Satu Tarikan

1775 Words
Karena pakaian Adel yang basah, Ben menawari wanita itu untuk berganti dengan pakaian yang ada di dalam lemarinya. Sebuah mini dress berwarna sacramento—warna tosca yang gelap—disodorkan oleh pria itu. Membuat Adel mengernyit heran, lantas ia bertanya. “Baju punya siapa?” tanya Adel dengan sedikit ketus. Ben mengulas senyum. “Cemburu? Heum?” “Siapa yang cemburu, Ben. Gue cuma nanya, itu baju siapa?” “Cemburu juga gapapa,” ujar Ben dengan senyum miring. Ia meraih pinggang wanita itu hingga mendekat padanya. “Baju ini kubeli buat kamu, karena aku yakin suatu hari nanti kamu akan datang ke sini dan butuh berganti pakaian.” “CIH!” Adel mendorong Ben. Tak percaya rayuan pria itu. Ia hanya menyambar gaun tersebut dari tangan Ben lantas mendorong pintu toilet. Namun sebelum ia masuk ke dalam toilet, ia menyempatkan berbalik untuk melayangkan protes. “Gue gak suka baju modelan plisket begini,” ketusnya. Tak hanya suara ketusnya yang menggambarkan bahwa wanita itu sedang kesal, tapi dari pintu toilet yang ia banting dengan cukup kasar menandakan bahwa ia kesal. Entah untuk alasan apa. Jika benar tebakan Ben, jika Adel memang cemburu, lantas itu adalah sebuah keberkahan yang patut Ben syukuri. Adel melepaskan gaun panjangnya, namun ketika menyadari celana dalamnya juga basah karena terkena essential oil yang ia duduki, maka ia ikut melepaskan kain tipis tersebut dari tubuhnya. Lalu dengan terburu-buru ia memakai dress sepaha yang diberikan oleh Ben. “Sial!” gerutu Adel melihat bayangan dirinya di cermin. Potongan V neck-nya yang rendah membuat brȧ Adel terlihat. Jika brȧ tersebut dilepas, akan jadi huru-hara. Ia yakin Ben akan menerjangnya. Tapi, jika dibiarkan begitu saja, hal itu cukup mengganggu penampilannya. Karena itu, ia memutuskan untuk membuka pintu toilet dan melongokkan kepalanya tanpa keluar. “Ben,” panggil Adel. Membuat yang dipanggil segera mendekat. “Bajunya … itu …,” Adel bingung cara menjelaskannya. “Bajunya kenapa? Bukan ukuran kamu? Kegedean? Atau kekecilan? Coba aku liat.” “Eh, jangan!” cegah Adel dengan suara tercekat sambil ia menahan pintu, menahan Ben untuk menerobos masuk. “Jangan masuk, Ben!” “Kalo gak masuk, diapain dong? Heum? Masa iya cuma di—” Ben sengaja menggantung, membuat Adel mencebik padanya. “Bajunya sih pas, cuman potongan dadanya terlalu rendah.” “Oh,” balas Ben seraya terkekeh pelan. “Itu sih sengaja kubeli buat memanjakan mataku.” Adel mendecak kesal. Ingin sekali rasanya ia memukul kepala pria itu. “Bajunya bikin daleman aku keliatan.” “Dalemannya dilepas aja.” Ben memberi solusi. Solusi yang menguntungkannya. “Ah!” Adel berseru, teringat benda penting yang tak pernah ketinggalan dari tasnya. Ia selalu membawa nipplé pad—pelindung putɨng—benda yang setidaknya bisa ia pakai untuk menyelamatkan penampilannya. Karena itu ia meminta Ben memberikan tasnya yang ada di samping tempat tidur. Setelah mendapatkan tasnya, melepaskan strapless brȧ, serta memasang nipplé pad, Adel kembali berakhir menggerutu. Putɨngnya memang sudah terselamatkan, namun ada satu masalah lagi. Dengan ukuran dadanya yang cukup besar, terlebih tidak menggunakan brȧ, maka bagian pinggiran dadanya akan menyembul, seolah mengintip dunia luar. Terlebih ketika ia berjalan, benda kembar miliknya yang tak tersanggahi brȧ jelaslah akan ikut jalan-jalan juga. “Ben,” Adel kembali melongokkan kepala di ambang pintu. “Apa?” “Ada yang nyembul, ngintip-ngintip.” “Hah? Ada yang ngintipin kamu? Siapa? Berani banget, padahal rumahku ini aman,” sambar Ben Ia langsung mendorong pintu yang dipegangi oleh Adel dengan cepat. Tak terima jika ada yang berani mengintip Adel. Siapa pun itu, pasti akan mendapatkan akibat yang sangat mengerikan dari Ben. Dorongan Ben yang cepat membuat Adel terhuyung. Ketika tubuhnya tak seimbang, jadilah benda kembar itu melompat-lompat, ingin menjelajah pada dunia luar. Demi menyelamatkan benda itu, ah tidak ... maksudnya menyelamatkan Adel agar tak terjatuh ke lantai toilet, Ben langsung menangkap tubuh itu, lalu menariknya, merapatkan Adel pada tubuhnya. Gerakan cepat itu membuat Ben berhasil merasakan kekenyalan benda yang sedang memantul di dadanya. Selayaknya bola yang masih memantul, dari tubuh Adel ke tubuh Ben. “Gara-gara loe ngasih gue baju kayak gini,” gerutu Adel seraya melepaskan diri. Ia menarik-narik bagian potongan V neck dress tersebut agar bisa menutupi keseluruhan dadanya. “Padahal cantik gini,” puji Ben tanpa melepaskan pandangan dari arah yang sangat ingin ditutupi oleh Adel. “Gak salah aku milih bajunya.” “CIH! Ah, mau pulang aja. Mau pesen taxi,” ketusnya seraya merogoh tasnya untuk mencari ponsel. “Ngapain pesen taxi? Aku bakalan anterin kamu, tapi kita sarapan dulu. Bibi udah nyiapin sarapan.” Ben langsung menarik tangan wanita itu, membawanya ke meja makan untuk sarapan. Dan begitu Adel berada di tempat yang dituju, ia hanya bisa menggaruk kepalanya yang tak gatal dan berakhir memandangi Ben. Adel terkejut saat menemukan dua wanita yang sedang memandanginya, terlebih dengan caranya berpakaian yang tak bisa ia sebut sebagai pakaian yang pantas untuk menemui sang pemilik rumah. “Ayo duduk,” ajak Ben. Ben menarik kursi agar Adel duduk. Adel tersenyum canggung pada dua wanita di hadapannya. Malu dan merasa tak enak hati sudah menginap tanpa mengatakan apa-apa pada sang pemilik rumah. Terlebih ia malah tidur di kamar Ben, pasti orang tua Ben akan berpikiran macam-macam. “Ini Mamaku, Del,” tunjuk Ben pada wanita paruh baya yang sedang tersenyum itu. “Kalo yang itu, dia adekku,” tunjuknya pada gadis muda di sebelah wanita yang ia tunjuk sebagai mamanya. “Maaf, Tante, saya nginep gak bilang-bilang,” ujar Adel dengan kikuk. “Maafin ketidaksopanan say—” “Gak apa-apa,” potong Mama Ben yang bernama Mama Yuni. “Saya bener-bener gak sopan, Tante. Maaf …,” Adel tersenyum canggung. “Adel ini lagi sakit, Ma, makanya semalam nginep di sini,” jelas Ben untuk menyelamatkan Adel dari rasa malu. “Adel tinggal sendiri di Jakarta, kasian kalo sakit gak ada yang ngurusin sama nemenin, makanya Ben ajak ke sini.” “Emangnya Mama bilang apa, Ben? Mama gak masalah kamu bawa Adel kesini.” Suasana kikuk tadi mulai mencair karena ternyata Mama Yuni menyambut baik pada Adel. Wanita itu tak mempermasalahkan kenyataan jika anak sulungnya membawa seorang wanita untuk tidur bersamanya. “Oh ya, Del, katanya Ben, Adel ini tinggal sendirian di Jakarta?” “I-iya, Tante,” jawabnya dengan tergagap. “Kalo gitu tinggal aja di sini, dari pada sendirian. Di sini banyak kamar kosong. Kalau mau tidur di kamar Ben juga boleh, tapi yah harus nikah dulu.” Ben mengangkat jempolnya pada mamanya. Benar-benar mama yang sangat mengerti keinginan anaknya. Sementara Adel, ia hanya bisa menggaruk tengkuknya karena merasa malu. Usai sarapan dan berpamitan, akhirnya Ben mengantarkan Adel pulang. Dan terjadilah segala amukan dari wanita itu pada Ben. Hal yang telah ia tahan-tahan sejak berada di ruang makan. Sekarang ia lampiaskan semua kekesalannya. Pukulan demi pukulan mendarat di dȧda dan lengan Ben. Adel terus memukuli pria itu karena menempatkannya dalam situasi canggung. Kata Ben semalam, orang tuanya sedang keluar kota. Karena itulah Adel bersedia masuk ke rumah atau lebih tepatnya ke kamar Ben. Bahkan sampai menghabiskan malam di tempat tersebut, sambil dipeluk oleh Ben. “Bener-bener ya loe Ben, tega bener loe bohong sama gue. Mau taro di mana muka gue? Mereka pasti mikir kalo gue perempuan gak bener yang dating-dateng langsung tidur sama loe.” “Del, aku nyetir. Hey … mau bunuh diri?” “Lebih baik gue mati, malu banget, mana pake baju kayak gini lagi,” amuk Adel. Sebelum Adel makin mengamuk dan membahayakan mereka berdua, Ben memilih meminggirkan mobilnya. Tentu saja Adel makin leluasa memukuli pria itu. Ben mulai meringis kesakitan karena amukan Adel semakin tak tertahankan. Wanita itu menggila dengan pukulannya. Entah ia sadari atau tidak, tapi Adel sampai menaiki tubuh Ben dan memukulnya sebanyak yang ia mau. Alhasil, bukannya menolak untuk dipukuli, Ben merasa senang bahkan sangat meyukai cara wanita itu memukulnya. Kalau begini terus, ia rela saja dipukuli oleh Adel kapan pun. “Mau mukul atau mau godain, heum …?” Ben menangkap kedua tangan Adel dan menatap wanita itu dengan tatapan bérgairah. Tanpa Adel menaikinya saja, Ben sudah kesulitan menahan diri, apalagi dengan posisi Adel yang menatangnya. Membuat sesuatu meronta-ronta di balik celananya, yang sejak semalam sudah susah payah ia tahan. Saat menyadari posisi anehnya, Adel menghentikan pukulannya dan berniat turun, Tapi pergerakannya terhenti oleh Ben, pria itu menahan pinggang Adel hingga wanita itu tak bisa bergerak. Ben tersenyum miring dengan tangannya yang melingkari pinggang Adel. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, sebelum Adel kembali mengamuk, Ben segera menarik tengkuk Adel dan mencium bibir wanita itu. Mata Adel langsung membulat saat permukaan bibir Ben menyentuh permukaan bibirnya. Saat kedua belah bibirnya diterpa oleh embusan dan tarikan napas pria itu, tubuhnya meremang. Hingga tanpa ia bisa menolak, naluri alamiahnya mengambil alih. Seolah dipandu oleh alam bawah sadarnya, ia memejamkan mata. Membiarkan Ben berkuasa atas tiap gerakan yang diinginkan oleh pria itu. Saat Ben menyadari jika Adel sudah menerima sepenuhnya, maka pagutan bibirnya mulai liar. Sesekali ia menghisap bibir Adel, atas dan bawah bergantian, dengan hisapan yang sukses membuat Adel merinding. Tak lagi mampu menolak. Ah, bagaimana mungkin ia menolak, karena sejak awal pun ia sudah terbuai dengan sentuhan Ben. Atau ketika Ben memilih bermain-main dengan sapuan lidahnya yang basah di permukaan bibir Adel, membelainya. Lidahnya menggelitik kesadaran Adel dengan permainan yang melenakan itu, lantas tangannya pun tak mau kalah. Tangan itu bergerak perlahan menarik ikatan di bagian bawah dȧda kiri Adel. Satu tarikan, membuat dress tersebut terbuka. Lantas diiringi dengan sapuan tangan Ben pada bagian V neck dress tersebut. Membelainya, termasuk membelai kulit Adel dengan gerakan sensual, maka saat itu juga Ben menjatuhkan pakaian tersebut. Ia tak ingin pandangannya terhalau lagi, maka ditanggalkanlah pakaian tersebut, termasuk menariknya lepas dari kedua lengan Adel. Dan betapa terkejutnya ia ketika mendapati kenyataan bahwa tubuh Adel hanya tertutupi sepasang nipplé pad, sementara inti tubuhnya, tak tertutupi bahkan oleh sehelai benang pun. Yang menutupinya hanyalah rambut-rambut halus yang tercukur rapi, berbentuk segitiga di bagian atas lipatan inti tubuh Adel. Dress yang membuat Adel menghabiskan setengah jam untuk benar-benar selesai memakainya. Setelah bolak-balik membuka pintu toilet untuk berganti dari strapless brȧ ke nipplé pad. Tapi dress itu, hanya butuh satu tarikan dan satu detik untuk menanggalkannya. Dress yang membuat Ben merasa sangat beruntung karena telah membelinya. “Dress yang menakjubkan.” Senyum miringnya langsung menghiasi wajah pria itu. Ia mengelus permukaan wajah Adel, kemudian turun hingga ke leher, lalu turun ke bagian yang tertutupi nipplé pad, sebelum Ben melepaskan benda kecil itu. Dan saat itulah, Adel tak lagi tertutupi oleh apa pun di hadapan Ben. Inilah saatnya … saat di mana kuyakinkan diri, bahwa kau memang milikku. Dan tak seorang pun akan kubiarkan untuk memiliki apa yang telah kucap sebagai milikku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD