Crush On You At Petronas : Part 7

2004 Words
Pengalaman terburuk. Kalau kejadiannya di diskotik sih bukan hal asing lagi. Lah ini? Kejadiannya di kantor! Astaga! Aswin tak habis pikir. Mana ia tak bisa berkonsentrasi lagi dengan meeting tadi. Bosnya juga sama. Baru kali ini Aswin mendapat pengalaman tak terlupakan dari sekian banyak kantor klien yang mereka temui. Mereka memang hendak bekerja sama. Tapi kejadian tadi sungguh membuat Farrel berpikir ulang. Ia juga dapat merasakan perasaan canggung sang direktur saat berbicara dengan mereka tadi. Meski mencoba untuk bersikap profesional. Saat Aswin kembali ke toilet lain sebelum pulang tadi, ia sempat mendengar banyak karyawan bercerita kejadian tadi. Ada yang bilang kalau keduanya memang sudah lama berselingkuh. Ya berselingkuh dan bukan berpacaran atau sejenisnya. Umumnya yang namanya perselingkuhan memang ada yang lebih terang-terangan seperti itu. Wajar lah. Ini lebih mengerikan. "Win, saya balik sendiri saja," tutur Farrel. Lelaki itu hendak memesan taksi dan membiarkan Aswin membawa mobil kantor. Aswin menghela nafas. Ia mengiyakan saja. Mau bekerja lagi pun sudah tak berminat. Tadinya, ia juga punya niat untuk berkeliling di menara kembar itu. Tapi kejadian itu membuat Aswin tidak berniat lagi. Meski kini ia juga belum turun. Masih duduk dan mencoba sadar dari keterkejutan. Ia menarik nafas dalam. Benar-benar hampir gila dengan kejadian berjam-jam lalu dan sulit sekali menghapusnya. "Heh!" Aswin menoleh. Tahu-tahu ada Agni. Lah? Kenapa bisa ada di sini? "Lo ngapain?" Agni berdecak. Ia tidak menurunkan kacamatanya. Lihat lah gayanya hari ini. Berhubung pekerjaannya hanya bengong ditambah bosnya sudah kembali, ia bolos saja. Ia sudah bilang apa Fasha kalau akan muncul nanti siang. Katanya mau menenangkan diri di sini. "Gue kan belum pernah naik ke sini." "Ya. Tapi gimana caranya?" Agni terkekeh. Ia menunjuk kepalanya. Maksudnya, ia menggunakan kecerdasannya untuk bisa berada di sini. Aswin menggelengkan kepala. Entah kebohongan apa yang ia lakukan untuk sampai ke sini. Tapi sesungguhnya ia tidak berbohong banyak. Hanya menggunakan akses yang ditinggalkan Fasha. Hahaha. Bosnya kan sering ke sini. Entah siapa yang ditemui hingga Agni tak pernah diizinkan untuk ikut. "Rasanya sama aja kayak naik gedung tinggi lainnya," gumamnya setelah sekian lama menyelami berdiri menghadap ke bawah sana. Perbedaannya, ini terasa asing namun anehnya dekat dengan hati. Mungkin karena sebagian besar di ini juga berwajah sama dengannya. Dari segi wajah, warna kulit, agama dan lainnya. "Tapi Petronas Twin Tower ini pernah menduduki peringkat menara tertinggi di dunia. Peringkat tersebut diraih setelah berhasil menggusur Wilis Tower atau Sears Tower di Chicago, Illinois setinggi 442 meter. Enam tahun lamanya sejak tahun 1998 hingga 2004, Petronas Tower kokoh di peringkat teratas. Namun, pada tahun 2004, kedudukan landmark Malaysia ini digeser oleh Taipei 101 yang dibangun setinggi 508 meter." "Baca di internet?" ejek Agni. Ia melirik Aswin yang berdiri di sebelahnya. Aswin justru tampak serius. "Ini negara asing pertama bagus gue saat kerja sama bos," tuturnya. Jadi negara ini sangar berkesan di hatinya. Agni berdeham mendengar itu. Ia juga sama. Bahkan dulu norak sekali saat pertama kali menaikki pesawat kelas bisnis yang sangat besar. Ia hanya pernah sekali naik pesawat sebelum akhirnya masuk pesawat kelas bisnis itu. Pengalamannya pertama kali naik pesawat ya...dari Jakarta ke Makassar. Rasanya mual sekali! Mana bangkunya hanya 3-3 kan. Tidak seperti kelas bisnis yang ia tumpangi pertama kali ke Malaysia. Ia dibuat takjub kala itu. Terkaget-kaget saat memasuki pesawat yang sungguh besar. Lalu terkagum-kagum pula ketika pertama kali tiba di negara ini. Perasaan itu selalu berulang ketika ia datang ke sini. Ada perasaan harus dan rindu. Ternyata begitu rasanya ke luar negeri meski Malaysia tampak dekat sekali. Sama halnya dengan Aswin, cowok itu juga selalu merasakan perasaan haru ketika tiba di negara ini. Hingga puluhan kali pun kembali ke sini, rasanya masih sama. Hingga ia hapal semua sejarahnya. Kecintaan yang tak terbilang dengan kata. Karena ia mencintai dengan tulus dari hati. "Mau naik ke tower sebelah?" tawarnya dan tanpa sadar memegang tangan Agni yang kini juga menatapnya. Saat menyadari tangan itu, keduanya sama-sama berdeham canggung. Ohooo! @@@ "Seberapa sering lo ke sini?" tanya Agni. Aswin bahkan hapal jalan menuju skybridge yang menghubungkan dua tower kembar Petronas. Ah ini sangat gampang. Keduanya masih berjalan menuju skybridge itu. Omong-omong ada banyak sekali lift di sini. Mungkin karena jumlah lantainya sangat banyak. Yang sempat Agni dengar saat berada di bawah tadi, ada sekitar 88 lantai. Lantai empat puluhan ke atas khusus perkantoran. Itu lah yang didatangi Aswin tadi. "Setiap kali punya waktu," jawab Aswin. Ia biarkan Agni melangkah lebih dulu. Gadis itu berjalan melintasi skybridge dan ia berada di tengah-tengah. Kemudian menatap ke bawah di mana pemandangan Kota Kuala Lumpur sangat cerah saat ini. Ia tersenyum tipis. Selama ini, ia tak mengira kalau bisa masuk ke sini. Hahaha. Makanya tak pernah mampir. Tapi saat mendengar Aswin sering ke sini, sepertinya akan menyenangkan. Karena berada di dalamnya tentu berbeda dengan ketika melihatnya dari bawah atau dari jauh. Iya kan? "Gue gak mengerti ada daya tarik apa di sini hingga membuat gue betah dan selalu ingin kembali." Aswin tersenyum kecil. Ia juga merasakan hal yang sama. "Kalau dikasih kesempatan bekerja di sini, lo akan mengiyakan?" "Mungkin." "Kenapa mungkin?" "Kalau itu terjadi, gue sedih juga karena bos gak butuh gue lagi." Agni terbahak mendengar kata-kata itu. Meski lebih dulu Agni yang bekerja di sini dan lebih lama mengenal keluarga bosnya. Tapi mungkin perasaan yang dimiliki Agni pada Fasha juga sama dengan perasaan yang dimiliki Aswin pada Farrel. Mereka sudah lama bekerja sama. Indah rasanya karena pekerjaan mereka dihargai dan diri mereka juga diperlakukan selayaknya manusia. Tidak dianggap bawahan tapi seperti rekanan. Bukan kah itu lebih manusiawi? "Lo sedih waktu bos lo nikah?" "Sedikit," jujurnya yang kembali membuat Agni tertawa. Kalau Agni tidak sedih meski ia menangis. Menangis harus saat mendengar bosnya menikah kala itu. Mana hanya pesat sederhana pula dan tidak mengundang banyak orang tapi ia diundang. Bagaimana ia tak merasa terharu? Itu karena Fasha sudah menganggapnya sebagai keluarga sendiri. Kalau Agni pulanh kampung pun, Fasha tak pernah lupa membelikannya banyak oleh-oleh untuk dibawa ke rumah. Hal yang selalu membuat ibunya senang karena ia mendapatkan atasan yang sangat baik. "Kalau dibilang terlalu nyaman di zona seperti ini, gue akui iya." Aswin menghela nafas. "Tapi memang patut dipertahankan. Lihat lah. Di kantor kita, jarang ada yang keluar karena tidak betah. Paling pindah karena ada yang harus ikut suami dan lainnya yang sangat penting. Namun tidak ada urusan dengan perusahaan. Anggap saja, kita sangat beruntung karena berada di sini." Agni mengangguk-angguk. Sangat setuju. "Ketika merasa lelah, gue merasa kayak gak bersyukur. Karena banyak orang di luar sana yang pengen pekerjaan ini. Meski merasa lelah itu manusiawi." "Asal tidak terlena dan menjadikannya alasan untuk bermalas-malasan." Agni berdeham. Matanya masih takjub melihat ke Kuala Lumpur dengan semarak. Sementara Aswin tercekat karena tenggorokannya yang kering. Ia jadi ingat kisah pahit saat kali kedua berada di sini dan mendapati kekasihnya berselingkuh di sini. Mengerikan memang. @@@ Putus adalah cinta yang sedang mencari jalannya sendiri. Kata-kata itu membuat Agni terbahak. Ia membacanya dengan jelas dari layar ponsel Aswin. Cowok itu menyadari kata melow-nya terbaca Agni dan langsung menyimpan ponselnya. Namun yang namanya terlambat ya tetap terlambat. "Gak salah? Ini Aswin?" ejeknya. Keduanya masih berbincang di Petronas. Belum beranjak sama sekali. Tapi sudah ada rencana untuk turun menilik ini hampir tengah hari dan Agni sudah berjanji untuk melanjutkan pekerjaan. "Jangan menyebar rahasia orang lain." "Itu bukan rahasia, dude. Astaga!" Agni geleng-geleng kepala. Keduanya berjalan melintasi skybridge. Aswin mengajaknya turun dengan lift. "Cuma gue baru tahu kalau putus memiliki definisi semacam itu." Aswin mendengus. Malas mendengar kata-kata Agni yang menurutnya bagai ejekan. Tapi sebenarnya, Agni tidak mengejeknya. "Gue pernah mendengar kata-kata untuk tidak mencoba mengingat mantan. Karena ketika kita mencoba untuk mengingatnya, kita telah tak sengaja memanggilnya diam-diam dengan hati untuk muncul lagi ke realita yang tak pernah ada hadirnya lagi." Aswin hampir tertawa mendengar kata-kata yang dibuat sepuitis mungkin itu. "Lo gak pantes romantis." Agni mendengus mendengar ejekan itu. "Ada masalah?" kesalnya. Yeah, setelah sekian lama tampak akur, akan selalu ada saatnya di mana keduanya sudah pasti bertengkar. Kalau akur selamanya itu justru terasa aneh. "Bukan. Hanya seperti bukan elo." Agni mendengus lagi. Ia memundurkan langkahnya karena banyak orang yang mau masuk ke dalam lift. "Bertutur kata seperti apapun itu adalah hak masing-masing manusia," ingatnya begitu melewati Aswin begitu saja. Agni masih kesal. Kini gadis itu berjalan lebih dulu dibandingkan Aswin. Aswin terkekeh kecil. Ia menyusul langkah Agni dari belakang. "Lo bisa gak sih, gak emosi sekali aja? Kalau udah akur sama gue begini, abis itu pasti berantem lagi. Yang lamaan gitu kek akurnya." Agni berdesis. Matanya memincing. "Jangan ikutin langkah gue!" kesalnya. Aswin menghela nafas. Ia hanya diam dan membiarkan Agni pergi sendirian. "Gue benar-benar gak ngerti cewek," keluhnya. Dari sekian banyak perempuan yang pernah Aswin kenal, Agni adalah satu-satunya cewek yang tak bisa ia tebak suasana hatinya. Gadis itu bisa ceria dalam satu waktu. Tapi tiba-tiba mendung atau marah-marah seperti tadi. Yang mengesalkan adalah jika sedang liburan dan ada teman seperti itu, pasti rasa liburannya akan berubah. Akan kacau. Tidak seru lagi. Begitu lah perasaan Aswin ketika akhirnya ditinggal Agni yang pergi entah ke mana. @@@ "Hujan?" tanyanya entah pada siapa. Pulang dari Petronas Twin Tower, Aswin memutuskan makan di sebuah restoran halal yang menjual makanan enak. Apa? Nasi ayam Hainan. Rasanya memang enak. Apalagi kalau langsung ke restorannya. Tadi Aswin hanya berjalan kaki saja. Ia sudah biasa mengelilingi beberapa tempat wisata di Kuala Lumpur dengan berjalan kaki atau menggunakan bus Go-KL. Bus gratis. Hihihi. Bukan dalam rangka menghemat tapi biar seru saja. Ini lah asyiknya berjalan-jalan ke negara asing. Menikmati transportasi daratnya sama seperti warga lokal di sini laku mencari makanan enak yang ada di sini. Sore begini, ia baru bangun. Sudah hampir jam lima sore, ia harus Ashar. Tapi ingat, Ashar di sini memang jam segini. Bahkan tadi azannya juga terdengar beberapa belas menit lalu. Setelah itu, Aswin mandi dan ia berakhir berdiri menatap jendela yang basah. Hujan. Kebetulan kamarnya tanpa balkon. Jadi hanya bisa melihat seperti ini. Saat hendak kembali masuk ke ruang ganti, ia baru teringat Agni. Ah iya. Ia tak tahu ke mana Agni pergi. Perempuan itu berjalan ke arah mana pun, Aswin tak tahu. Ya terserah lah. Itu urusan Agni meski timbul rasa khawatir juga. Eiiits! Ia bukan suka beneraaan! Tapi gak yakin! Hahaha. Apalagi saat kepalanya memutar kejadian di skybridge tadi. Astaga-astaga! Aswin panik. Ia menepuk-nepuk kuat kepalanya agar menghentikan memori tentang Agni karena takut membahayakan dirinya sendiri. Namun ia tak bisa mencegahnya. Apalagi saat kejadian di malam itu juga berputar. Di mana Agni tertawa keras melihatnya tercebur ke dalam air mancur di depan mall itu. Astaga! "Astaga-astaga!" keluhnya seraya membuka pintu kamarnya lalu membeku. Kenapa? Karena berpapasan dengan Agni yang juga hendak keluar dari kamar. Gadis itu mendengus. "Apa lo lihat-lihat?!" tuturnya lantas membanting pintu sedikit saat menutupnya. Kemudian gadis itu berjalan serampangan menuju lift. Aswin menghela nafas panjang. Kenapa mereka harus selalu bertengkar? Tiap akur sebentar, detik berikutnya bisa saking mengejek tiada henti. Meski Aswin sudah tidak memancing kemarahan Agni, kenyataannya kiningadis itu yang sering ketus padanya. Apa salahnya? Hahaha. "Gue pernah mendengar ceramah dari bos kalau dua orang yang beragama Islam, sering bertengkar dan seolah itu sedang memutus tali persaudaraan maka....," ucapannya terhenti karena Agni menatapnya dengan nyalang. Lalu gadis itu mengalihkan tatapannya. Enggan menatap Aswin. Aswin menggelengkan kepala. "Setiap manusia itu selalu dicatat amal baik dan buruknya, Ag. Lo bikin malaikat capek nyatat amal buruk lo karena bikin petasan bertengkar sama gue." Agni semakin memalingkan tatapannya. Entah lah. Ia sebetulnya tak marah. Kadang hanya jengkel saja pada Aswin. Ia tak tahu kenapa merasakan hal itu. Wajah Aswin yang membuatnya ingin melakukan itu. Meski Aswin tak bersalah. Hahaha. Aswin melihat Agni keluar dari hotel, menerobos hujan rintik-rintik. Entah pergi ke mana lagi. Terserah lah, pikirnya. Ia perlu memikirkan perutnya sendiri yang sudah lapar lagi. Padahal tadi siang ia makan banyak. Sendirian pula kan. Setelah itu pulang ke hotel dan tidur. Begitu bangun, ia lapar lagi. Entah apa yang ia lakukan saat tidur lagi karena cepat sekali merasa lapar. @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD