Sejujurnya Agni juga tidak paham kenapa mereka seringkali bertengkar. Namun baru akhir-akhir ini ia merasa agak bersalah karena seperti menyulut api ketika bertemu lelaki itu. Pada Ridho dan yang lain tidak akan seperti itu. Ini terasa makin aneh lagi. Lalu pagi ini, ia kembali tak sengaja bersitatap dengan Aswin yang juga baru keluar dari kamar hotel. Lelaki itu tidak menggubrisnya. Entah mungkin masih kesal padanya karena kejadian terakhir atau apapun itu ya terserah Aswin sebetulnya. Namun kali ini, entah kenapa Agni merasa terganggu dengan sikapnya.
Agni menarik nafas dalam. Ia sengaja menjaga langkah dan jarak karena tak mau bersama dengan Aswin di dalam lift. Ia rela tertinggal lift asal tak bersama Aswin. Dan lelaki itu benar-benar tak muncul dibalik lift. Agni sarapan pagi sendirian hari ini. Yeah, seperti biasa. Tapi bosnya sudah kembali. Sepertinya datang bersama Aziel dan juga ibu kandungnya. Karena saat Fasha meneleponnya pagi-pagi buta tadi, ia mendengar suara rengekan Aziel dan suara ibu kandung bosnya yang sedang mengurus bocah cilik itu. Biasanya memang sering begitu kalau ikut Fasha ke luar negeri.
"Lo lihat Aswin, Ag?" tanya Ridho. Cowok itu baru keluar lift.
Agni menghela nafas. "Kenapa gue harus jawab?"
"Helaaaah!" gerutunya. Ridho kembali datang dan baru sampai semalam dengan penerbangan dadakan. Ia mewakili bosnya untuk ikut meeting hari ini sementara bosnya sudah berangkat pagi-pagi sekali tadi ke Singapore. Tentu saja tidak sendiri. Masih bersama istrinya yang menemani. "Gue lagi buru-buru nih. Lo lihat gak?"
"Tadi gue lihat dia keluar dan masuk lift. Terus gak tahu ke mana," jawabnya. "Emangnya gak bisa dihubungi?"
"Kalo bisa, gue gak bakal nanya, Ag," tukasnya lantas bergerak menjauh. Agni mendengus.
"Biasanya juga tetep nanya," dumelnya. Ia mengeluh sendirian seraya menghabiskan sarapannya. Kalau ditanya enak tinggal di sini atau di Jakarta, ia akan memilih tinggal di sini. Tapi fasilitas hotel perusahaan tidak akan bisa terus dinikmati seperti ini. Apalagi dengan sarapan gratis tiap pagi. Ia harus realistis sedikit.
Tak lama, ia beranjak dan tepat bertemu Fasha. Perempuan itu sudah rapi dan mengajaknya naik ke mobil yang sama. Mereka berangkat lagi ke kantor.
"Dengar-dengar kamu jadian sama Aswin, Ag?"
Agni terbatuk-batuk mendengar itu. Astaga! Kabar durjana dari mana itu? Siapa pula yang membuat gosip semacam itu? Matanya hampir lepas saking kagetnya. Astaga! Kalau pun ada gosip semacam itu, kenapa harus Aswin dari sekian banyak lelaki? Duh!
"Kata siapa, bos?" ceplosnya. Fasha terkekeh tapi tak menyadari panggilan Agni terhadapnya. Sementara Agni terlalu syok mendengar kabar itu.
"Satu perusahaan sudah tahu."
Astaga! Astaga! Ia memijit kening.
"Ridho bilang kalau kalian berjalan-jalan berdua....."
Dan Agni sudah tak mendengar apapun yang dikatakan Fasha. Ia menekuk jari-jarinya hingga berbunyi. Nama Ridho terbang-terbang di kepalanya. Ya, ya, benar, tukasnya dalam hati. Ia mengangguk-angguk. Yang berani berbicara dan menyebar gosip semacam itu memang cuma orang tidak berotak seperti Ridho, pikirnya. Dan lagi apa katanya? Jadian? Jadiaaaaaaan? Astagaaaaa! Ia tak habis pikir. Kalau pun harus berpacaran, ia tidak akan mau memilih orang semacam Aswin. Ada banyak lelaki di dunia ini kenapa harus Aswin? Membuat kepalanya semakin pusing saja.
@@@
"A'aaaak! Aaaaak Aswiiin!"
Terdengar panggilan itu. Aswin baru saja keluar dari kantor dan ia hendak berjalan-jalan ke luar namun malah....
"Ngapain kamu di sini?"
"Aaa'aaaak!" serunya lantas berlari menuju Aswin yang terperangah. Kaget dengan kejadian yang berlangsung sangat cepat dan berakhir dengan dipeluk perempuan yang membuatnya hampir mati. Kenapa bisa ada di sini? Itu pertanyaan lanjutan yang muncul di kepalanya dan ia baru menyadari hal itu.
"O-ooow!" seru Ridho. Cowok itu baru keluar dari pintu dan mendadak memundurkan langkah hingga tak sengaja menabrak Agni yang berjalan di belakangnya. Gadis itu mengaduh-aduh karena kakinya diinjak Ridho dan tak lama, terdengar teriakan milik Ridho ketika kaki Agni sukses terangkat dan langsung menghajar di sesuatu di antara kedua kaki Ridho. Tontonan itu menimbulkan tawa pada yang lain tapi tidak dengan Ridho yang melompat-lompat menahan kesakitan.
"Makanya kalau jalan itu maju ke depan bukannya ke belakang!" omel Agni.
"Gak ada istilah maju ke belakang dodol!"
"Whatever!" ketusnya lantas berjalan melintasi Ridho tapi malah membeku ketika menatap Aswin. Cowok itu tersadar dan segera mendorong perempuan yang baru saja memeluknya dengan senang. Agni mendengus. Ia tidak cemburu helooo! Tapi permasalahannya bukan itu. Ia perlu mencari makan siang ini dan bisa kalau terus makan nasi lemak di kantin. Jadi lebih baik mencari makan di tempat lain namun menjadi masalah baru.
Tak lama, gadis itu menghilang di balik taksi. Ridho yang merasa sedikit berkurang dari kesakitan pun menoleh pada Aswin yang masih terperangah dengan kepergian Agni.
"Lo gila ya?" ketus Ridho. Ia menatap Aswin dan perempuan itu bergantian. "Susul lah!" tukasnya.
Aswin menoyor kepalanya. Siapa yang harus disusul? Agni? Untuk apa pula astaga! Nanti rumor yang sudah tersebar itu makin tersebar luas karena hal ini. Dan lagi, apa urusannya dengan Agni? Heeiish! Namun kembali pada realita yang terjadi sekarang. Untuk apa gadis ini datang ke sini?
"Lo lebih milih cewek ini?"
Ridho berdrama. Ia mengirim kedipan mata agar Aswin mau ikut berakting sepertinya. Ia kan hanya mau menolong Aswin dari kejadian terakhir di mana ia hampir mati dihajar anak buah mafia yang memacari gadis ini. Yaa entah memacari atau menikahi, ia juga tak paham. Yang jelas, menurutnya keselamatan Aswin tidak aman jika berada dekat dengan gadis ini.
"A'ak ada cewek lain?"
Pertanyaan itu keluar dari mulutnya. Ridho langsung berlagak kalau ia lah perempuan itu eeeh gak deeng! Ia kan cowok!
"Gak usah dengerin," tutur Aswin. Ia mendorong Ridho untuk segera masuk ke dalam taksi. Cowok itu berteriak ketika taksi sudah pergi meninggalkan area kantor. Entah ke mana, ia tak perduli lah. Ada urusan lain yang harus ia selesaikan. "Ada apa ke sini?"
Gadis itu berdeham. Ia baru ingat akan tujuannya ke sini. Sudah hampir seminggu ia mencari keberadaan Aswin. Namun satu kantor Aswin sama sekali tak bisa memberitahu ke mana Aswin berdinas. Lalu ia mencari tahu ke rumah Aswin dan tahu kalau Aswin berada di Kuala Lumpur meski sambil menahan hati karena harus mendengar hinaan dari adik-adik Aswin. Ia tahu kalau ia salah dan kini hanya berusaha menebusnya.
"Aku ingin membicarakan masalah itu dengan A'ak," tuturnya. Aswin mengangguk. Ia setidaknya masih punya hati dan rasa kemanusiaan.
@@@
"Lo harusnya tadi menghalangi!" omel Ridho. Tahu-tahu cowok itu berhasil menemukan keberadaannya. Agni mendengus. Itu bukan urusannya sama sekali dan ia tak mau perduli.
"Bukan urusan gue!"
Ridho berdesis. Tapi bukan itu yang mau ia dengar.
"Aswin itu bodoh! Satu keluarganya bahkan mati-matian menjauhkannya dari perempuan itu tap--"
"Siapa cewek itu?"
"Cewek yang sama yang waktu itu. Itu loh," ia menghela nafas. Gara-gara emosi, pembicaraannya agak ngawur. "Alasan kenapa kita bawa Aswin ke apartemen lo waktu itu."
Aaah. Ahaaaa. Agni mengangguk-angguk seraya memasukkan beberapa makanan ke dalam mulutnya.
"Terus?"
Ridho mendengus. "Kenapa dia harus berbaik hati sama orang yang bahkan hampir bikin Aswin mati? Saat itu, dia sendiri yang menyuruh pengawal-pengawalnya untuk menghajar Aswin. Terus sekarang tiba-tiba datang dan memeluk Aswin begitu? Lalu melupakan apa yang pernah terjadi?" omelnya. Ia tampak emosi tapi tak berbuat apa.
"Itu hak Aswin."
"Ya gue tahu itu haknya. Tapi gak sebodoh itu. Cewek kan banyak. Lo, misalnya. Kenapa Aswin ha--"
"Kenapa harus gue yang lu jadikan contoh?"
Agni protes dan Ridho nyengir. "Itu hanya perumahan oke? C'mon girl, you know what I mean!"
"I knew because I heard it. But it likes such of stupid thing, you know?"
Ia balik marah.
"Santai sih, Ag!"
Gadis itu mendengus kencang. Lalu ia baru teringat dalang dari segala gosip tentang ia dan Aswin. Gadis itu menoyor kepalanya. Ridho nyaris terjungkal ke belakang andai tak memegang kedua ujung meja yang berhenti persegi itu.
"Astaga, Ag! Gue udah hampir mati dengan tendangan lo tadi terus sekarang mau bikin percobaan pembunuhan lagi?"
"Masih syukur hanya percobaan," desisnya pelan tapi terdengar mengerikan. Ridho malah terkikik-kikik.
"So, are you jealous? Isn't it?"
"Sinting!"
Ridho terbahak.
"Kalau lo nyebar rumor lagi, gue bakal balas dengan rumor yang sama!"
Ridho terbahak. "Rumor apa yang bakal lo bikin hah?"
Agni memandangnya dengan tajam. Ada banyak skenario di dalam kepalanya dan ia bisa melakukan apa saja dengan ide gilanya.
"Ridho is a gay, misalnya."
"Lo kejam!" serunya tapi entah kenapa makan tampak lucu dan membuat Agni tertawa.
"Is that so funny right?"
"Nothing at all."
Agni menyemburkan tawa. "Makanya kalau jadi orang tuh yang bener dikit."
"Gue udah segini warasnya, lo pilih untuk bertanya. Ah ya, omong-omong, lo lebih berkenan kalau gue jodohin dengan Aswin atau sekretarisnya Pak Ardan?"
"Lo beneran mau mati?"
Suara Agni terdengar meninggi. Ridho terbahak. Ia berhasil menyentil emosinya.
"Emang gak ada jalan perdamaian buat lo dan Aswin. Kalian itu burden of problem. Tahu gak sih?"
"Aah. Gue baru dengar istilah itu."
Agni mendengus. Ia tak butuh komentar semacam itu.
"Biasanya gue dengar such as a troublemaker or other things like that. Which one did you ever hear it?"
Agni menoyor kepalanya. Ia segera berdiri dan pergi usai membayar makanannya sendiri. Menghadapi Ridho di sini hanya membuatnya gila sendiri. Ridho masih terbahak meski ditinggal sendiri. Ini semacam kebahagiaan intelektual karena berhasil menyulut emosi orang lain untuk membahagiakan diri sendiri. Meski dengan cara yang jelas-jelas salah.
@@@
"Jadi kamu berhasil kabur?"
"Sejauh ini ya."
"Kenapa kabur dan harus mencariku?"
Perempuan itu ternganga. Keduanya berada di kamar Aswin. Aswin tak tahu harus membawanya ke mana. Ke tempat yang lebih ramai mungkin akan mudah tertangkap basah. Tapi mau bagaimana lagi?
"Hanya A'ak Aswin yang aku kenal dan bisa menyelamatkanku."
"Tapi kamu belum lupa kejadian terakhir kan?"
Itu terdengar emosi. Ia merasa dipermainkan. Oke, saat itu ia juga gila karena masih berupaya menolongnya hingga lupa keselamatannya sendiri. Waktu itu ia hanya terlalu kalut saja. Tapi sekarang sudah tidak lagi. Ia setidaknya sudah bisa berpikir jernih dan memang ada yang salah dengan kejadian kemarin. Ia juga sudah mengikhlaskan semua hal yang terjadi.
"Aku hanya tumbal, A'ak. A'ak tahu bagaimana keluargaku bukan? Ibu punya utang sama dia karena dia bosnya Ibu. Begitu tahu kalau Ibu punya anak perempuan dan ak--"
"Tapi kamu menikmatinya, Sri," ingatnya. Aswin bahkan ingat kali pertama memergoki Sri jalan dengan lelaki tua itu. Ia tidak menemukan satu ekspresi keberatan pun. Harusnya, kalau mau meminta tolong, minta saja pada Aswin sejak awal karena Aswin akan bisa menolongnya. Namun kenapa baru sekarang? Disaat gadis ini terjepit dan tak bisa keluar tapi berhasil kabur?
"Aak! Aku bukan orang semacam itu!" dangkalnya. Oke, ia akui kalau ia merasa bersalah. Sebab? Ia memang sempat menikmatinya. Merasa bahagia karena seperti sedang dicintai dan dimanjakan dengan apa saja yang tak pernah ia punya. Ia tak mungkin meminta pada Aswin karena lelaki itu pun sudah berkorban banyak untuknya dan keluarganya. Meski masiht erhitung tak seberapa. Tapi siapa lah Aswin? Lelaki yang hanya berstatus pacaran dengannya kan tidak punya beban harus menanggung hidupnya dan keluarganya bukan?
"Lalu jelaskan kamu orang seperti apa? Hah? Orang yang rela dibawa tidur secara gratis? Lalu menemani tua bangka itu ke berbagai tempat dan menjadi selir--"
Baru saja satu tamparan keras melayang ke pipi Aswin. Cowok itu menarik nafas dalam. Berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi. Apa memangnya? Tentu saja kejadian ia ditampar tadi dan itu tak masuk hitungan. Harga dirinya sudah hancur saat mendapati perempuan ini lebih memilih menjadi selir dibandingkan menerima komitmen yang pernah Aswin tawarkan. Maka seharusnya tak perlu ada pula pembicaraan panjang seperti ini karena pada akhirnya, Aswin menyadari kalau hubungannya dan perempuan ini tak seharusnya berlanjut. Bahkan pertemuan ini seharusnya tak pernah ada lagi. Ia tak mau mendengar kemungkinan penjelasan lain karena semua sudah nampak jelas di depan mata.
"Hati-hati kalau ngomong!" kecamnya dengan air mata yang sukses jatuh tapi tak bisa menghapus tanda yang sudah dibuat Aswin dihatinya tentang perkataan Aswin barusan. Kenyataan bahwa ia tak bisa menyangkalnya itu menjadi jawaban terang bagi Aswin.
"Lalu pergi lah. Aku merasa tidak ada lagi hal lain yang harus dibicarakan lagi di antara kita. Perlu kamu ingat Sri, asmara kita sudah lama pupus. Kamu yang pertama kali memutuskan untuk tidak menoleh padaku lagi maka kua anggap semua selesai seumur hidup kita. Karena kesempatan kedua tidak ada dalam kamusku," pesannya yang membuat Sri menatapnya dengan kelu. Bahkan lebih perih lagi saat Aswin yang membuka pintu keluar untuknya.
@@@