebih.
Jelas saja, tangan Ben begitu lihai, bermain-main di leher Adel. Membuat tubuh wanita itu meremang. Sesekali ia menekannya cukup kuat, membuat Adel sedikit memekik, tapi justru hal itu membuat lehernya lebih nyaman. Atau setelahnya, ia memijat dengan lembut, membuat mata Adel terpejam, sangat menikmati sentuhan tersebut.
Ia tahu, dan sangat tahu bahwa tangannya itu seperti sedang menghantarkan sengatan listrik di tubuh Adel. Ia tahu bahwa wanita itu kini menginginkan lebih dari sekadar pijatan di leher, dan karena itulah Ben makin sengaja mempermainkannya. Ingin menikmati suara-suara bernada desahan yang begitu susah payah diredam oleh Adel.
Embusan dan tarikan napas Adel, tak hanya menyiksa wanita itu seorang diri, karena Ben pun sama saja. Ia menikmati suara berat dari napas Adel seraya ia membayangkan suara-suara nȧkal lainnya keluar dari mulut wanita itu. Yang tak perlu diredam dengan susah payah, karena Ben bersedia membuat Adel menjerit kenikmatan, menikmati rasa yang kini begitu menggebu di antara mereka.
“Del,” panggil Ben, hendak memancing kesadaran wanita itu.
“Hmmhh ….”
Suara lirih, penuh hasutan, yang menggelitik seluruh tubuh Ben. Meski bukan berupa sentuhan, tapi suara Adel sukses membuat Ben tergelitik, membuat ia ikut-ikutan menghela napas dengan berat.
“Del,” ia kembali memanggil.
“Apa, Ben?”
“Udah enakan?”
“Hmm …,” balas Adel. Ia menggerak-gerakkan lehernya, dan memang terasa lebih nyaman dari sebelumnya. “Di sini juga, Ben,” Adel meminta, seraya ia menyentuh sisi lehernya yang sebelah kiri.
Ben tersenyum miring, dalam hati ia sedang bersorak, merayakan kemenangan. Merasa telah berhasil membuat wanita itu meminta untuk lebih banyak disentuh. Terbukti, karena tak hanya leher bagian kirinya yang Adel sentuh, tapi wanita itu juga bergerak pelan, menyentuh bagian pundaknya.
“Di sini juga, Ben.” Ia kembali meminta.
Ben menyentuh tali kecil yang menggantung di bagian pundak wanita itu, penyangga dress-nya. Ia menariknya turun hingga berada di lengan bagian atas wanita itu. Dan hal itu pun tak mengundang penolakan oleh Adel.
Ben kembali meraih botol essential oil-nya dan meneteskan cairan dari dalam botol, tepat mengenai bagian pundak dan leher wanita itu. Ia mengusapnya perlahan, dengan gerakan memutar untuk meratakan essential oil ke seluruh permukaan pundak serta sisi leher bagian kiri Adel.
Tangannya kini bergerak lebih intens, ia menekan, memberi pijatan yang terkadang cukup lembut, atau justru sesekali sengaja menekankan bagian ibu jarinya. Mengulang-ulang gerakan tersebut dari bagian paling luar, lantas memijatnya naik hingga ke leher. Lalu ia kembali menurunkan pijatannya, lantas bergerak lagi dengan arah berlawanan, naik dan turun. Kembali mengundang desahan-desahan kecil yang keluar dari mulut Adel.
“Suka?”
“Iya,” Adel membenarkan.
“Aku seneng kamu suka sama aku.”
“Ih,” Adel mendecak.
Tak hanya mendecak, tapi Adel segera membalik tubuhnya. Yang untungnya kali ini tak lagi menimbulkan ringisan sakit untuk keluar dari mulutnya. Karena kini lehernya sudah terasa lebih ringan dan nyaman. Tak lagi terasa kaku.
“Aku juga suka kamu, Del. Kita sama-sama suka, ‘kan?”
Adel mencebik, lantas ia menampik tangan Ben yang masih bergerak dengan pijatan lembut di kedua sisi pundaknya.
“Maksud gue pijatannya, bukan loe.”
“Jadi, kamu suka pijatanku?”
“He-em.” Adel membenarkan. “Loe pinter mijitin orang,” ujarnya sambal menggerak-gerakkan lehernya.
“Aku siap jadi tukang pijit buat kamu untuk seumur hidup. Sampai kita tua, aku bersedia untuk terus memijatmu. Sampai kita keriput, sampai kita ubanan, sampai kita bungkuk, dan bahkan sampai kita kesulitan untuk sekadar berjalan, aku siap untuk selalu menjadi tukang pijitmu. Dan aku bersedia untuk menjadi tukang pijit pribadimu.”
“Gombal banget.”
Ben hanya menunjukkan senyum tipis, lantas terdengar suara pria itu memanggil Adel. “Del.”
Alis Adel naik, menunggu ucapan selanjutnya dari pria itu. Tapi setelah ia menunggu hingga beberapa detik berlalu, pria itu tak lagi membuka mulut untuk melanjutkan ucapannya. Dan karenanya, kedua alis Adel jadi mengerut, membuat wanita itu tampak lucu.
“Del,” Ben kembali memanggilnya.
“Apa?”
“Del.”
“Apa sih, Ben?”
“Adel,” kembali Ben menyebutkan nama wanita yang kini dalam keadaan bingung itu.
“Kenapa sih?”
“Nama kamu bagus,” ujarnya sambil beralih meraih tangan Adel. Ia menggenggamnya, disertai mengelus punggung tangan wanita itu. “Nama kamu bagus,” ulangnya.
“Terus?”
“Adel … nama itu akan jauh lebih bagus jika diikuti dengan nama belakangku.”
Adel menggeleng, “Gak, Ben. Nama gue yang sekarang sudah lebih dari bagus. Adella Bianca Bagaskara. Gue suka nama itu, dan nama itu gak pengen gue ganti.”
Bibirnya terkatup, dua sisi rahangnya saling mengetat. Pertanda ketidaksukaannya atas penolakan tersebut. Tak suka akan penolakan membuat Ben terpancing emosi, ia terbiasa mendapatkan keinginannya. Karena itu, saat tak mendapatkan apa yang ia inginkan, ia menjadi tak terkendali.
Dengan begitu tiba-tiba Ben memajukan tubuhnya, hendak menghimpit Adel di bawahnya. Kedua tangannya begitu cepat menghalau pergerakan wanita itu agar tak membebaskan diri. Dengan dua tangannya yang kini telah mengurung Adel, serta dua bola mata yang menyorotkan emosi yang begitu sulit diartikan. Bukan hanya kemarahan, tapi juga pencampuran antara egoisme dan nafsu untuk menikmati tubuh wanita itu.
Bibirnya begitu cepat mengambil alih, memulai pergerakan atas rencana yang sudah sejak lama tersusun dalam benaknya. Bibir itu telah membelai permukaan bibir Adel, cukup cepat. Meski diliputi emosi, tak lantas membuat Ben memperlakukan Adel dengan kasar atau bahkan bertindak selayaknya seorang penjahat.
Meski bibir Ben mencecap, atau bahkan menghisap bibir Adel dengan terburu-buru, atau terkesan terlalu menggebu, wanita itu masih diam. Ia tak melakukan penolakan apa pun. Juga tak membalas gerakan bibir Ben yang meski harus ia akui begitu lihai mempermainkannya. Adel bertahan atas permainan yang menggiurkan ini. Tak ingin kalah, tak ingin meminta lebih, tapi juga enggan menolak.
Merasa tak ada penolakan, meski ciumannya tak disambut layaknya yang ia inginkan, Ben merayapkan tangannya, turun. Mencari objek lain untuk menyulut keinginan wanita itu, agar Adel meminta, agar Adel dengan senang hati memberi apa yang Ben inginkan. Tangannya membelai objek yang telah lama ingin ia sentuh. Mempermaikannya dari balik dress yang mulai berantakan di atas tubuh Adel.