Kamarnya Bagus

2235 Words
Ben sedikit mengangkat dagu Adel agar wanita itu bertatap mata dengannya. Adel membalas tatapannya, memberinya tatapan yang entah apa maksudnya. Tapi, Ben tak ingin memusingkan arti tatapan itu. Ada hal yang perlu ia tuntaskan sebelum memikirkan arti tatapan Adel. Hal yang sudah sangat menggebu-gebu dalam dirinya. Ujung ibu jari Ben bergerak naik untuk menyapu di bibir Adel. Wanita itu merespon dengan pejaman matanya. Menikmati bagaimana halusnya cara pria itu menyentuhnya. Tangan itu tak berhenti membelai bibir Adel, membuat dȧda Adel bergerak naik turun dengan cepat seiring dengan deru napasnya yang makin tak mampu ia kendalikan. Ben menjauhkan sapuan tangannya dari bibir Adel, ia kini mengelus wajah Adel perlahan. Berhasil membuat wanita itu membuka mata untuk sesaat lalu kembali memejamkan mata menikmati sentuhannya. Sembari mengelus wajah itu, wajah Ben makin mendekat. Semakin condong untuk tujuan yang ingin ia terpa, pada bibir Adel. Menyatukan bibir yang hanya terpoles lipstik tipis itu dengan miliknya. Pelan sekali, ketika Ben menyentuhkan bibirnya pada bibir Adel. Memagutnya dengan gerakan yang tak terburu-buru. Ingin ia nikmati bahkan tiap detiknya. Sambil memagut pelan kedua belah bibir itu bergantian, tangan Ben tak berhenti menyusuri tubuh Adel. Kini tangan itu merayap dengan lihai untuk membelai telinga Adel. Semula bermain-main dengan rambut wanita itu, lalu memutari daun telinga Adel. Membuat sang wanita tanpa sadar mencengkeram lengan Ben. Tiap kali tangan Ben memutari telinganya, makin erat pula Adel mencengkeram lengan pria itu. Sesekali terdengar lenguhan tertahan antara mereka. Atau justru embusan napas yang berat. Dan tanpa Adel sadari, satu tangannya kini mengalung ke belakang leher Ben. Seolah memberi tanda bahwa ia tak ingin jika pria itu berhenti untuk menyentuhnya. Hisapan bibir Ben pada belah bibir bawah Adel terhenti. Ia menjeda sesaat untuk menatap wajah cantik dalam pelukannya itu. Merasa bahwa pagutan tersebut terhenti, Adel secara otomatis membuka matanya, membalas tatapan yang dilayangkan Ben untuknya. Ia membuka mulut, lalu menyebut nama pria itu. “Ben,” ujarnya dengan lirih, sebagai tanda bahwa ia tak ingin Ben berhenti menyentuhnya. “Iya,” Ben membalas, paham maksud Adel. Ia mendekatkan wajahnya lagi. Mengecup kening Adel beberapa detik sebelum melepaskannya. Ben menurunkan bibirnya pada objek lain, lidahnya kini menyapu pada bagian leher wanita itu. Maka Adel memudahkan sapuan lidah Ben dengan mendongakkan kepalanya. Memberikan akses sepuasnya bagi pria itu untuk menjangkau tiap bagian di lehernya. Alhasil, lagi dan lagi, Ben kembali membuat Adel membuka dan menutup mata berulang kali. Tangan Adel tak mampu tinggal diam lagi, ia meremas rambut Ben tiap kali pria itu menghadiahkan hisapan di lehernya. Yang diyakini oleh Adel jika hisapan pria itu akan meninggalkan tanda kemerahan. “Bennhh ….” Adel meracau sambil menyebut nama pria itu, diiringi desahan yang lolos dari bibirnya. Dadanya membusung, semakin merapat pada dȧda Ben yang masih terbalut pakaian. Semakin ia merapatkan dȧda pada dȧda Ben, maka bagian pȧntatnya makin tertarik ke belakang. Membentuk pose bak huruf S. Sementara inti tubuhnya menjadi basah oleh cairan yang merembes keluar dari dalam dirinya. Juga menimbulkan kedutan-kedutan pertanda bahwa ia siap menerima Ben seutuhnya. “Eunghh!” Ben menjeda, lalu mengakhiri hisapannya dari leher Adel. Ia usapkan tangannya menyusuri satu persatu tanda merah yang ia tinggalkan di sana. Hanya warna kemerahan yang tak terlalu jelas, toh Ben tak sampai menggigit atau menghisap dengan liar. Ia masih cukup terkontrol dalam tiap pergerakannya. Namun, dalam setiap gerakan, sentuhan, atau belaiannya, semua itu begitu memanjakan Adel. Semakin membuat wanita itu meradang karena Ben masih begitu setia dengan gerakan tangan atau lidahnya. Padahal Adel sudah menginginkan yang lebih dari itu. Seulas senyum melengkung dari bibir Ben saat meneliti tanda berwarna merah muda itu. Saat ini ada objek lain yang ingin ia hadiahi dengan tanda serupa. Maka saat ini juga, matanya hanya terfokus pada objek tersebut. Ia mulai dengan tangannya, menyusurinya dari leher Adel, turun pada objek tersebut. Yang seketika membuat Adel menggigit bibirnya, menahan pekikikan saat Ben memainkan puncak benda kembar tersebut. “Benhh … eunghh!” Adel melenguh panjang saat Ben berhenti memilin dua benda kecil di puncak dȧdanya. Tapi, pria itu tak membiarkan Adel untuk berhenti meliukkan tubuh menahan desakan yang semakin liar dalam dirinya. Karena begitu ia melepaskan satu pilinan ujung jarinya dari puncak benda itu, ia justru langsung menyapukan lidahnya. Mulut Ben menjelajah di dȧda kanan Adel, menyusurinya dari bagian puncak hingga melumatnya habis ke dalam mulut. Kemudian mempermainkannya dengan gigitan-gigitan kecil, mengundang seluruh panca indra Adel untuk member respon. Jika lidah pria itu menari di dȧda sebelah kanan, maka di dȧda sebelah kiri, ada tangan Ben yang melakukan tugasnya. Mengusap bagian puncak yang dalam keadaan mencuat karena menegang itu dengan ibu jarinya. Ditelusurinya perlahan dengan belaian ujung ibu jarinya. Atau sesekali memberikan jepitan antara ibu jari dan telunjuknya. Memilinnya perlahan, diikuti gesekan-gesekan yang lebih bertenaga setelahnya, yang sukses membuat Adel tak berhenti menyebut nama Ben. “Benhh … emmhh ….” Tak ingin hanya menikmati dȧda sebelah kanan dengan mulutnya, maka mulut itu kini berpindah pada objek penjelajahan berikutnya, di dȧda sebelah kiri. Meninggalkan dȧda sebelah kanan untuk dipermainkan oleh tangannya. Ia usapkan telunjuknya memutari bagian terluar. Memutarinya serah jarum jam, sesekali sengaja menekan-nekannya. Lalu melanjutkan putarannya lagi, hingga telunjuk tersebut tiba di bagian puncaknya. Dan lagi, ia bermain-main di sana, memijat bagian yang telah basah oleh bekas hisapannya itu perlahan. Tubuh Adel makin membusung, semakin merapat pada mulut Ben yang begitu sigap dengan belaian lidahnya memutari benda tersebut. Dua bagian dȧda Adel telah basah oleh putaran lidah Ben. Kini pria itu menghisap kuat-kuat, membuat Adel merapatkan pahanya, menjepit paha kanan Ben yang tengah ia duduki. Sesekali tanpa ia sadari, Adel menggesekkan inti tubuhnya di paha pria itu. Menambah sensasi kenikmatan yang menjalari sekujur tubuhnya. Semakin Ben menyentuh, semakin ia menginginkan lebih. Tak peduli jika gesekan yang ia lakukan di paha pria itu membuat celana Ben basah akan cairan yang keluar dari inti tubuhnya. Ia biarkan cairan lengket tersebut melumuri celana pria itu. Sementara di atas sana—di dȧda Adel—Ben melepaskan hisapannya, ia sejajarkan wajahnya pada wajah Adel sebelum ia mengecup kening Adel lagi. Setelahnya, ia merapikan pakaian wanita itu. Kembali memasangkan dress dengan modelan kimono itu, lalu menalikannya di bagian bawah dȧda Adel. Ia merapikannya sesaat, terutama di bagian V neck-nya, mencegah benda yang baru saja ia hisap bergantian itu mencuat untuk melihat dunia luar. Oh … sungguh, hal itu tidak akan pernah direlakan oleh Ben, hanya ia yang boleh melihatnya. Yang lain tak boleh. Mata Adel menyiratkan tatapan kecewa, mulutnya terbuka, ia siap melayangkan protes. “Ben,” panggil Adel dengan lirih. “Ka-kamu tega?” ia bertanya, hampir menangis. “Gak,” jawab Ben dengan lembut seraya menggeleng. “Aku mau kok, tapi gak di sini,” ujarnya dengan yakin untuk menghentikan kegundahan yang terpancar jelas di wajah Adel. Merasa tatapan Adel masih menyiratkan kekecewaan, maka Ben memberikan wanita itu sebuah kecupan di keningnya. Ia habiskan 10 detik bagi bibirnya untuk berlabuh di sana. Tanpa ia beri hisapan liar, hanya menghadiahkan sebuah kecupan lembut. Setelahnya ia bisikkan kata cinta pada wanita itu. “Aku gak pernah mau mengecewakanmu. Karena itu, akan kuberikan yang terbaik untukmu.” Sebenarnya sama saja dengan Adel, ia juga sudah sangat mendambakan kepuasan, tapi ia tetap menyadari jika tempatnya salah. Apalagi jalanan cukup ramai. Kalau malam sih mungkin oke-oke saja, toh gelap. Tapi ini siang-siang dan akan cukup memalukan jika ketahuan sedang melakukan atraksi mobil bergoyang. “Turun dulu, yah,” pinta Ben seraya menepuk kursi di samping kemudi. Meminta Adel untuk turun dari pangkuannya agar ia bisa fokus menyetir. “Bentar aja, nanti aku kasih.” “Hmm …,” balas Adel dengan suara kecewa. “Bentar aja kok,” ujarnya untuk membujuk Adel yang tengah cemberut. Ia mengusap pelan rambut wanita itu. Lalu kembali mengecup keningnya sesaat. Setelahnya mobil Ben melaju dengan kencang. Tujuannya adalah mencari hotel terdekat. Kan tidak manusiawi jika Ben meniduri Adel di dalam mobil. Apalagi ini baru pertama kalinya mereka akan melakukan hal tersebut. Setidaknya Ben tetap harus memperlakukan Adel dengan romantis. Toh, Ben memang tak pernah menginginkan cara yang terkesan murahan pada wanita itu. Ia ingin memperlakukannya bak ratu. “Ayo,” ajak Ben saat ia menghentikan mobilnya di pelataran sebuah hotel. Kurang lima menit perjalanan sejak Ben menghentikan aksi hisap-menghisapnya, dan ia tiba di salah satu hotel. Ben turun dari mobil lebih dulu, ia menyempatkan mengambil jasnya dari kursi belakang. Setelah itu, ia berjalan memutar untuk membuka pintu mobil untuk Adel. Begitu Adel keluar, ia langsung menyampirkan jasnya di pundak wanita itu, lalu merapatkannya untuk menutupi bagian dȧda Adel. “Ayo,” sekali lagi Ben mengajak, sambil ia mengulurkan tangan pada Adel. Begitu cepat uluran tangan itu disambut oleh Adel. Wanita itu segera menyelipkan tangannya pada lengan Ben, mengamitnya. Mereka langsung masuk, melakukan proses check-in, lalu menuju kamar mereka. Sejak Ben mengulurkan tangannya pada Adel, sejak itu pula Adel mengamit lengan pria itu dengan erat. Tak satu detik pun ia biarkan lengan tersebut lepas dari tangannya. Bahkan tubuhnya ia rapatkan pada pria itu, menempelkan dȧdanya di lengan bagian atas Ben. Saat berada di dalam lift pun, Adel masih begitu setia menempeli pria itu. Membuat Ben merasa begitu senang atas perlakuan wanita itu. Merasa bahwa Adel telah menerimanya. Begitu lift terbuka, maka mereka segera berjalan menuju kamar yang mereka tuju. Sudah begitu terburu-buru, saat berada di dalam kamar hotel, Ben langsung menjatuhkan jasnya dari pundak Adel. Tak ingin lagi membuat wanita itu menunggu. Pun dirinya, ia tak mampu menunggu lebih lama lagi. Bibirnya langsung berlabuh di leher Adel, sementara tangannya langsung terarah pada tali dress Adel. Ia menarik talinya, dan dalam keadaan Adel berdiri, lebih mudah untuk menanggalkan pakaian tersebut. Hanya melalui satu gerakan kecil yang dilakukan Ben di bagian pundak Adel, maka dress tersebut berhasil jatuh hingga di lantai. Begitu Adel tak tertutupi sehelai benang pun, maka Ben makin leluasa untuk menyentuh bagian mana pun yang ia inginkan. Ia menghimpit tubuh Adel lebih rapat. Tangannya yang semula bermain-main pada dua puncak benda kembar itu, salah satunya turun. Gerakannya begitu perlahan, ia membelai bagian pusar Adel, memberikan gerakan-gerakan sensual saat memutar di sana. Adel tak kuasa, ia meremas lengan Ben. Kemudian desahan serta lenguhan silih berganti terdengar dari mulutnya. Terlebih ketika tangan Ben makin turun. Menyapu rambut-rambut halus yang tercukur rapi itu. Ben menyapukan ibu jarinya mengikuti bentuk segitiga di sana. Ia bermain-main sebentar di sana, berhasil membuat Adel meremas lengannya karena sangat tersiksa akan sentuhan Ben yang sangat melenakannya. “Benhhh ….” “Kamu suka?” tanya Ben ketika ia menurunkan jarinya. Jari telunjuknya mengambil alih, mengusap bagian lipatan di area sélangkangan Adel. Menaikturunkan tangannya pada lipatan tersebut. Merasakan sesuatu yang basah, dan ia biarkan telunjuknya terlumuri oleh cairan yang keluar dari inti tubuh wanita itu. “Kamu suka?” Ben mengulang pertanyaanya saat ia menatap wajah yang sedang merem melek itu. “Hmmm …,” jawab Adel dengan deheman seraya membuka mata. “Kamarnya bagus.” “Bukan kamarnya yang aku tanyain,” ujar Ben sambil tertawa. Tak ingin berlama-lama, Ben segera menggendong Adel ke tempat tidur. Ia membaringkan wanita itu perlahan-lahan di atas kasur. Sebelum ia melepaskan sendiri pakaiannya, ia sempatkan untuk mengecup lagi kening Adel, sebagai tanda bahwa ia harus menjeda kegiatan mereka untuk sesaat. Ia melepaskan semua pakaian yang menutupi tubuhnya, dengan cepat. Bermula dari melepaskan satu persatu kancing kemejanya, lalu ia jatuhkan ke lantai. Lalu beralih dengan cepat untuk langsung melepaskan sabuk celananya. Diikuti melepaskan celana panjangnya hingga berakhir di lantai. Pun tak ketinggalan untuk menanggalkan benda segitiga yang sudah tak mampu untuk benar-benar menutupi benda di antara pahanya. Bagaimana mungkin benda tersebut tertutupi, padahal bentuknya saja sudah tercetak jelas dari balik pakaian dalam yang ia kenakan. Maka dengan segera benda tersebut dibiarkan terbebas dari kurungannya. Dan ia biarkan Adel terpesona akan tiap pahatan di tubuhnya. Adel mengakui itu dalam diamnya. Matanya tak bisa menolak bagaimana pesona dari tubuh Ben. Dadanya yang kencang, disertai dua benda kecil di puncaknya. Mengundang keinginan Adel untuk melakukan hal serupa atas apa yang dilakukan Ben kepadanya saat berada di mobil. Atau justru pada tiap pahatan perut pria itu. Yang seluruhnya sangat dikagumi oleh Adel. Termasuk pada benda berukuran panjang itu, yang begitu gagahnya sedang ingin menantang Adel. “Ben,” panggil Adel. Wanita yang semula dalam keadaan berbaring itu, secara otomatis segera duduk. Bahkan tangannya begitu cepat terulur, ingin merasakan benda tersebut melalui tangannya. Ketika tangannya berhasil menyalami benda tersebut, ia segera mendongak menatap Ben. Matanya seolah mengatakan segala pujian atas benda yang kini ia sentuh. Membuat Ben sedikit mengusilinya dengan sebuah pertanyaan. “Kamu suka?” “Iya,” jawab Adel. “Kamarnya bagus, Ben.” Ia melanjutkan tapi justru bukan kamar tersebut yang tengah ia pandangi dengan tatapan penuh kekaguman, melainkan benda yang sedang ia genggam itu. Ben hanya tersenyum miring, ia elus puncak kepala Adel lalu ikut duduk di tempat tidur. Ia pegangi kedua sisi wajah Adel sebelum menghadiahkan sebuah pagutan menggebu di bibir wanita itu. Yang langsung dibalas tak kalah menggebunya oleh Adel. Dan bahkan wanita itu, tak kalah bersemangatnya untuk mengelusi permukan benda panjang di tangannya. Sesekali ia membelai kepala benda tersebut, kemudian ia kembali menggoyangkan tangannya dengan cepat. Membuat Ben kalang kabut akan kemahiran tangan Adel. Maka, segera saja ia rebahkan tubuh Adel, bersiap untuk menyeruakkan benda yang sangat dikagumi oleh wanita itu—ke tempat yang memang semestinya. Bahkan tanpa diminta, Adel secara otomatis melebarkan sendiri pahanya. Maka Ben mendekatkan diri, mencari posisi paling pas untuk membiarkan inti tubuhnya dan inti tubuh Adel untuk saling memeluk atas cinta dan permainan ini. Ia gesekkan perlahan, mengundang lenguhan dari bibir Adel. “Eunghh … Ben ….”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD