4. Serpihan Masa Lalu

1440 Words
Praaanngg!!! Gelas kaca yang masih berisi kopi hitam itu sengaja dibanting penikmatnya. Pria paruh baya itu geram dan marah. Sebuah pengakuan yang baru keluar dari mulut anak gadis yang menjadi kebanggaannya membuat hatinya hancur seketika. Harapan yang menggunung, asa yang melambung, kini menciut dan terkungkung. Semua cita-citanya musnah. Hanya pedih dan sesal yang tertinggal menggerogoti raga. "Maafkan Ayu, Pak. Ayu tidak bisa menjaga amanah dari Bapak," ucap Ayu sambil terisak. Mata gadis belia itu terlihat sembap dan memerah. Pria yang terlihat lebih tua dari usianya itu berdiri. Ia menyimpan satu tangannya di pinggang dan yang lain memijat dahi berkerutnya. "Ayu, Bapak menyimpan banyak harapan. Bapak mau kau jadi seseorang yang bisa Bapak banggakan yang akan membangun dan membawa kemajuan untuk desa ini kelak. Bapak mau kau punya pendidikan tinggi supaya kau jadi orang, Yu. Tidak seperti Bapak yang hanya tahu perahu nelayan dan jala. Setiap malam Bapak melaut, meninggalkan kalian, agar Bapak bisa menyekolahkan kau. Biar kau tidak hidup kayak Bapak dan Ibu. Biar kau tidak bodoh seperti kami. Kau sudah membuat Bapak dan Ibu sangat kecewa, Yu." Ayu bersimpuh dan memeluk kaki sang Bapak. "Maafkan Ayu, Pak. Ayu terlalu bodoh karena sudah termakan rayuan dia." "Sudah tiga bulan lamanya pemuda kota itu pergi meninggalkan desa ini. Anak yang kau kandung tidak akan punya Ayah, Yu. Kecuali, kau mau menerima tawaran juragan Hendra untuk menjadi istri ketiganya." Nada bicara Bapak terdengar frustrasi. Ayu kembali terisak. "Ayu tidak mau jadi istri ketiga juragan Hendra, Pak. A Danial janji akan kembali menjemput Ayu di sini." Bapak murka. Ia mengangkat kaki dan membiarkan Ayu terjengkang. Seorang wanita berusia tak jauh berbeda dengan Bapak datang menangkap tubuh Ayu dan membawa Ayu ke dalam pelukannya. "Sudah, Pak. Jangan paksa Ayu lagi. Kasihan Ayu, Pak. Kita tunggu saja pemuda kota itu." Bapak berkacak pinggang. Suaranya terdengar bergetar ketika ia menanggapi ucapan Ibu. "Tunggu sampai kapan, Bu?! Sampai perut anak kita besar dan melahirkan?! Pokoknya Bapak tidak mau menanggung malu lagi. Ayu harus menikah dengan juragan Hendra!" Tangisan Ayu meledak. "Ayu tidak mau menikah dengan kakek-kakek itu, Pak. Ayu tidak mau!" Bapak yang sudah terbakar emosi pergi meninggalkan Ayu dan ibunya. Pria itu pergi dengan kekecewaan yang sangat dalam. "Sabar, ya, Neng. Bapak memang keras. Tapi, semua demi kebaikan Neng sendiri dan bayi Neng nanti." Ibu mencoba menenangkan Ayu dalam dekapannya. Malam itu Ayu memutuskan untuk pergi dari rumahnya diam-diam. Ayu berniat mencari pemuda yang sudah menghamilinya ke Jakarta. Dengan bekal seadanya dan tanpa membawa banyak pakaian dalam tas bututnya, Ayu berjalan kaki melintasi jalanan tandus dan dinginnya malam menuju stasiun kereta api dari rumah sederhananya yang terletak di bibir pantai. Azan subuh berkumandang. Ayu yang sudah lelah berjalan duduk di atas tumpukan bebatuan di pinggir jalan yang sangat sepi. Beberapa kendaraan seperti sepeda dan sepeda motor hanya melintas sesekali saja. "Ya Allah, mungkin ini hukuman dariMu karena aku sudah melanggar laranganMu. Aku sudah berzina dengannya dan mengecewakan semua orang yang menyayangiku." Air mata Ayu terus mengalir. Gadis itu tak henti-henti menyesali semua perbuatannya. Ayu menyapu air mata dengan pugung tangan. Bibirnya gemetar, begitupun dengan seluruh tubuhnya. Tiba-tiba suasana menjadi hening. Sunyi senyap seakan tidak ada tanda-tanda kehidupan. Pendengaran Ayu menangkap suara gemuruh. Ayu memeluk dirinya sendiri. Suara gemuruh itu semakin kencang dibarengi suara teriakan-teriakan manusia. Tubuh Ayu menggigil. Rasa takut mulai menyelimuti dirinya. Beberapa detik kemudian Ayu melihat banyak orang; pria, wanita dan anak-anak; berlarian melintas di hadapannya. Belum sempat Ayu bertanya apa yang sedang terjadi pada orang-orang itu, sebuah ombak besar dari arah pantai menghantam tubuhnya. "Bapak! Ibu!" keringat dingin membanjiri sekujur tubuhnya. Air matanya pun tak terasa sudah membasahi pipi mulusnya. Ayu menangis beberapa saat sebelum dia turun dari tempat tidurnya menuju wastafel di samping pintu kamar mandi. Ia membasuh wajahnya. Ingatan tentang bencana itu kembali merasuki benaknya. Masih teringat jelas kekecewaan Bapak dan Ibu kepadanya. Semua meninggalkan dirinya dengan kekecewaan. Bahkan, Ayu tidak sempat mengucapkan penyesalannya kepada mereka. Ayu kembali membasuh wajah dengan air dingin yang terus mengalir dari kran wastafel. Tapi, air matanya terus menerus memaksa untuk keluar dan mengalir. Rasa perih itu masih ada dan meninggalkan bekas seperti keloid. Meski tampak sembuh, namun bekasnya lebih lebar dari luka itu sendiri dan menyisakan perih. Ayu menyandarkan punggungnya ke dinding kamar mandi. Perlahan tubuh rampingnya melorot. Ayu duduk sambil memeluk lutut sementara aliran air bening dari kedua ujung matanya terus membasahi wajahnya. *** Hahaha! Suara tawa Rachel menghangatkan suasana pagi yang mendung dan gerimis. Rachel, Danial dan Bi Dedeh terlihat sedang asyik berbincang di ruang makan. "Iya, benar. Kadang aku juga merasa aneh sama Pak Joko dan Bi Dedeh. Pak Joko manggil Kakak 'Mas', sedangkan Bi Dedeh manggil Kakak 'Aden'. Kenapa Bi Dedeh dan Pak Joko tidak memutuskan satu panggilan saja buat Kak Danial," saran Rachel dengan nada jenaka. "Biarkan sajalah, Rachel. Aku tidak keberatan dipanggil apa saja." Danial menyuapkan nasi goreng ke mulutnya. "Tumben Bu Ayu belum turun. Apa Bu Ayu sakit ya?" Pandangan Dedeh terus mengawasi anak tangga di ujung lorong. Mendengar ucapan Dedeh, Danial langsung berhenti mengunyah. Dia mengambil tisu dan mengelap bibirnya. Danial berdiri. Rachel menatap heran kakaknya. "Kakak mau ke mana?" "Mau ke perusahaan Papa." Rachel tersenyum takjub. "Akhirnya, Kakak mau membantu Tante Ayu. Kasihan Tante Ayu harus mengurus perusahaan papa sendirian." Danial tersenyum tipis. Pria itu tidak bisa memberikan jawaban yang diinginkan adiknya. *** Ayu melangkah dengan sedikit lunglai. Lingkaran matanya memperlihat dengan jelas kalau wanita itu kurang tidur. Meski sudah dilapisi concealer, tapi mata lelahnya tidak bisa berbohong jika wanita itu masih membutuhkan waktu beberapa jam lagi untuk terlelap. Ayu membuka ruang kerjanya. Mata Ayu terbuka lebar melihat sosok Danial di balik meja kerjanya. Pria itu tampak menawan dengan kemeja biru tua yang digulung sampai sebatas siku dan dasi hitam bermotif garis-garis putih yang cocok dengan kemejanya. Sejenak, Ayu ingin melangkah mundur, namun entah kenapa kakinya justru melangkah maju. "Pagi, Nyonya Narendra," sapa Danial. Ayu terus melangkah mendekat menuju meja kerjanya. "Danial, sedang apa kau di sini?" Danial menyipitkan mata lalu tersenyum sinis. "Sedang apa? Harusnya aku yang bertanya padamu. Sedang apa kau di perusahaan papaku? Apa yang kau cari dengan semua kepura-puraanmu ini?" Ayu menatap kesal Danial. Wanita itu sudah berjuang keras dan berusaha dengan sekuat tenaga untuk mengurus perusahaan suaminya. Tak ada sedikit pun maksud tersembunyi dari Ayu selain untuk membantu Anthony dalam menjalankan perusahaannya. "Dan, aku berhak membantu suamiku mengurus perusahaan di saat suamiku sedang sakit." "Aku rasa aku yang lebih berhak berada di sini. Aku anaknya." Tatapan Danial mengunci tatapan Ayu. Ayu membasahi bibirnya dengan saliva. Tiba-tiba saja bibir dan tenggorokannya terasa begitu kering. "Aku tidak keberatan berbagi tugas denganmu." Danial berdiri. Tatapannya tak lepas dari wajah Ayu. Harus Ayu akui bahwa tatapan itu selalu menghantarkan getaran aneh ke seluruh tubuh dan membuatnya merinding. Danial mendekat, sangat dekat. Ayu ingin menghindar, namun tubuhnya terasa kaku. Ayu hanya mematung saat Danial mendekatkan wajah ke telinganya. "Aku tidak ingin berbagi." Danial mendorong kembali wajah tampannya menjauh dari Ayu. "Sejak kapan kau tahu aku anak si Tua bangka itu?" Ayu menatap geram Danial. Mulut pria itu selalu menyebut suaminya dengan sebutan 'Tua bangka' dan itu membuat Ayu kesal. Betapa tak berbudinya Danial di hadapan Ayu. "Sejak dua tahun yang lalu," balas Ayu. "Kau sudah tahu aku anak suamimu sejak dua tahun yang lalu dan kau tidak melakukan apa-apa? Apa yang sebenarnya menjadi motifmu bertahan dengan si Tua bangka itu?" pertanyaan sinis itu meluncur begitu saja dari mulut Danial. Emosi Ayu naik Amarahnya mulai naik ke level tertinggi. Pertanyaan Danial sedikitnya mengindikasi pada sebuah pelecehan verbal. "Berhenti menyebut suamiku 'Si Tua bangka' atau—" "Atau apa?! Kau akan membujuk si Tua bangka itu untuk mengeluarkan aku dari nama pewaris kekayaannya dan dengan begitu kau bisa dengan bebas menguasai semua ini?" sergah Danial. "Dan!" seru Ayu. Napasnya terengah-engah menahan emosi yang ingin segera diluapkan. "Apa?! Kau mau menamparku lagi?! Ayu ... Ayu ... Aku tidak menginginkan uang si Tua bangka itu karena aku sendiri sudah punya banyak. Tapi, di sini masih ada hak Rachel. Kau gagal melahirkan pewaris ketiga makanya kau mati-matian ingin menguasai semua ini." Plaaak! Tamparan Ayu melayang ke pipi Danial. Semua ucapan Danial sudah sangat melecehkannya. "Berhenti merendahkanku dan berhenti menyebut Papamu 'Tua bangka'!!!" Danial melingkarkan tangannya ke pinggang Ayu lalu menariknya hingga tubuh mereka tidak menyisakan jarak. "Apa hebatnya si Tua itu hingga kau terus membelanya?!! Jika uang yang kau cari, aku punya banyak!" "Jelas Papamu jauh lebih hebat dan lebih baik darimu. Dia tahu cara menghormati seorang wanita. Tidak sepertimu yang habis manis sepah dibuang. Lepaskan aku, Dan!" Ayu melepaskan dirinya dari rengkuhan Danial. Ayu mundur beberapa langkah. Mata berairnya memancarkan kilat amarah yang meledak-ledak. "Asal kau tahu, aku tidak pernah mengandung anak Papamu. Papamu tahu cara menghargai dan menghormatiku!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD