"Pangeran bermobil lo dateng tuh," ledek Ifah. Kedua orang itu baru tiba di rumah inap Ifah dan kawan-kawan dan tahu-tahu Fatir sudah duduk di teras rumahnya. Suasana rumah itu memang sepi karena ditinggal penghuninya yang masih betah bermain-main di laut. Sementara Ifah dan Ayudia baru saja pulang setelah mengelilingi Karimunjawa dengan motor. Tentu saja hanya satu pulau dari sekian banyak pulau yang ada di Karimunjawa.
"Habis dari mana?" tanya lelaki itu. Ia sudah menunggu sekitar dua puluh menit di sini. Ia sengaja tak menghubungi Ayudia.
"Jalan-jalan."
Ifah melirik ke arah keduanya sembari berpura-pura sibuk membuka kunci rumah. "Ehem! Masuk, Tir?" tawarnya begitu pintu terbuka. Fatir malah tersenyum kecil lalu menoleh ke arah Ayudia. Yang ditatap malah bingung.
"Kamu mau keluar lagi, Di?" tanyanya. Dan lagi-lagi Ifah diabaikan. Ayudia menahan tawa melihat ekspresi pura-pura dongkol milik Ifah. Kalau dikartun-kartun, kedua telinga Ifah sudah mengeluarkan asap bahkan mukanya sukses memerah hingga atas kepala.
"Tadi abis keluar, Fatir."
"Malam nanti?"
Ayudia berdeham. "Memangnya mau ke mana?"
Lelaki itu tersenyum. "Ra-ha-sia," ucapnya yang membuat Ifah mendengus. "Kalau gitu, aku jemput abis magrib ya?" tanyanya. Mau tak mau Ayudia mengiyakan. Tak lama, lelaki itu pamit pulang. Ia biarkan Ayudia beristirahat sebentar.
"Perasaan yang ngajakin lo ke sini gue deh, Di," ucap Ifah saat Ayudia selesai mandi. Gadis itu terkekeh. Ia juga tak tahu kenapa malah jadi begini.
"Terus gimana? Mau gue batalin aja?" tawarnya setengah hati.
Ifah mendesis. Tentu saja bukan itu maksudnya. Ia duduk di atas tempat tidur lantas menghela nafas panjang. "Lo yakin sama dia?"
Ayudia hanya mengendikan bahu. Ia tak tahu ke mana hatinya melangkah. Hatinya masih gamang usai putus beberapa bulan yang lalu. Ada rasa bersalah. Ada rasa lega juga. Lalu kini? Tak ada rasa apa-apa. Pada Fatir pun begitu. Mungkin karena harapannya pernah pupus dulu dikala lelaki itu mendadak hilang.
"Lagipula, hubungan lo sama dia itu gimana sih?" tanya Ifah. Ia tentu sangat penasaran. Terakhir, keduanya terlihat sangat dekat. Tapi Azka bilang kalau Fatir tak begitu serius dengan Ayudia. Lalu Ayudia malah kembali pada mantan kekasihnya. Ia tahunya mereka sudah kembali selama lebih dari setahun. Tapi sebetulnya tidak selama itu. Lalu ini? Apa yang sebetulnya terjadi? Kenapa tiba-tiba ada Fatir dan keduanya terlihat begitu dekat?
Ayudia menghela nafas. Ia juga bingung dengan semua hal yang terjadi sangat cepat. "Gue baru ketemu dia di kapal setelah dua tahun dia ngilang itu."
"Bener-bener gak ada hubungin elo?"
"Gak ada."
"Kalo dia ngilang lagi gimana?"
Ayudia menghela nafas. "Gue gak perlu menaruh hati."
"Gak perlu baper maksudnya?"
Sahabatnya itu mengangguk.
"Memangnya bisa?"
Ayudia mengendikan bahu. Ia juga tak tahu.
"Terus perasaan lo sekarang?"
Ayudia malah terdiam. Ia juga berpikir dan sedang menelaah perasaannya sendiri. "Lihat nanti aja," ucapnya kemudian yang membuat Ifah geleng-geleng kepala.
"Kok bisa begitu ya?"
Ayudia terkekeh. Ia juga tak tahu. Perasaannya terkadang mati rasa terhadap lelaki. Mungkin karena patah hati parah. Mungkin juga karena pernah ditinggal Fatir begitu saja tanpa kejelasan dan kini lelaki itu juga hadir lagi tanpa alasan. Tiba-tiba bilang masih suka dan semua ini terasa sangat aneh bagi Ayudia.
@@@
"Aku kira bawa mobil."
Fatir terkekeh. Ia sengaja meminjam motor trail. Tentunya masih ada sisa jok untuk Ayudia duduk di atasnya.
"Tadi pinjam punya temenku yang ke sini," tuturnya. Ia menepuk-nepuk jok motornya agar Ayudia bisa segera naik. Gadis itu menurut.
"Memangnya mau ke mana?"
Fatir tak menjawab. Lelaki itu malah mulai menarik gasnya. "Menurutmu kita akan ke mana?"
Ayudia mengendikan bahu. "Entah lah."
"Aku ingin ke tempat di mana kita pernah bertemu."
Kening Ayudia mengerut. Bukan kah mereka memang pernah bertemu di sini?
"Ah ya, Di," ia teringat sesuatu. "Aku bekerja di Jakarta."
Oooh. Ayudia mengangguk-angguk. "Lalu?"
"Besok akan kembali."
Oooh. Ayudia menganggukan kepalanya lagi. Bukan kah ia juga sama?
"Kamu akan lama di sini?"
"Enggak."
"Kapan kembali?"
"Kembali ke mana?"
Fatir berdeham. "Ke mana saja untuk menetap."
Ayudia terkekeh. "Sedang mengorek informasi tentangku?"
Fatir tertawa. Lelaki itu kembali fokus melihat jalanan di depan. Perjalanan ini tidak memakan waktu lama andai ia mengemudikan motornya dengan lebih cepat.
"Tidak boleh?"
Ayudia tampak berpikir kemudian ia berdeham. "Kamu ke mana saja?" tanyanya. Ia merujuk pada hilangnya Fatir dua tahun lalu. Lelaki itu tersenyum kecil kalau mengingat hal itu.
"Aku tahu kamu kembali pada mantanmu makanya aku pergi saat itu, Di."
Tentu saja itu alasan. Meski ya, memang itu juga yang menjadi salah satu alasan ia harus meninggalkan Ayudia. Sementara Ayudia tampak kaget. Maksudnya, dari mana lelaki ini bisa tahu? Dan.......kapan tahu?
Fatir berdeham. Ingatannya kembali pada saat ia memilih untuk pulang saat melihat Ayudia tampak senang dengan mantan dan juga teman-temannya usai sidang. Pahit bukan? Sekali. Tapi ya sudah lah. Semua itu sudah berlalu. Fatir juga enggan mengungkitnya lagi.
"Lalu?"
"Tidak ada. Aku hanya kecewa saja pada diri sendiri saat itu."
Itu hanya lah alasan dan Ayudia tahu. Barangkali ia sudah tak sengaja membuat hati lelaki ini sakit karenanya. Mengingat itu, membuatnya menghela nafas panjang. Apa ia harus meminta maaf?
"Tapi itu sudah berlalu, Di. Yang penting adalah sekarang."
Ya, Fatir benar. Tapi apa yang penting saat ini?
"Kenapa tidak bersaing?"
"Bersaing?"
Ayudia mengangguk. "Kamu bisa saja merebutku."
Hahaha. Fatir tertawa. "Aku ingin segala cara yang ku lakukan dalam hidup, ku lakukan dengan cara yang baik."
Oooh. Ayudia tersenyum kecil. Tapi mengalah dan menjadi bodoh itu tak ada bedanya jika urusannya asmara.
"Lantas bagaimana hidupmu sekarang?"
Fatir terkekeh. "Ingin tahu?"
"Euuunggg," Ayudia pura-pura berpikir dan Fatir tergelak dibuatnya. "Kamu memang menyebalkan," tuturnya. Fatir masih tertawa. Sementara Ayudia mendengus. "Aku tak tahu apa-apa tentang hidupmu."
"Sekarang ingin mengenalku?"
"Entah lah."
"Jawaban apa itu?"
Ayudia terkekeh.
"Dua tahun terakhir.....," ia membuka obrolan lebih panjang dan dalam tentang hidup. "Kamu ingin tahu hidupku sebagai apa, Di?"
"Maksudnya?"
Ayudia tak paham. Obrolan ini bagai melompat-lompat padahal hanya diam di tempat. Sementara itu, tatapan Fatir tampak serius dan kurus ke depan. Lelaki itu berdeham.
"Aku sedang menawarkan komitmen..."
@@@
"Apa aku pernah menanyakan nama ayahmu di sini?" tanyanya yang membuat Ayudia tertawa.
Ternyata Fatir mengajaknya ke Bukit Cinta. Lelaki itu masih ingat kalau mereka pernah bertemu di sini. Awal perkenalan kan dilakukan di sini. Dan tempat ini menjadi tempat yang cukup istimewa untuk Fatir. Jujur saja, usai pulang dari Belanda dan sibuk bekerja, baru kali ini Fatir bisa liburan. Sekalinya liburan walaupun hanya sebentar, ia memang memilih tempat ini. Karena apa? Karena ada kenangan bersama Ayudia di dalamnya.
"Sebetulnya tadi aku mau mengajakmu sedari sore ke sini. Biar bisa melihat matahari tenggelam," ungkapnya jujur. Itu lah alasannya sudah menunggu di teras penginapan Ifah. Ayudia mengangguk-angguk. Paham. Walau rencana ini sesungguhnya benar-benar tak ada di dalam kepalanya. Liburan bersama Ifah tentu tak penuh karena kehadiran lelaki ini. Tapi Ayudia tak masalah. Barangkali memang ini caranya. Toh akhirnya, ia malah dipertemukan kembali kan dengan lelaki ini?
Fatir berdeham usai melirik Ayudia. "Apa kesibukanmu sekarang?"
Ayudia tersenyum kecil. Bertanya hal semacam ini bukan seperti Fatir yang ia kenal dulu. Dulu, ia merasa jika Fatir agak cuek dan cool. Terkadang tak begitu banyak yang dibicarakan.
"Kesibukan sebagaimana perempuan usia 23 tahun," tuturnya yang membuat Fatir tertawa. Ia suka cara Ayudia berbicara.
"Bekerja dan menggalaukan pernikahan?"
Ayudia terkekeh. Jujur saja, memang itu yang ada di dalam pikirannya. Tapi, ia sedang fokus pada pekerjaannya saat ini.
"Aku tinggal di Semarang, Fatir."
Fatir mengangguk-angguk. Tentu saja ia sudah tahu.
"Mungkin untuk setahun atau dua tahun. Tergantung penugasan," lanjutnya.
"Nikmati saja pekerjaan dan waktumu," tuturnya pelan. Mendengar itu membuat Ayudia menoleh.
"Aku juga sibuk," tuturnya. Lelaki itu melipat kedua tangan di depan d**a sambil menatap langit gelap di atas sana. Malam ini, memang tak ada bintang yang terlihat. Tapi bintang di sampingnya, bersinar lebuh terang dibandingkan dengan bintang yang pernah ada untuk menyinari bumi. Eaak!
"Sibuk bekerja keras atau mengejar perempuan?" ledek Ayudia yang membuat Fatir terkekeh. Apa ia terlihat seperti lelaki playboy?
"Menurutmu?"
Ayudia mengendikan bahu dengan cool. "Entah lah. Aku tak bisa membaca isi hati orang, Fatir."
Fatir tersenyum tipis. "Apa rencanamu, Di?"
Ayudia menoleh. "Rencana?"
Lelaki itu mengangguk-angguk kemudian berdeham. Ia sempat menundukkan kepalanya sesaat sebelum mendongak lagi. Ia masih menatap langit di atas sana.
"Rencanamu untuk setahun atau lebih."
"Kenapa?"
Fatir terkekeh kecil. "Gak boleh bertanya?"
"Biasanya seseorang bertanya dengan alasan."
"Terkadang alasan bisa diabaikan."
Ayudia mengangguk-angguk. "Menurutmu?"
Ia malah melempar balik pertanyaan itu. Fatir terkekeh. "Bekerja?" tebaknya.
"Mungkin."
"Mungkin?"
"Memangnya ada hal lain?"
Fatir tertawa. "Siapa tahu kamu memiliki rencana lain. Entah liburan atau memiliki pacar lagi."
"Kamu sedang menyelidikiku rupanya."
Fatir terkekeh. "Fokus penbicaraanku adalah masa depan, Di. Bukan untuk dicurigai."
Ayudia tersenyum kecil. "Lalu kamu?"
"Benar-benar ingin tahu atau tidak?"
"Kenapa memangnya?"
Lelaki itu berdeham. "Aku hanya ingin memastikan.
Ayudia terkekeh. "Memastikan apa?"
Fatir menghela nafas panjang. "Orangtuaku tidak seperti kebanyakan orangtua yang senang melihat anak-anaknya membawa perempuan atau lelaki untuk dibawa ke rumah dan dikenalkan pada mereka sebagai pacar, Di."
Oooh. "Lalu?"
"Namun aku paham semua hal butuh waktu."
Ayudia mengangguk-angguk. Memang benar. Lantas?
"Jujur saja, untuk menikah, aku merasa belum siap."
Aaaah. Ayudia mengangguk-angguk. Tapi apa hubungannya dengannya?
"Banyak hal yang masih ingin ku lakukan. Banyak hal yang ingin ku capai. Banyak hal juga yang harus dipersiapkan. Dan orangtuaku mendukungku untuk melakukan itu. Sibuk dengan pekerjaan saat ini. Menikmati waktu bersenang-senang bersama teman-temanku. Menikmati kebahagiaan bersama keluarga. Menghabiskan waktu untuk kesendirian."
Ayudia berdeham. Ia juga masih ingin hidup seperti ini. Setidaknya untuk beberapa tahun ke depan. Walau jodoh, tak ada yang pernah tahu ujungnya akan seperti apa.
"Menurutmu bagaimana?"
"Itu bagus."
"Kalau menikah?"
Ayudia tersenyum kecil. "Pernikahan itu pilihan, Fatir. Ada yang ingin menikah muda, itu pilihan yang ditakdirkan. Ada yang belum ingin menikah, itu juga pilihan yang ditakdirkan. Apapun yang terjadi dalam hidup kita saat ini adalah pilihan kita sendiri dan Tuhan yang menjadikannya kenyataan." Ayudia menghela nafas. "Menikah bagiku, masih jauh dari angan. Sama seperti katamu, aku juga masih ingin melakukan banyak hal untukku sendiri sebelum akhirnya menghabiskan masa berdua yang panjang hingga nanti. Teman-temanku belum ada yang menikah. Mereka juga sama. Masih ingin melakukan banyak hal dalam hidup kesendirian. Tidak ada yang buruk tentang orang yang memang belum ingin menikah karena mereka memiliki alasan tersendiri. Begitu pula denganmu juga diriku sendiri."
"Aku pikir, semua orang sudah memikirkan pernikahan diusia seperti ini."
Ayudia terkekeh. "Pikiran ke arah sana, sudah pasti ada di dalam benak setiap orang, Fatir. Tapi tak semua ditakdirkan untuk menikah dalam usia seperti itu. Ada yang jauh lebih tua."
Fatir tersenyum kecil. "Aku hanya ingin menyiapkan segalanya, Di. Sebelum menikah, aku ingin memapankan diriku dalam artian, aku tak mau memulai dari nol dengan pasanganku nanti. Aku ingin ia hidup layak seperti orangtua yang membesarkannya dengan layak."
Ayudia terkekeh kecil sembari melirik ke arah lelaki di sampingnya ini.
"Bagaimana menurutmu? Kata-kataku?" tanyanya yang membuat Ayudia terbahak. Fatir terkekeh-kekeh sambil menggaruk tengkuknya. "Tersentuh?"
Ayudia terpingkal. Alih-alih tersentuh, ia malah tertawa karena kata-kata itu membuat Fatir tampak kaku. Tapi terkadang, lelaki ini memang agak kaku. Meski tetap terlihat lucu dimatanya. Kepolosan Fatir dalam bersikap dan berucap terkadang membuatnya bertanya-tanya. Apakah benar lelaki ini seperti ini?
Kemudian Fatir berdeham. Ia kembali melihat ke depan usai menatap Ayudia yang tertawa lebar karena ucapannya tadi. "Jadi, bagaimana, Di?" tanyanya dengan wajah serius.
Ayudia berdeham-deham. Ia baru menyadari kalau hanya tertawa sendirian. Kemudian melirik lelaki di sebelahnya ini dengan simpulan senyum.
"Apanya yang bagaimana?"
Fatir menghela nafas. Jantungnya tiba-tiba saja berdebar keras. Kemudian menoleh pada Ayudia.
"Mau berjalanku ke arah sana?" tanyanya sambil menoleh ke arah arah Ayudia.
"Arah mana?" tanyanya bingung. Mata keduanya saling bersitatap.
"Pelaminan di ujung sana. Aku bisa melihatnya dari sini," tuturnya seraya menunjuk ke arah lautan. Kening Ayudia mengerut sembari melihat ke arah jari telunjuk Fatir yang terarah ke lautan itu. Lelaki itu tertawa begitu menyadari kalau Ayudia tak paham maksudnya. "Lihat tanganku, Di," ujarnya. Ayudia menoleh dan melihat tangan kanannya yang masih menunjuk ke arah lautan. "Bukan yang itu," tuturnya lantas memperlihatkan tangan kirinya yang sedari tadi terulur ke arahnya. Ayudia mengikuti apa yang ia maksud kemudian terlalu dengan jantung yang tiba-tiba berdegup keras. "Berjalan menuju masa depan bersamaku?"
@@@