"Sendirian?"
Ayudia berdeham canggung. Rasanya lama tak bertemu dan terasa aneh karena bertemu lagi dengan tak sengaja dalam perjalanan menuju Karimunjawa. Ah omong-omong, saat melihat Ayudia melamun di pinggir pagar kapal, itu mengingatkan Fatir pada kejadian beberapa tahun silam. Ia pertama kali melihat Ayudia juga disaat gadis itu berdiri memunggunginya seperti tadi. Dan rasanya? Masih sama seperti kejadian beberapa tahun silam itu.
"Liburan?"
Ayudia mengangguk. Liburan tak terencana lebih tepatnya. Dan malah bertemu dengan lelaki ini di sini. Fatir juga kaget. Ia sempat mengerjab-erjab beberapa kali demi memastikan kalau pemilik punggung ini adalah Ayudia. Semakin ia mendekatkan langkah, ia semakin yakin. Makanya ia berani menyapa tadi.
Melihat kehadiran lelaki ini di sini, sesungguhnya membuat Ayudia teringat sesuatu. Apa? Sesuatu yang pernah terjadi di antara mereka. Di mana Fatir tiba-tiba menghilang. Ah lebih tepatnya, tidak berhubungan dengannya lagi. Dalam pikiran Ayudia kala itu, lelaki ini mungkin sudah menemukan perempuan lain atau bosan padanya. Hanya itu yang bisa ia simpulkan dari Fatir yang tiba-tiba tak bisa dihubungi lalu menghilang. Menghilang dalam arti Ayudia benar-benar tak bisa menghubunginya lagi. Nomor ponselnya pun tak aktif. Tapi Ayudia sudah melupakan itu. Ia sudah memulai hidup yang baru kala itu dengan membuka hati untuk mantan kekasih walau akhirnya, tetap berakhir. Sesuatu yang dipaksakan memang tidak akan baik pada akhirnya. Ia menghela nafas panjang ketika mengingat apa yang terjadi selama dua tahun belakangan.
"Masih di Depok, Di?"
Ayudia menggeleng. Matanya menatap lurus ke lautan. Ia bahkan tak berniat bertanya apapun tentang kesibukan Fatir selama dua tahun ini. Ya untuk apa pula ia menanyakan itu? Tidak penting bukan? Sepertinya, ia dan Fatir memang tak ditakdirkan untuk bersama. Masing-masing dari mereka sudah memilih takdir yang ingin dijalani.
"Lantas ke mana?"
"Masih di bumi."
Fatir tersenyum kecil mendengarnya. Ia sebetulnya penasaran kenapa gadis ini bisa berada di sini? Di perjalanannya menuju Karimunjawa?
"Biasanya, lumba-lumba suka muncul di tengah laut," ucap lelaki itu. Sedari tadi, memang hanya ia yang bicara. Sementara Ayudia masih menatap lurus lautan. "Mungkin bukan waktunya untuk muncul," lanjutnya lagi. Ia melirik ke arah Ayudia yang tampak serius menatap lautan. "Kamu gak ingin bertanya sesuatu?"
Gadis itu mendongak. Ia masih menatap laut meski sudut matanya berupaya melirik Fatir. Lelaki itu juga terlihat serius menatap laut.
"Tentang apa yang pernah terjadi di antara kita?"
Ayudia menahan senyumnya. Ia memang ingin menanyakan itu. Tapi ia tak berniat mengungkitnya makanya ia memilih diam saja. Namun lelaki ini sepertinya sadar diri.
"Memangnya apa yang pernah terjadi di antara kita?"
Gadis itu melempar pertanyaan yang membuat Fatir berdeham lantas menggaruk kepalanya. Bukan respon seperti itu yang diharapkan Fatir. Tapi Ayudia malah memberikan respon yang tak terduga dan membuat pikiran Fatir berputar-putar demi mencari jawabannya.
"Semua manusia punya alasan ketika mereka melakukan sesuatu, Fatir. Tapi tak semua hal harus ada kejelasan. Biar kan menjadi rahasia jika memang tak ingin diketahui."
"Ketika semua hal sudah diketahui maka namanya bukan lagi rahasia, Dia."
Ayudia berdeham. "Bagiku apa yang terjadi di masa lalu sudah tak penting."
Fatir mengangguk-angguk. Ia kira kalau semua orang akan berpendapat sama. Maksudnya, ada sebab-akibat dalam suatu kejadian dan ia kira jika semua itu harus ada kejelasan. Tapi ternyata, ada tipe perempuan yang tak perduli tentang hal itu. "Namun setidak pentingnya urusan di masa lalu, terkadang hal itu dijadikan panduan yang penting untuk menjalani masa depan."
Ayudia tersenyum kecil. "Tentu."
"Lantas apa yang sudah kamu dapatkan dari masa lalu?"
"Ingin tahu jawabannya?"
"Tidak mungkin aku bertanya hanya untuk sekedar basa-basi, Dia."
Gadis itu malah terkekeh. Ia merasa jika omongan Fatir itu begitu lucu. Menurutnya, ia seharusnya yang menanyakan hal itu pada Fatir.
"Jawabannya sudah tidak penting, Fatir."
"Kenapa begitu?"
Ayudia menarik nafas dalam. "Setiap orang punya alasan untuk melakukan sesuatu di dalam hidupnya. Entah itu ada urusannya atau tidak dengan orang-orang di sekitarnya. Yang jelas, itu adalah pilihan."
"Ya," sahut Fatir. "Kebanyakan alasan berasal dari hubungan kausalitas alias sebab-akibat."
Ayudia menoleh. Tentu merasa bingung dengan kalimat itu. Apa maksudnya?
"Beberapa tahun lalu, aku berencana untuk datang ke sebuah acara sidang skripsi seorang perempuan yang aku sukai," akunya yang membuat Ayudia agak kaget. Ia masih mengira-ngira siapa perempuan yang dimaksud oleh Fatir. Sementara cowok itu tersenyum tipis sembari menatap lurus ke depan. Kejadian yang pahit namun sudah berlalu. Hatinya tak terasa begitu sakit ketika mengenang semua itu. Toh semua sudah terjadi. Kini waktu telah berputar dan ia sudah hidup dengan aliran hidup yang tak lagi sama. "Namun sayangnya, sepertinya aku terlambat."
Ayudia terdiam. Pikirannya berputar-putar, asih mencari potongan-potongan puzzle yang hilang dikepalanya.
"Kamu tahu kenapa?" tanyanya dengan senyuman. Kali ini ia menatap Ayudia dengan gamblang. Perempuan yang ditatapnya malah tampak kebingungan. "Karena perempuan itu sepertinya memilih lelaki lain."
Ayudia benar-benar membeku seolah tak bereaksi atas apapun yang dikatakan oleh Fatir barusan.
"Tapi takdir kini seolah mengembalikan apa yang pernah terjadi di masa lalu di mana aku akhirnya kembali dipertemukan dengan perempuan itu. Dan perempuan itu ada tepat di depan mataku."
@@@
Ifah menyenggol lengannya berkali-kali ketika menjemputnya yang baru turun dari kapal. Gadis itu tentu saja kaget dengan kehadiran lelaki yang pernah ia kenal beberapa tahun silam. Kenapa bisa bersama Ayudia?
"Kok bisa?"
Ayudia menghela nafas. Pikirannya masih belum hilang dari kata-kata yang dilontarkan Fatir tadi. Sungguh tak terduga. Sekalinya bertemu lagi, ia malah seperti baru saja mendapatkan tamparan keras.
"Diii!"
Ifah menyadarkannya karena otaknya masih berwisata tentang hal itu. Ia mengendikan bahu. Ia juga tak tahu kenapa bisa bertemu di sini lagi.
"Di!"
Kali ini bukan Ifah yang memanggil. Tentu saja. Karena cewek itu pun ikut membalikan badan.
"Oh?"
Lelaki itu baru tersadar kalau Ayudia tak sendiri. Dan ia sepertinya mengenali wajah Ifah tapi lupa namanya.
"Ifah, Fatir," ucap Ifah yang membuat Fatir mengangguk tanpa ekspresi. Sementara itu, tak jauh dari di mana Fatir berdiri, rombongannya tampak gaduh. Para bule itu keluar dari kapal dengan ransel-ransel yang sangat besar. Ayudia baru sadar kalau Fatir juga tak sendirian saat salah satu dari bule itu menepuk bahu Fatir.
"Just a minute," tuturnya sebelum bule itu berbicara. Kemudian ia melangkah mendekati Ayudia. Kening Ayudia mengerut melihatnya mendekat.
"Kalian akan menginap di mana?"
"Kenapa?"
Bukan Ayudia yang bertanya melainkan Ifah. Tatapan Fatir pun beralih pada Ifah. Wajahnya terlihat sangat serius.
"Boleh tahu?" tanyanya sopan.
Ifah malah melirik ke arah Ayudia yang juga meliriknya. Bingung mengambil keputusan. Sementara Fatir masih menatap dengan tatapan yang amat serius. Kemudian Ifah menyenggol bahu Ayudia.
"Kenapa?"
Akhirnya gadis itu ikut menanyakan hal yang sama.
"Gak boleh?" tanyanya dengan tatapan polos. Ifah hampir menyemburkan tawa. Ia lebih kenal dengan arti tatapan ini karena mengingatkannya pada Fatir yang ia temui beberapa tahun silam.
"Maksudku--", Ayudia kehilangan kata-katanya. Ia tak paham dengan lelaki di depannya ini. Oke, tadi lelaki itu seakan jujur dengan perasaannya tapi kalimat-kalimat itu hanya berhenti di sana karena setelah itu, Fatir pergi. Ayudia mengira kalau lelaki itu pergi darinya. Sebab setelah itu pun, Fatir memang tak kunjung kembali dan tahu-tahu kembali bertemu saat akan turun dari kapal.
"Kalau begitu, nomormu?" tawarnya. Kali ini ia mengeluarkan ponselnya dan memberikannya pada Ayudia. Kedua gadis itu kembali saling melirik. Ifah lagi-lagi menahan tawa. Sementara Ayudia masih kebingungan dan agak-agak kesal sedikit jika ingat perlakuannya tadi. Wajar kan? Wong setelah mengatakan itu, ia malah pergi begitu saja.
Tangan Ayudia agak meragu untuk mengambil ponsel itu. Walau tak urung, ia ambil juga. Namun saat hendak menekan layarnya, jemarinya kembali terhenti.
"Kenapa meminta nomorku?"
"Tidak boleh?"
Heeiish. Ayudia berdesis dalam hati. Kenapa pertanyaannya harus seperti itu? Ia bingung menjawabnya. Namun setelah itu, ia mengganti pertanyaannya.
"Kenapa harus ku berikan?"
Fatir berdeham. Cowok itu mendadak salah tingkah karena ditatap dengan sangat serius oleh Ayudia. Ifah mengalihkan pandangannya. Ia benar-benar ingin terbahak.
Andai Fatir sadar, suara saat Ayudia melontarkan pertanyaan itu terdengar seperti sedang jengkel.
"Mengulang alur hidup yang baru?"
Kata-kata itu terdengar seperti pertanyaan namun Ayudia semakin tak mengerti apa yang ada di kepala Fatir.
"Maksudmu apa?"
"Aku masih menyukaimu, Di. Apa kamu masih tak paham?"
Ayudia ternganga.
@@@
Alih-alih jalan kaki, kedua gadis itu akhirnya ikut masuk ke dalam mobil yang disewa Fatir dan rombongannya. Tentu saja keduanya diantar menuju rumah di mana Ifah menginap dengan beberapa teman. Di sepanjang perjalanan, Ifah terus mengatupkan mulutnya. Sesekali tersenyum melihat Fatir dan Ayudia. Hal yang membuatnya agak-agak kesal adalah kenapa Fatir harus menembak Ayudia di depan matanya? Hahahaa!
Ia tidak iri tentu saja. Hanya saja, kehadirannya benar-benar tak dianggap tadi. Lantas apa jawaban dari Ayudia?
"Nanti ketemu lagi," tutur lelaki itu ketika masuk lagi ke mobil usai mengantarkan Ayudia dan Ifah. Ayudia tersenyum dan membiarkan mobil itu pergi jauh dari mereka. Kemudian Ifah tertawa.
"Jadian? Enggak?"
Yang ditanya malah mengendikan bahu. Tak paham. Yang mengerti mungkin hanya Fatir dan Tuhan. Hahaha.
Sebetulnya Ayudia pun masih tak paham apa yang terjadi. Setelah mendengar Fatir mengatakan itu, ia hanya memberikan nomor ponselnya. Setelah itu? Tidak ada. Cowok itu sudah sibuk mengurusi rombongan bule itu. Ia bertanya-tanya sebetulnya apa pekerjaan Fatir saat ini. Karena apa? Lelaki itu terlihat seperti tour guide pada bule tadi.
Usai rehat sejenak, Ayudia memutuskan untuk mengajak Ifah ke alun-alun. Ia perlu membeli beberapa kaos. Berhubung rencana liburan ini sungguh sangat mendadak, jadi ia benar-benar tak punya persiapan apapun. Usai membeli keperluan itu, keduanya makan di pinggir jalan.
"Lo mau berenang sore? Atau nyebrang pulau? Nanti kita tanya-tanya kapal kosong."
"Lo pengen menyelam?"
"Tiga hari ini gue nyelam terus, Di. Tapi kalo lo mau, gue gak ada masalah."
Ayudia menghela nafas. Sebetulnya ia datang ke sini hanya untuk menikmati pantai.
"Lupakan soal itu kalau begitu," tuturnya yang membuat Ifah tertawa.
Usai makan, keduanya kembali ke penginapan. Ifah berinisiatif untuk meminjam motor sang pemilik rumah. Gadis itu mendatanginya kemudian bernegosiasi untuk sewa motor. Tak lama, ia kembali dengan motor sementara Ayudia mengunci rumah. Teman-teman Ifah tentunya masih berada di lautan. Mereka snorkeling lagi sementara Ifah memilih untuk menemani Ayudia.
"Kita mau ke mana?" tanya Ayudia. Ia hendak naik ke atas motor tapi kemudian ia menyadari sesuatu. "Lo udah bisa bawa motor?" serunya dengan mata melebar. Ia sungguh tak terima kalau Ifah bisa mengendarai motor. Hahaha. Kenapa? Karena ia dan Ifah adalah satu paket yang tidak mengendarai motor ketika kuliah. Ayudia memang pernah trauma terkait motor.
"Bawa sih kagak bisa. Tapi gue bisa makeknya, Diii! Dan lagi, mana mungkin gue bawa motor haaah? Lo kira gue iron man? Wonder woman? Heish!"
Sahabatnya itu terkikik-kikik. Ia naik ke atas jok motor. Ia mencoba mempercayakan hidupnya pada Ifah.
"Dua tahun ternyata ada juga perubahan lo."
"Yeee. Waktu terakhir kita ketemu, beberapa bulan lalu itu, gue perginya makek motor kali."
"Lo gak bilang!"
"Ya ngapain juga gue bilang hal-hal kayak gitu!"
Ayudia terkekeh. Gadis ini masih sama dengan dulu. Masih tak suka hal yang ribet. Ia memang cewek tersantai dibandingkan dua sahabatnya yang lain.
"Omong-omong lo gak ngasih tahu Dilla sama Azka kalau kita ke sini?"
"Nanti kita pamerin aja fotonya."
Ayudia terkekeh. Dua gadis itu pasti akan berseru ddi grup karena liburan dadakan ini.
"Dan lagi, dua orang itu sibuk. Azka sibuk nyari duit. Dilla apalagi."
"Tapi mereka merencanakan liburan dalam waktu dekat."
Haaah. Ifah menghela nafas. "Rencana tinggal rencana. Lo tahu pas lo ke Jepang?"
Ayudia berdeham. Ketika nama Jepang disebut, ada kenangan buruk yang terlintas dikepalanya dan itu membuat Ifah tersadar akan sesuatu. Ia baru sadar jika ada yang terasa ganjil.
"Eh! Gue baru inget astajim!"
"Astaga, Fah!"
"Astagfirullah, Di!"
Sahabatnya itu terkikik-kikik. Kemudian Ifah melanjutkan ucapannya.
"Lo kan masih jalan sama Haykal!"
Ia hampir menepuk kepalanya kalau tak ingat, ada helm yang ia kenakan. Sekalipun jarang polisi yang berpatroli di sini, ia tetap meraung meminjam helm pada pemilik motor tadi. Alasannya untuk keselamatan.
Ayudia terkekeh. Matanya menatap laut dari jauh. Sungguh biru dan sungguh terik. Tapi cahaya matahari seolah terpantul pada air laut itu.
"Udah putus keleus!"
"Lah? Kapan? Tadi?"
Ayudia langsung menoyor kepalanya. Ifah terkikik-kikik. "Ya kan siapa tahu lo mutusin Haykal karena ketemu Fatir!"
"Kagak lah!"
"Terus?"
"Ya udah."
"Iiish! Jelasin apa gitu, Di!"
"Gak penting, Ifaaah!" serunya kemudian menghela nafas. "Lagian udah berlalu."
"Berapa lama?"
Ayudia terdiam sebentar. Tak lama, ia berdeham. "Waktu gue di Jepang."
Mendengar itu membuat Ifah ternganga.
@@@