Maaf

1837 Words
Ponsel Ben bergetar tanda pesan masuk. Sebuah pemberitahuan dari grup w******p jika mata kuliah Metodologi Riset yang jadwalnya siang ini dibatalkan. Begitulah info yang Ben baca dari grup w******p. Adel tidak masuk mengajar, membuat Ben diliputi rasa cemas. Padahal biasanya Adel selalu rajin dan tak pernah absen. Hari ini adalah pekan ketiga setelah kejadian Ben menyatakan perasaannya dan membuat Adel kesal. Dua pekan sebelumnya, Ben lebih banyak diam di sepanjang mata kuliah Adel. Jika biasanya ia antusias bertanya dan berdiskusi dengan Adel, justru dalam dua pekan tersebut tak ada komunikasi sedikit pun. Ben terlalu tak enak hati. Merasa bersalah, tapi juga enggan meminta maaf. Sementara Adel, wanita itu tampak baik-baik saja. Terlihat mencoba profesional, meski jelas bahwa ia tak nyaman dengan Ben. “Argghh!!” Ben menjambak rambut, tak bisa menghalau kekhawatirannya. Berkali-kali ia meraih lalu melepaskan kembali ponselnya, ingin menghubungi Adel untuk memastikan keadaan wanita itu. “Ah, sial!” Tak tahan dengan rasa cemasnya membuat Ben memberanikan diri untuk menghubungi Adel. Meskipun ia jelas merasa canggung pada Adel, tapi rasa khawatirnya benar-benar tak bisa ia kendalikan lagi. Ben tak ingin jika Adel sedang sakit dan malah sendirian tanpa ada yang mengurusinya. Panggilan telepon Ben tersambung, namun tak mendapatkan jawaban. Membuat Ben semakin khawatir, beragam pikiran buruk memenuhi kepalanya. Seperti mengira Adel sakit parah atau justru mengira jika Adel benar-benar marah hingga enggan menjawab panggilan teleponnya. “Ah, dia beneran marah.” Ben mulai mondar-mandir sambil memijit pelipis di ruangan kerjanya. Sekali lagi ia menelepon dan masih tidak ada jawaban. Tak ingin menyerah, Ben kembali menekan tombol pemanggil dari layar ponselnya. Ben Calling … “Iya, Ben,” jawab Adel dengan malas setelah dua kali membiarkan panggilan Ben tak terjawab. Ben menghela napas karena lega setelah mendengar suara Adel. Nyawa yang tadi serasa menghilang kembali ke raganya lagi. Seperti itulah perasaan Ben, ia sangat mengkhawatirkan Adel. Karena itulah ia sangat ingin Adel menjadi wanita miliknya. “Tumben gak masuk ngajar, jangan-jangan kamu sakit? Sekarang di mana? Gak sakit parah kan? Udah makan belum? Kamu baik-baik aja kan? Kamu gak kenapa-napa kan?” “Ben …,” panggil Adel sambil terkekeh. Suara kekehan Adel terdengar nyaring di sambungan telepon. Ada yang khawatir setengah mati, tapi malah ditertawakan. Padahal Ben sudah hampir serangan jantung karena mengkhawatirkannya. “Ngapain ketawa huh?” ketus Ben. “Loe lucu sih.” “Kamu di mana? Kenapa gak masuk ngajar?” “Di Bandung, lagi ngisi seminar.” “Terus kenapa gak ngabarin?” Adel tertawa lagi mendengar nada ketus Ben. Padahal Ben sendiri yang menjauhinya selama beberapa pekan terakhir, eh sekarang malah jadi kembali posesif. “Kapan balik? Sama siapa baliknya? Mau aku jemput? Lokasinya di mana?” Adel masih sibuk tertawa karena diinterogasi secara berlebihan oleh Ben. “Gak usah dijemput, gue nyetir kesini, entar malam balik.” “Sendiri?” Adel hanya berdehem sebagai jawabannya. “Aku jemput yah, aku khawatir sama kamu” “Gak usah Ben, napa sih loe lebay banget. Udahan yah Ben, ini seminarnya udah mau mulai.” Adel mematikan sambungan teleponnya sesegera mungkin. Bukan karena seminarnya sudah mau mulai, tapi untuk menghindari segala macam introgasi Ben. Sementara di Jakarta, Ben belum benar-benar lega karena Adel harus menyetir sendiri apalagi harus pulang malam. Hal-hal seperti inilah yang membuat Ben ingin memiliki Adel agar ia bisa melindunginya tanpa perlu ditertawai oleh Adel. Via w******p Ben: Nanti kalo mau pulang, kabarin! Ben: Kalo udah sampe Jakarta kabarin juga! Ben: Jangan matiin HP! Ben: Kalo ada apa-apa hubungin aku secepatnya! Ben: Kalo aku nelpon jawab secepatnya! Ben: Kalo gak, aku bakalan nyusul ke sana! Adel tak bisa menahan tawanya setelah membaca chat dari Ben. Belum apa-apa sudah seposesif itu, bagaimana kalau mereka benar-benar pacaran. Sepertinya Adel harus siap diatur dengan segala macam keposesifan Ben. **** Sekitar jam 10 malam, mobil yang dikemudikan Adel akhirnya tiba di parkiran gedung apartemennya. Ponselnya sudah berkali-kali berdering dan bergetar tanda panggilan dan pesan dari Ben. Beberapa kali Adel mengabaikan panggilan tersebut karena hampir tiap 30 menit Ben menghubunginya. Adel turun dari mobil lalu merenggangkan tubuhnya yang kelelahan karena duduk sepanjang hari. Ia bahkan harus menyetir PP dari Jakarta-Bandung-Jakarta dalam sehari. Adel membuka pintu belakang untuk mengambil tas serta camilan yang ia beli di perjalanan. “Aaakkhh!” Adel berseru kaget karena saat ia berbalik tiba-tiba seorang pria berbadan tegap dan tinggi muncul. Napas Adel masih memburu karena ia kaget setengah mati. Tas, kunci mobil, dan camilan yang ia tenteng bahkan sampai terjatuh. “Niat bikin gue mati muda?” Adel sudah mengomel karena Ben lagi-lagi mengejutkannya. Ben tak menjawab apapun, ia hanya berjongkok untuk memunguti barang-barang Adel yang terjatuh. Sementara itu, Adel memilih untuk duduk di bangku panjang yang tersedia di area parkiran yang terhubung dengan sebuah taman kecil. Ben juga mengikuti Adel, ia duduk di sampingnya. Ingin sekali ia memeluk Adel untuk melepas rindu. Tapi, Ben masih cukup tahu dan sadar diri bahwa ia tidak boleh melakukan hal-hal aneh lagi yang akan membuat Adel marah kepadanya. “Del,” panggil Ben dengan suara agak lirih. Tiba-tiba Ben turun dari bangku dan berlutut di hadapan Adel. Adel tentu saja menarik Ben karena ia tak nyaman dengan apa yang dilakukan Ben apalagi di tempat umum seperti ini. Meskipun tak benar-benar ramai, tapi masih ada beberapa orang yang berlalu lalang di sekitarnya. “Maafin aku, aku bener-bener minta maaf karena udah gak sopan sama kamu, bukan maksud aku buat merendahkan kamu atau melecehkan kamu. Aku minta maaf, aku salah,” ucap Ben sambil menggenggam tangan Adel. “Please, maafin aku Del. Please, jangan marah lagi sama aku. Aku sayang sama kamu. Aku pengen lindungin kamu, aku pengen jag—” Ucapan Ben terpotong karena Adel menyuapkan sepotong bronis kukus berukuran cukup besar ke mulut Ben. Wajah Ben yang tadinya melankolis berubah jadi lucu hingga Adel terus tertawa. Membuat Ben mendecak kesal, padahal niatnya mau bicara serius, eh malah dikerjai oleh Adel. Setelah puas tertawa, Adel menarik Ben berdiri dan menyuruh pria itu agar duduk di sampingnya. Melihat sikap Adel yang kembali welcome padanya, Ben sedikit lebih lega. Dan karena itu, Ben mulai mengunyah bronis kukus yang Adel suapkan padanya. Adel juga mulai memakan camilan yang sama. Sambil makan, Adel berkali-kali merenggangkan tubuh dan memijat bagian belakang tubuhnya. “Capek, Del?” “Iya, pegel.” “Tadi aku tawarin buat dijemput gak mau. Gini nih kalo gak mau dengerin aku.” “Gue denger loh padahal, Ben.” Adel menjawab sambil tertawa. “Iya, didenger tapi ngeyel. Kalo dijemput sama aku kan kamu bisa istirahat di mobil. Kalo butuh sandaran kan bisa sandar sama aku, kalo butuh pelukan mah tinggal minta aja.” “Itu sih maunya loe, Ben.” “Ya, emang. Kalo maunya kamu sih, ya ... ngarepnya sama, ngarepnya kamu mau dipeluk." Adel mendecak, tapi seulas senyum, terbit dari bibirnya, meski agak samar. "Jadi gimana, mau istirahat sekarang aja? Aku temenin ke atas, hmm ...? Aku pijitin, mau?” “Gak mau, loe gak boleh masuk ke apartemen gue.” “Nyembunyiin apa sih? Kenapa aku gak pernah dibolehin masuk ke apartemen kamu?” “Takut diperkosa,” jawab Adel tanpa pikir panjang. Ben mendecak kesal. Ben memang menaruh kekaguman terhadap tubuh Adel dan memiliki keinginan untuk menyentuhnya. Tapi, ia tidak pernah memiliki niatan untuk memaksa Adel apalagi sampai memperkosanya. “Di mata kamu, aku seberengsek itu?” Adel memilih diam, entahlah bagaimana ia harus menjawab pertanyaan Ben. Sama saja dengan Ben, Adel juga belum benar-benar mengenal pria itu secara mendalam. Karena itu, ia tidak punya hak untuk mencap Ben apakah pria itu memang pria yang berengsek atau bukan. “Del … aku beneran sayang sama kamu, aku pengen jagain kamu.” Adel lagi-lagi diam. Tapi, satu tangannya malah bergerak mengamit lengan kekar Ben lalu menyandarkan kepalanya di pundak pria itu. Jelas hal itu mengundang sebuah senyum untuk terbit di wajah Ben. Tangan Ben yang satunya melepaskan tangan Adel yang mengamit lengannya. Bukan karena tak suka, tapi ia justru membawa tangan itu ke dalam genggaman tangannya. “Del, aku boleh jagain kamu, kan?” tanya Ben dengan lembut dan serius. Satu tangan pria itu mengelus punggung tangan Adel yang tertaut dalam genggaman tangan kiri Ben. “Aku pengen jagain kamu sebagai pria yang menjaga wanitanya.” “Stop, Ben!” tegas Adel. “Aku gak mau denger lanjutannya.” Adel menegakkan duduknya, ia juga menarik tangannya dari genggaman Ben. Dengan buru-buru Adel membereskan barang-barangnya lalu bangkit dari bangku kayu itu. Membuat Ben mengikuti Adel sesegera mungkin yang sedang berjalan dengan langkah cepat memasuki gedung apartemen dan berjalan lurus menuju lift. Untungnya, langkah kaki Ben yang lebar membuat ia berhasil menghadang Adel sebelum wanita itu berhasil masuk ke dalam lift. “Kenapa gak boleh? Apa alasannya?” “Gue lebih suka kita kayak gini, gue gak mau punya hubungan apapun sama loe.” “Karena aku cuman mahasiswa kamu?” “Bukan, Ben, sumpah gue gak pernah mikir kayak gitu. Entah loe mahasiswa gue atau bukan … ah ….” Adel mendesah frustasi, tak tahu bagaimana ia harus mengatakan alasannya. Adel tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Ia memilih masuk ke dalam lift. Tentu saja Ben mengikutinya. “Terus kenapa?” “Please, Ben, gue lagi gak pengen ditanya-tanya. Gue bener-bener capek, gue mau istirahat. Loe mendingan pulang aja.” Bagaimana Ben bisa pulang, toh lift tersebut sudah membawanya ke lantai 17, lantai yang ditempati oleh Adel. Lift berdenting saat sampai di lantai 17, dua orang itu keluar. Ben masih setia mengikuti pergerakan Adel hingga wanita itu berbalik di depan pintunya. “Aku butuh penjelasan, Del.” Hanya embusan napas kasar yang keluar dari mulut Adel. “Seseorang yang ditolak harusnya mendapatkan alasan kenapa dia ditolak. Di kantor aku, kalo kami tidak menerima lamaran pekerjaan seseorang, kami memberikan jawaban kenapa dia ditolak. Kantor … yang notabenenya adalah benda mati saja menghargai orang yang ditolak dengan memberikan penjelasan, apalagi ini perasaanku, Del. Kenapa perasaanku harus kamu biarkan tanpa penjelasan?” Ucapan panjang lebar dari Ben membuat Adel terkekeh untuk sesaat. Membuat wajah kelelahan itu menampakkan ekspresi yang sedikit lebih bersahabat. “Gue capek, Ben.” Adel memang sangat kelelahan setelah seharian di luar rumah bahkan sampai malam-malam begini. Mau tak mau, Ben mengangguk pasrah karena tak tega juga terus mengejar-ngejar Adel. Lebih baik ia membiarkan wanita itu istirahat dulu. “Ya udah, kamu istirahat aja, kalo butuh apa-apa kabarin aku,” ujar Ben. Bukan berarti ia menyerah, hanya saja ia cukup paham bahwa Adel sangat kelelahan. Cup … Tiba-tiba Ben mengecup kening Adel. Hanya sepersekian detik, kalau lama-lama bisa kena gampar. Atau mungkin saja Ben yang tak bisa mengontrol diri dan malah berbuat nekat. Belum sempat Adel protes, pria itu sudah berlalu dan masuk ke dalam lift. “Astaga, Ben!” jerit Adel sebagai bentuk protesnya. Wanita itu menghela napas panjang lantas masuk ke dalam apartemen dengan perasaan yang entah bagaimana ia harus mengatakannya. Seperti benang kusut yang saling mengikat hingga tak bisa terlepas lagi. Kacau, yah begitulah perasaan Adel. Terlebih saat arah pandangannya berhenti di sebuah foto yang ada di atas nakas di samping tempat tidurnya. “Maaf,” ucapnya dengan lirih.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD