Pagi-pagi sekali, Ayudia sudah rapi. Mereka hendak berangkat sarapan. Mereka? Iya. Ayudia, Ifah dan teman-teman Ifah. Mereka sarapan pagi di dekat gerobak bubur ayam sambil bercanda gurau. Setelah itu, mereka kembali ke penginapan untuk membereskan sisa-sisa barang. Liburan singkat ini akan segera berakhir tapi Ayudia mendapat banyak kenangan. Khususnya....
"Diaaaa!" teriak salah satu teman Ifah.
Ayudia yang sedang mengunci tasnya pun menoleh.
"Ada cowok nyariin," tuturnya yang dijawab dengan anggukan. Ah ia hampir lupa dengan lelaki yang memberikan banyak kenangan untuknya semalam.
"Eh, Fah, gue berangkat duluan gimana?" tanyanya sambil nyengir. Ifah hanya bisa mengerucutkan bibir. Terpaksa mengalah lagi meski sebetulnya liburan ini adalah idenya. Idenya yang menyuruh Ayudia menyusul tentu saja. "Pliiiiisss! Gue janji bakalan main ke Jakarta!"
Ifah mendengus mendengarnya. "Gue tauk kalo pun lo ke Jakarta pasti bukan buat ketemu gue!" tukasnya, pura-pura kesal dan pura-pura ngambek. Ayudia terkekeh.
"Pliiiiis!"
Ifah menjitak kepalanya lantas keduanya berpelukan. Padahal baru sebentar bertemu tapi harus berpisah lagi. Kemudian Ayudia berpamitan pada teman-teman Ifah. Ia sangat berterima kasih karena sudah diberikan tempat untuk menginap di sini secara gratis. Lalu keluar dan mendapati Fatir tersenyum lebar.
"Yuk," ajak lelaki itu. Fatir juga pamit pada Ifah dan teman-temannya. Lalu keduanya masuk ke dalam mobil yang dipinjam Fatir. Ia hanya datang ke sini untuk mengantar teman-teman bulenya liburan. Yeah, teman-temannya dikala kuliah di Belanda. Mereka datang ke sini untuk berlibur ke beberapa kota di Indonesia. Fatir menyarankan untuk datang juga ke Karimunjawa.
Tiba di pelabuhan, Fatir mengembalikan mobil itu kepada temannya sekaligus berpamitan. Ia melambaikan tangan ketika hendak masuk ke dalam kapal. Rasanya pulang itu membahagiakan karena bersama Ayudia. Tapi.....
"Nanti aku antarkan ke rumahmu," tuturnya begitu menaruh tas. Keduanya kompak naik hingga lantai paling atas kapal. Ruangan terbuka di atas kapal lebih seru dibandingkan berada di dalamnya. Ayudia juga lebih suka berada di lantai paling atas.
"Ke rumahku?" tanya Ayudia.
Fatir mengangguk. "Aku sudah mengambil jadwal kereta untuk kembali ke Jakarta."
"Apa gak mepet?"
Lelaki itu menggeleng. "Aku bisa mengambil libur untuk istirahat besok, Di."
Gadis itu mengangguk-angguk. Ia duduk dengan tenang di bangku panjang sambil menatap laut yang biru. Omong-omong, kapal mereka akan berangkat tepat pukul delapan pagi.
"Jadi kamu kerja di Jakarta?"
"Ya. Kan sudah kita bahas semalam."
Ayudia mengangguk. Keduanya menghabiskan waktu hingga tengah malah di alun-alun sembari menikmati seafood.
"Aku mungkin akan sangat sibuk."
Ayudia mengangguk-angguk. Ia juga sama. Akan sangat sibuk. Ia juga tak yakin apakah akan bisa datang ke Jakarta.
"Orangtuamu tinggal di mana?"
"Sekarang di Bandung."
"Aku boleh datang ke sana, Di?"
Ayudia terkekeh. "Dengan maksud?"
Fatir tersenyum kecil sembari menggaruk tengkuknya. Wajahnya juga memerah. Hal yang membuat Ayudia tertawa lebar.
"Kamu boleh datang kapan saja," ucapnya usai menahan tawa. Ia mengambil minum sementara Fatir menatapnya dengan dalam. Kadang ia heran dengan Ayudia yang tampak santai meski berada di depannya. "Orangtuaku agak bawel. Jangan lelah menanggapi mereka nanti."
Fatir tersenyum kecil. Tampaknya, keluarga perempuan ini akan asyik.
"Tapi sebelumnya, kamu dulu yang datang ke Jakarta."
"Kenapa?"
"Harus berkenalan dengan keluargaku."
Aaah. Ayudia mengangguk-angguk.
"Mama sangat ketat untuk urusan pergaulan," tuturnya. Kemudian ia berdeham. "Papa masih selow. Tapi bagi mereka ya sama. Tak ada istilah pacaran di dalam keluarga kami."
"Memangnya kita pacaran?"
Fatir tersenyum kecil sementara Ayudia tertawa lagi. Lucu saja dengan muka Fatir yang sungguh merah. Ayudia ingat semalam kalau Fatir tidak menembaknya seperti kebanyak pria dan wanita lakukan. Lelaki itu menawarkan komitmen. Bukan pacaran, apalagi taarufan. Hubungan tanpa status namun terikat? Ah, Ayudia juga tak paham. Itu jenis hubungan yang ambigu. Tapi mendengar niatan baik Fatir, ia coba saja. Siapa tahu memang berjodoh.
"Aku ingin serius, Di," tuturnya. "Jalannya memang ke arah sana meski semuanya perlu waktu."
Ayudia terkekeh kecil. Ia menopangkan dagunya dengan tangan kanan sambil menatap Fatir.
"Apalagi rencanamu?"
"Mendengarmu bekerja di perusahaan itu, membuatku berpikir..."
"Berpikir?"
"Untuk pindah."
Ayudia terkekeh. "Kenapa? BUMN bukannya asyik?"
Fatih berdeham. "Aku tak sengaja kenal dengan beberapa petinggi perusahaan itu dan mereka mengajakku untuk bergabung, Di."
Aaaah. Ayudia mengangguk-angguk. Ia pernah mendengar cerita semacam ini dari beberapa temannya yang juga mengalami. "Lalu?"
"Masih kupikirkan."
"Kalau memang masih betah di tempat lama, di sana saja."
"Kenapa memangnya? Kamu takut aku pantau?"
Ayudia tergelak. Apakah ia wanita yang suka berselingkuh? Tapi mengingat Ayudia yang bahkan kembali pada kekasihnya memang membuat Fatir agak-agak was-was. Akhirnya, ia mengetahui semua masa lalu Ayudia semalam.
"Do with your passion. Masing-masing orang punya kenyamanan tersendiri untuk memilih ia ingin bekerja seperti apa dan di mana."
Fatir mengangguk-angguk. Memang benar. Sejauh ini, ia memang suka bekerja di BUMN. Rasanya mungkin tak berbeda jauh dari para pekerja swasta. Mereka juga dituntut untuk profesional dalam segala hal. Harus menjaga nama baik perusahaan. Yang membedakan mungkin cara naik jabatan dan gaji? Meski bekerja di BUMN sangat menjanjikan serta masa depan terjamin tapi tawaran yang datang sebegitu mudahnya juga menggiurkan.
"Dan lagi, sekalipun kita satu perusahaan. Gak akan ketemu. Perusahaan itu besar sekali, Fatir. Anak-anak perusahaannya ada banyak. Aku saja terlempar ke Semarang."
"Bukannya kamu juga ingin pindah dari Jakarta?"
Ayudia nyengir. Ya memang sih. Alasan putus juga yang mendorongnya mau-mau saja dipindahkan ke Semarang. Tapi akhirnya, Ayudia betah. Tinggal jahh dari ibukota lebih menyenangkan. Meski akses transportasi tidak selengkap dan sekece Jakarta. Walau Semarang juga panas. Namun rasanya lebih enak saja.
"Lantas kalau sudah menikah, akan bagaimana?"
"Kamu maunya bagaimana?" lempar Ayudia yang membuat Fatir terkekeh. Lelaki itu menggaruk-garuk lehernya. Grogi lagi melihat senyuman Ayudia yang cantik itu. Matanya yang menyipit ketika tertawa terlihat begitu indah. Parasnya yang cantik juga manis memang tidak bosan jika terus-menerus dipandang.
"Ikut denganku ke Jakarta? Bagaimana?"
@@@
Ayudia masih menguap meski baru saja bangun. Gadis itu membuka mata dan melihat mobil yang ditumpanginya sudah hampir masuk ke Semarang. Ia termenung sebentar sembari mengumpulkan nyawa usai pulas. Maklum lah, ia memang kurang tidur. Kurang istirahat pula. Tubuhnya terasa remuk dan ini hampir jam dua siang.
"Minum?" tawar Fatir. Lelaki itu menyodorkan sebotol minuman. Ayudia menerimanya dengan senang hati. Kemudian menenggak seperempat isi botol itu.
"Keretamu jam berapa?" tanyanya. Ia baru ingat kalau Fatir akan naik kereta ke Jakarta.
"Jam tujuh. Aku akan tiba di Jakarta jam satu pagi."
Ayudia mengangguk-angguk. Ia melihat jalanan kemudian memberitahu sang sopir arah menuju rumah kontrakannya.
"Mau istirahat dulu?" tawarnya.
"Boleh?"
Ayudia mengangguk-angguk. Tentu saja. Hampir dua puluh menit kemudian, mobil tiba di depan rumah kontrakan kecil milik Ayudia. Tentu saja ia tak tinggal sendirian di sini.
"Ada teman-temanku di dalam. Kamu tunggu sebentar," tuturnya. Fatir mengangguk-angguk saja. Ia biarkan Ayudia masuk dulu ke dalam rumah. Ayudia menaruh barangnya kemudian memberitahu teman-temannya kalau ada lelaki yang datang. Dua gadis yang tadi sedang bersantai di depan televisi langsung morat-marit masuk ke kamar. Ayudia terbahak.
"Lama gak, Di?"
"Sorean lah!" sahutnya kemudian berjalan menuju pintu rumah dan membukanya untuk Fatir. "Aku dan teman-temanku ngontrak di sini. Satu lagi lanjut kuliah di UNDIP. Satu lagi sekantor denganku," ujarnya biar Fatir tak bingung melihat ada foto yang dipajang di rumah tamu kecil itu. Fatir mengangguk-angguk. Ia duduk di sofa panjang sementara Ayudia menghilang ke dapur. Tak lama, gadis itu kembali dengan dua gelas minuman.
"Aku sampai ashar saja. Tak enak di sini lama-lama. Apalagi semua perempuan," ujar Fatir. Ia tadi mendengar tutur kata Ayudia pada teman-temannya. Ayudia tersenyum kecil. Ia berani menyuruhnya masuk karena melihat Fatir tampaknya lelaki baik-baik. Maksudnya, bukan tipe lelaki yang berani macam-macam pada perempuan.
"Lalu langsung berangkat ke stasiun?" tanyanya tapi kemudian ia teringat sesuatu. "Atau mau ke Lawang Sewu?"
"Aku sudah pernah ke sana."
Ayudia mengerucutkan bibirnya. Fatir terkekeh.
"Tapi kan belum pernah ke sana bersamamu."
Ia tersenyum lebar lagi mendengar kata-kata itu. Entah kenapa, terdengar romantis sekali?
Dan itu lah yang membawa keduanya berangkat untuk menghabiskan waktu sebelum berpisah lama. Tiba di Lawang Sewu, keduanya berjalan mengitari gedung tua itu.
"Kalau malam datang ke sini akan lebih seru."
"Kenapa?"
"Kalau ngambil foto di sini, akan terlihat sangat bagus."
Ayudia mengangguk-angguk. Tapi ia belum pernah ke sini hingga malam. Alasannya cuma satu, ia agak sedikit penakut.
Hampir satu jam mengitari Lawang Sewu, Ayudia mengajaknya menuju sebuah warung tenda yang berlokasi di pinggir jalan. Warung enak itu menjual beragam makanan-makanan yang sangat murah. Ada nasi kucing hingga minuman herbal.
"Kalau lagi kere, aku sama temen-temenku suka ke sini."
Fatir terkekeh mendengarnya. Ia juga sering datang ke tempat-tempat makan seperti ini bersama teman-temannya ketika sedang liburan. Alasannya sama dengan Ayudia, penghematan. Tapi itu lah serunya. Makan bersama teman di mana pun pasti akan menyenangkan. Usai makan, keduanya beranjak. Ayudia mengajaknya ke sebuah masjid dan solat magrib di sana. Lalu melanjutkan perjalanan menuju Stasiun Semarang Tawang dengan agak terburu-buru karena khawatir Fatir tertinggal kereta. Tiba di stasiun, suasana mulai meresahkan. Ayudia baru merasakan bahwa ada yang akan hilang darinya. Sementara Fatir tersenyum kecil. Dibalik ketenangan wajahnya, sebetulnya ia sudah gelisah sejak makan tadi. Karena apa? Ya alasannya ada di depannya.
"Aku harus masuk," tuturnya yang membuat Ayudia mengangguk. Memangnya ia bisa menahan kepergiannya? Tentu tidak bukan?
Lelaki itu memperbaiki rambut Ayudia. Baru kali ini ia memegang rambut perempuan. Semua kakaknya laki-laki. Kalau pun bertengkar pasti bukan adu bacotan melainkan adu karate. Lalu apa hubungannya dengan memegang rambut Ayudia? Tak ada. Namun hal itu membuat Fatir tersenyum kecil. Hal yang tanpa disadari adalah keduanya menciptakan romansa di Stasiun Semarang Tawang.
"Hati-hati," tutur gadis itu pelan. Suaranya berbeda jauh dibandingkan saat makan tadi. Tadi terdengar begitu ceria sekarang terdengar seperti ingin menangis. Fatir terkekeh. Kok ia malah senang ya?
"Nanti kalau ada waktu, aku akan datang ke sini oke?" tawarnya. Ayudia hanya mengangguk dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Sebetulnya, hatinya tak rela. Tapi mau bagaimana lagi? Kesibukan akan membuat keduanya kembali terpisah setelah bersatu dalam waktu kurang dari satu hari?
Ayudia berusaha tersenyum. Hidungnya mulai merah meski ia tak menangis. Sementara Fatir tersenyum. Sekali lagi, lelaki itu mengelus kepalanya kemudian berjalan mundur menuju pintu masuk. Ayudia mengangkat tangan, mengirimkan lambaian tangan pada lelaki itu dan dibalas dengan hal yang sama oleh Fatir. Kemudian ia melihat lelaki itu membalik badan sembari menyerahkan tiket dan kartu kependudukan untuk diperiksa petugas. Ia membalik sesaat sembari mengirim senyuman pada Ayudia yang masih berdiri di tempat yang sama. Setelah tak melihat tubuh Fatir, Ayudia membalik badan. Kereta yang akan membawa Fatir ke Jakarta akan tiba dalam beberapa menit. Namun sialnya, Fatir baru teringat akan sesuatu. Ia bergegas membalik badan. Berteriak-teriak memanggil petugas agar dapat keluar sebentar. Tapi tak bisa. Alhasil apa yang seharusnya ia berikan langsung pada Ayudia hanya bisa ia titipkan pada petugas yang kini sudah berlari menuju Ayudia. Untungnya gadis itu masih berada tak jauh dari pintu keberangkatan. Fatir bahkan bisa melihat punggungnya. Saat petugas itu menepuk bahu Ayudia, Fatir menghela nafas lega. Entah apa yang dikatakan petugas itu. Yang jelas, petugas itu menunjuk Fatir dan tatapan Ayudia segera mengikuti apa yang ditunjuknya hingga tatapannya bertemu dengan Fatir. Fatir memberi kode untuk membuka ponsel dan Ayudia melakukannya.
Kalau kita bertemu lagi, kamu mau memakai ini, Di?
Itu pesannya yang membuat Ayudia termangu menatap pashmina merah yang berada ditangannya. Ya, pashmina itu yang dititipkan Fatir pada sang petugas. Pashmina yang ia beli di alun-alun Karimunjawa.
@@@
Tiga tahun kemudian.
"Datang! Datang! Datang!"
Seisi rumah langsung heboh. Ayudia yang sedang menatap ponsel pun tersadar. Gadis itu mengerjab-erjab. Tiba-tiba ia didorong masuk oleh para sepupunya. Sementara orangtuanya dan juga saudara-saudara dari mama dan papanya sibuk menyambut beberapa mobil yang baru datang.
"Deg-degan gak lo?" ledek salah satu sepupunya. Ia terkekeh. Jantungnya sudah berdebar keras. Sejak semalam, ia bahkan sulit tidur memikirkan hari ini.
"Duduk, Di! Duduk!" seru sepupunya yang lain. Ia didorong lagi untuk duduk di depan cermin. Sepupunya itu memperbaiki beberapa riasan diwajahnya. Kedua tangannya saling memeluk saking gugupnya. Ia jadi tahu bagaimana rasanya dilamar. Uhuy!
Yeah, tiga tahun bukan waktu yang cepat tapi tidak juga terlalu lama. Ia dan Fatir hanya saling berhubungan. Sesekali Fatir yang datang menjenguknya ke Semarang atau lelaki itu akan mampir ke Bandung ketika Ayudia sedang pulang ke rumah orangtuanya. Ayudia jarang datang ke Jakarta bukan karena kesibukannya tapi karena kesibukan Fatir. Lelaki itu akhirnya tetap bekerja di BUMN. Dan Ayudia baru ia kenalkan pada keluarganya setahun terakhir. Ada cerita dibalik itu.
Sebagai anak bungsu, Fatir harus memastikan kakak-kakaknya sudah menikah baru kemudian ia maju. Ia belum berani membawa Ayudia ke rumah karena harus menilai sikap mamanya dulu. Mamanya memang paking sensitif terhadap anak-anaknya yang memiliki pacar. Jadi, Fatir harus pintar-pintar mengkondisikan hal ini. Meski ujung-ujungnya bagai kucing-kucingan dengan sang mama. Tapi ia bersyukur karena Ayudia mengerti kondisinya. Gadis itu tak pernah protes dan tampak santai. Bahkan saat Fatir menyatakan keseriusannya untuk benar-benar datang melamar, ia tak menyangka akan secepat ini. Ia kira masih beberapa tahun lagi untuk Fatir berani melangkah. Fatir bukan pengecut. Lelaki itu memang terlalu banyak perhitungan. Tapi barangkali ini lah waktu yang tepat. Ayudia tak pernah mempermasalahkan betapa lamanya hal ini terjadi karena apa? Karena ia percaya takdir. Ketika Tuhan menyelipkan rasa tertarik yang kemudian menjadi cinta sejak pertama kali bertemu di Karimunjawa kala itu, Ayudia tak pernah merasa khawatir. Sebab jika berjodoh pasti akan dipertemukan dengannya oleh-Nya bukan?
Dan hari ini tiba di mana lelaki itu akhirnya datang membawa keluarga besarnya untuk melamarnya. Rasa bahagia membuncah didada Ayudia ketika akhirnya diminta keluar. Gadis itu deg-degan setengah mati. Sementara Fatir juga tak kalah gugupnya. Hingga saat matanya bertemu dengan mata Ayudia yang muncul dibawa para sepupunya, ia terpana. Pashmina merah yang pernah ia berikan tersemat cantik di kepalanya. Selama tiga tahun belakangan, Ayudia memang belum serius mengenakan kerudung. Dan Fatir tak pernah menyinggungnya karena ia tahu kalau hal itu tak bisa dipaksakan. Ia biarkan Ayudia bersikap senyamannya hingga saat pertama kali ketika ia hendak membawa Ayudia ke rumahnya, gadis itu mengenakan kerudung. Alasannya apa? Karena ibu Fatir. Takut ibunya tak menyukai perempuan yang tidak menutup aurat. Fatir tak mempermasalahkan alasan itu. Tapi ia suka dengan prosesnya. Meski setelah itu, Ayudia belum sepenuhnya memakainya. Terkadang memang dikenakan dan terkadang tidak. Namun semoga, ketika ia berhasil menjadi imamnya nanti, ia bisa membimbingnya menjadi perempuan yang lebih baik.
"Jadi bagaimana nak Ayudia?" tanya paman Fatir.
Perempuan itu menunduk. Tersipu malu karena Fatir tak berhenti melihatnya. Sementara itu, Fatir berdeham sambil mengulum senyum. Ia juga menunggu jawaban Ayudia atas lamarannya.
"Bismillahirrahmanirrahim, dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha penyayang, saya terima lamaran dari Fatir."
THE END