Crush On You At Petronas : Part 6

2026 Words
Aswin bersin-bersin. Mana dimarahi pula oleh satpam di dekat mall di bawah Petronas. Sementara Agni masih tak berhenti menertawainya. Ia tak sengaja. Mana tahu kalau akhirnya Aswin akan tercebur. Sisi mood-nya yang buruk malam ini sontak berganti menjadi gerai tawa yang tidak hilang. Meski Agni bertanggung jawab. Ia yang membelikan Aswin baju hingga kini cowok itu sudah berganti pakaian. "Puas lo?" Balasan Agni masih deraian tawa. Masih merasa lucu kalau ingat tadi. Kapan lagi mengerjai Aswin? Selama ini, ia yang kerap membuatnya jengkel setengah mati. "Pembalasan yang cukup impas," tuturnya. Keduanya berjalan keluar dari mall. Agni tak tahu harus ke mana lagi. Tapi di sekitar sini cukup ramai. Maksudnya kawasan di luar mall tapi masih di sekitar Petronas. Saat keduanya sudah keluar lagi dan melihat Petronas hingga ke atas, Aswin berdeham. "Lo udah pernah masuk ke dalamnya?" "Bukannya itu perkantoran ya?" "Ya di lantai-lantai atas memang ada perkantoran. Tadinya Pak Farrel berencana menyewa di sana. Tapi sudah penuh." Agni mengangguk-angguk. Pantas saja kantor Farrel yang bercabang di sini jadinya bergabung dengan kantor bosnya dan yang lain. Masih keluarga besar mereka juga. "Lusa gue akan ke sana. Ada kerjaan sama Pak Farrel." Agni mengangguk-angguk. "Elo?" "Ngapain lo nanya-nanya gue?" Galaknya kumat. Aswin ingin sekali menjitak kepalanya. Padahal setidaknya mereka agak akur. Selama ini kan selalu bertengkar. Tidak ada alasan khusus kenapa mereka sering bertengkar. "Helah," tutur Aswin. Ia hanya bisa mengatakan itu. "Lo bisa bawa gue ke atas sana?" tanyanya. Ia masih lama di sini. Karena ada urusan yang harus ditangani. Bosnya akan pulang besok tapi akan kembali dalam beberapa hari. Aswin berdecih. "Mau?" Agni tampak berpikir. Untuk apa ia meminta hal semacam itu pada Aswin? Memangnya Aswin siapa? Hahaha. Ia menyadari kebobrokan itu kemudian mendengus dan berjalan lebih dulu. "Mau gak? Nanti gue bisa tanya bos," tuturnya. Ia menyamakan langkahnya dengan Agni. Agni mendengus. Sudah tak tertarik lagi. "Kalau di sini lebih enak jalan-jalan malam hari. Lihat, banyak bulenya." "Lo juga bule." "Bule Jawa maksud lo?" Agni terbahak. Mereka kan sama-sama orang Jawa. Tapi Aswin sih Jawa Barat. Kalau Agni jelas Jawa Tengah. "Gue tahu jalan ke Bukit Bintang. Mau ke sana? Ada pasar malam. Ada banyak makanan enak dan murah. Lebih seru." "Oh ya?" Agni tak pernah melirik tempat itu. Ia tak bermain begitu jauh ketika berada di Kuala Lumpur meski sudah sangat sering ke sini. "Mau?" ajaknya. "Kalau di sekitar sini kurang seru. Lebih enak merakyat." "Yayaya," sahutnya. Aswin menoleh dengan desisan. Agni malah meledeknya dengan memeletkan bibir. Baru kali ini ia melakukannya pada Aswin. Semenit mereka bertengkar. Semenit kemudian mereka akur. Begitu seterusnya. Lalu Aswin mengajaknya masuk kembali ke dalam mall. Lumayan lama mereka berjalan hingga menemukan eskalator menyambung jalan lewat atas hingga akhirnya tiba di daerah Bukit Bintang. Aswin mengajaknya jalan kaki lagi menuju pasar malam yang sangat sering ia datangi. Dari kejauhan saja, suasana sudah tampak ramai. "Kalau penjualnya China, jangan asal beli," ingatnya. Agni bergidik saat tak sengaja melihat kodok di beberapa kios. Banyak yang menjual sate mentah begitu. Tentu saja setelahnya dibakar. Tapi karena diletakkan begitu saja, Agni jadi geli. Mana di atas, samping dan bawahnya banyak juga sate udang, cumi, sate jamur dan lainnya. Ia kehilangan selera karena melihat kodok tadi. "Jalan Alor?" "Iya namanya Jalan Alor." Agni mengangguk-angguk. Ia sudah lupa tadi jalan kaki lewat mana saja. Tapi ini bisa dengan mudah dicari di internet. "Lo gak mau beli se--" Ia baru menyadari kalau Agni sudah hilang. Tahu-tahu gadis itu sudah mengantri di depan kios gorengan. Aswin menggelengkan kepala kemudian membalik badan dan menyusul Agni yang berada jauh di belakang. @@@ Mereka duduk di depan sebuah restoran China namun halal. Agni mengidam kepiting saus tiram karena melihat gambarnya. "Lo gak pernah dikasih makan sama bos lo?" Agni mendelik tajam. "Jangan asal ngomong!" Aswin tertawa. Pasalnya, bos Agni memang terkenal paling dingin meski gaya pakaiannya paling santer diikuti. Sekalipun sudah memiliki anak. Apalagi tubuhnya kembali seperti semula. Dari sekian banyak karyawan yang berada di bawah Fasha, yang paling dekat memang Agni. Yang lain kan segan. Kalau Agni? Kalau ia meminta cuti atau apapun pasti dikabulkan. Hanya satu hal yang tidak dikabulkan. Apa? Keluar dari perusahaan. Fasha hanya sangat sayang karena susah jika harus mencari pengganti Agni. "Semua orang banyak mengeluh kalau kerja sama dia." "Itu karena mereka gak bener kerjanya." Aswin mengangguk-angguk. Ia setuju kalau soal itu. Soal kemampuan itu bisa ditingkatkan. Pengetahuan juga sama. Tapi akhlak yang sulit. "Tapi sekarang tim lo makin ketat persyaratannya." Agni mengangguk-angguk. Itu karena ia juga turut turun tangan saat sesi wawancara. Fasha yang memintanya untuk ikut campur. Menilik memang ada banyak pekerjaan yang dipegangnya itu lah, menjadi alasan tersendiri bagi Fasha untuk mempertahankannya. "Sampai sekarang Bu Fasha akan tetap bekerja? Suaminya kan politisi. Banyak gosip miring yang harus ia hadapi kalau suaminya naik jabatan lagi." "Tumben lo ngajak-ngajak ngomong beginian." Seumur-umur mengenal Aswin, mereka memang tidak pernah mengobrol seserius ini. Biasanya kan hanya saling meledek atau mengerjai. Duduk berdua begini saja rasa-rasanya baru kali ini dan Agni baru menyadari ini. Sebelumnya? Pasti ada Ridho, Millana dan yang lain. Intinya tidak pernah hanya berdua seperti ini. "Ya kan banyak yang ngomongin. Di tim lo juga. Pada panik takut bubar." Agni ingin tertawa. "Gak lah. Bu Asha juga lebih banyak di rumah sekarang. Kerjaan kan sudah ada kepala divisi. Palingan gue yang laporin." Aswin mengangguk-angguk. "Lo ngerasa kalau ada banyak perubahan saat ini? Yang dulunya pada lajang lalu menikah. Bos gue aja berubah banyak. Sering pulang cepet lah. Kalau memang gak ada sesuatu yang pentung dan harus ke kantor, gak akan datang." "Iya lah. Bos gue juga. Masing-masing memang punya pekerjaan tapi sepertinya prioritasnya tetap keluarga. Lihat tuh Pak Ferril, orang yang seumur hidup gue kenal, cuma ngecengin cewek. Semenjak tahu dia udah nikah, gue gak pernah lagi ngelihat dia lakuin itu." Aswin tertawa. Ia juga mengakui perubahan yang sangat drastis itu. Baru kaki ini terjadi. "Gue sempat berpikir, dia gak akan pernah tobat." "Itu karena dia udah bertemu seseorang yang tepat. Kalau belum, mana mungkin? Iya kan?" Agni mengangguk-angguk. Matanya melebar saat kepiting yang hampir satu jam ditunggu akhirnya datang. "Gue gak pernah lihat kepiting segede ini." Aswin menggelengkan kepala. "Makanya main-main ke Pangandaran," ledeknya. Agni tak mendengar. Ia lebih sibuk dengan kepitingnya. @@@ Waaaah. Ridho yang sudah mengantuk parah. Ia baru saja menyelesaikan rapat penutupan usai acara. Para tamu sudah lama pulang. Ini bahkan hampir jam dua pagi dan ia melihat Agni dan Aswin berjalan bersama dari kejauhan. Tampak akur karena sesekali mereka tertawa. Tumbenan? Ridho menggaruk pipinya. Ini kejadian langka. Barangkali seperti komet Halley yang terlihat dari bumi sekitar 75-76 tahun sekali. Kejadian yang sungguh langka bukan? "Tumben," komentar Ridho. Terang-terangan meledek kedua orang yang baru saja lewat pintu masuk hotel dan hendak berjalan menuju lift. Agni menatapnya dengan tatapan ketus. Tak begitu menggubris Ridho. Wajah Ridho tampak lelah karena beberapa hari belakangan memang kurang istirahat. "Lo ngilang terus nyusulin dia?" "Kagak lah. Ngapain?" tutur Aswin. Songong. Agni mendengus. Ia masuk ke dalam lift lebih dulu. "Gue lebih ogah!" Ia tak mau kehilangan harga dirinya. Tapi ketiganya malah kompak terbahak saat pintu lift telah tertutup. "Besok akan mulai sepi." "Kenapa?" "Gue kan balik." Agni mendengus mendengarnya. "Gak ada yang kangen lo juga." Ridho terkekeh. Ya sih. Memang benar. Perempuan-perempuan di kantor tak ada yang seperti Agni. Ada banyak perempuan cantik tapi sudah punya pasangan. Dan lagi, ia punya kenangan buruk tentang perempuan cantik. Karena mereka juga melihat tampang bukan ketulusan. Hahaha. Barangkali memang bukan jodohnya. "Gue paling iri sama asmara bosnya Junet." Kening Agni mengerut. "Pak Adit maksud lo?" Ridho terkekeh. Jujur saja, ia menyukai wajah cantik bin manis seperti Dina. Tapi ia sadar diri lah. Ia siapa? Sementara perempuan itu jelas anak petinggi di sini. Pertama kali melihatnya, ia sudah tertarik beberapa tahun silam saat acara gathering di Jakarta. "Artis, cantik, manis, ramah." Agni turut mengangguk-angguk. Memang benar. Kebanyakan juga ramah. Tapi mungkin gestur tubuhnya agak berbeda dibandingkan yang lain. "Mantan lo kayak gitu mukanya?" tanya Agni. Kening Ridho malah mengerut. "Kapan gue cerita soal mantan ke elo?" Agni berdesis. Ia menoyor kepala Ridho sejadi-jadinya. Hingga tawa berderai dan Aswin terjepit semakin ke belakang karena Ridho berusaha menghindar. Agni baru menghentikan aksinya saat pintu lift terbuka dan mereka sampai di lantai yang sama. "Pas lo teler abis dibius Millana!" tuturnya. Seingatnya sih waktu itu. "Millana s****n!" Agni terbahak. Waktu itu Millana hanya tak sengaja menggunakan tissue mabuknya Agni. Fasha yang memberikan itu untuk berlindung dari cowok-cowok m***m. Agni kan tidak bisa bela diri. Yang bisa itu Fasha. Sementara mereka saat itu sering ke proyek yang jauh dari perkotaan. Jalanan sepi dan tentu saja tidak aman bagi perempuan. Kadang meski sudah banyak berdoa, jika yang namanya bahaya juga sulit dihindari. Pencegahan dengan ilmu bela diri menjadi sangat penting. "Dia cerita apa aja?" tanya Aswin. Sepertinya akan lucu. Saat Agni hendak menceritakannya, Ridho menyeret Aswin jauh-jauh dari Agni hingga masuk ke kamarnya. Agni terbahak tapi kemudian tersadar kalau ini waktunya penghuni hotel istirahat. Dengan kikikan pelan, ia masuk ke dalam kamarnya sendiri. Dari kisahnya tak ada yang lucu. Yang lucu justru ekspresi Ridho saat menceritakan segalanya. Ia tampak frustasi tapi diwaktu yang sama, malah membuat Agni dan Millana tertawa terpingkal-pingkal saat itu. @@@ Ridho kembali lebih dulu dan memang terasa sepi. Meski ini memang rutinitas Aswin. Ia bisa menemani Farrel ke mana pun pergi. Kadang kala, ia tak terlalu dibutuhkan. Jika ada meeting yang tak terlalu resmi atau masih bisa diurus Farrel, maka Aswin akan tinggal di Jakarta. Sementara Farrel disaat seperti itu biasanya akan membawa istrinya dan kadang Bundanya juga ikut. Hari ini Aswin mendatangi Petronas Twin Tower. Tentunya bersama Farrel. Ia mengawal Farrel. Dari lantai bawah, langsung diantar petugas keamanan hingga tiba di lantai yang dituju. Kemudian mereka menunggu sebentar, sekretaris klien muncul dan mengajak mereka untuk masuk ke ruangan meeting khusus. Namun sebelum masuk, harus menunggu lagi. Katanya mau mengambil kunci sekaligus mencari petugas kebersihan. Aswin menggelengkan kepala. "Handsome sangaaaaat!" serunya saat menjauh dari Farrel sambil berlari menuju ruang belakang. Aswin yang mendengar itu hanya menggelengkan kepala. Dalam hatinya menyebut, belum pernah dipelototi istrinya ya? Nanti dicoba. Hahaha. Beberapa menit kemudian, ruangan dibersihkan dan perempuan itu mempersilahkan mereka untuk masuk. "Please come in, Sir. Please wait for a while, our director will come here as soon as possible." Farrel mengangguk-angguk. Ia tak keberatan menunggu karena orang yang ia temui juga sudah mengabarkannya sejak pagi. Farrel sengaja datang lebih cepat karena perlu melakukan hal lain. Saat kembali ditinggal di ruangan, Aswin pamit ke toilet di pojok ruangan. Farrel fokus pada pekerjaannya di Ipad. Ia memantau perusahaannya dari sini. Istrinya masih menemani. Belum akan pulang kalau pekerjaan Farrel belum selesai. Bahkan sejak semalam sudah merayu Farrel agar diizinkan keluar. Berhubung takut diomeli Bunda karena terlaku mengekang istri, ia terpaksa mengalah hari ini. Entah akan ke mana istrinya pergi. Perempuan lincah dengan perut besar itu tak perduli kondisi ketika sedang berjalan-jalan. "ASTAGA!" Aswin berteriak. Cowok itu baru saja membuka pintu toilet dan sudah terjengkang. Terkaget-kaget melihat ada sepasang anak manusia sedang aaah...hanya ciuman tapi mengerikan. Dan kedua orang itu pun sama kagetnya. Lalu berlari ke luar dari sana dan malah bersitatap dengan Farrel yang langsung memalingkan wajah. Ia berzikir kuat. Trauma melihat belahan d**a kasih sering bergerilya di kepala. Tentu saja belahan milik perempuan lain. Apalagi perempuan yang dulu sering menempelinya. Tak lama, isi kantor malah heboh. Sang direktur yang mengetahui kejadian itu bingung harus bersikap bagaimana. Teriakan Aswin tadi memang memanggil perhatian semua orang untuk datang. Sementara kaki Aswin masih terlalu lemah. Cowok itu bahkan berdiri dengan dipapah beberapa orang. Ia masih syok. Kejadian yang berlangsung cepat tadi masih berputar di dalam kepalanya. Di dalam hidupnya, ia tak pernah terpikir akan melihat hal semacam ini di depan mata. Oke, kalau di diskotik sudah biasa. Tapi bukan berarti ia sering ke sana. Ia hanya datang untuk bertugas kecuali kejadian terakhir. Lalu tadi? Astaga! Ini kantor! Ia sampai tak habis pikir dan sialnya, pikiran t*i sulit dihilangkan! s**l! Farrel menepuk-nepuk bahu Aswin. Lelaki itu sepertinya sadar kalau Aswin masih belum bisa menghilangkan bayangan tadi. "Wudhu," ajaknya. Dari pada mereka hilang konsentrasi di sini. @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD