Ayu melangkah dengan anggun menyusuri koridor rumah sakit. Ditemani dr. Arsyad, Ayu masuk ke ruang perawatan VVIP Anthony. Ayu melihat pria itu terbaring lemah dengan selang infus di tangan dan nasal kanula di hidungnya. Parameter yang terdapat pada monitor pasien masih memberikan informasi kondisi kesehatan Anthony yang sama dengan hari kemarin.
Ayu duduk di samping Anthony. Jari-jari lentiknya menggenggam tangan pria itu. "Bagaimana keadaan Mas hari ini?"
Pria berusia 57 tahun itu hanya tersenyum. Wajah pucatnya memperlihatkan rona bahagia saat Ayu membelai lembut punggung tangannya.
"Danial. Apa dia sudah kembali?" Suara bas Anthony bergetar dan hampir tak terdengar.
Ayu menelan ludah berusaha mengatur perasaannya yang berkecamuk setiap kali mengingat nama yang disebutkan suaminya. "Dia sudah kembali, Mas. Dia masih beristirahat. Mungkin dia masih lelah setelah perjalanan belasan jam."
"Aku hanya ingin yang terbaik untuk anak itu. Tapi, dia sangat keras kepala. Dia tidak pernah mau mendengarkan aku, Yu." Kilat mata Anthony memancarkan keprihatinan yang mendalam.
Ayu kembali membelai tangan pria baya itu. "Mas, Mas Antony sudah berusaha sangat keras untuk itu. Ayu yakin suatu saat nanti dia pasti akan mengerti."
"Tapi, umurku tidak akan lama lagi, Yu. Jika dia tetap bersikap seperti sekarang ini, keras kepala dan tidak mau mendengarkan aku, aku pasti akan pergi ke surga dengan banyak penyesalan. Siapa yang akan menjaga kau dan Rachel nanti? Kau tahu alasanku menikah denganmu, 'kan, Yu?"
Ayu mengangguk. Tatapan khawatir bercampur prihatin terpancar dari sorot mata gelapnya. Bagi Ayu, Anthony adalah dewa pelindung dan penyelamatnya. Pria itu yang telah mengobarkan kembali gairah hidupnya yang hampir padam dan putus asa. "Mas, tidak boleh bicara begitu. Mas harus yakin bisa kembali sehat dan bisa menjaga Ayu serta Rachel."
"Kau tidak perlu memberi harapan palsu padaku, Yu. Aku tahu kanker paru-paru yang menggerogotiku membuat harapan hidupku semakin tipis. Aku mengkhawatirkan nasibmu dan Rachel setelah kepergianku nanti jika Danial masih tidak bisa bersikap lebih dewasa." Suara bas Anthony kembali terdengar bergetar, membuat Ayu trenyuh.
Mata Ayu mulai berair. Wanita itu meletakkan punggung tangan Anthony di pipinya.
"Mas jangan bicara seperti itu lagi. Apa Mas tidak mau menjaga Ayu dan Rachel untuk beberapa tahun lagi sampai Rachel lebih dewasa, Mas? Mas harus semangat. Mas enggak boleh menyerah. Mas selalu memberi semangat saat Ayu kehilangan bayi ...." Ayu menggantung kalimatnya lalu menyeka air mata dengan jemarinya. "Mas juga harus semangat sekarang."
Anthony mengangkat tangannya dari pipi Ayu ke kepala Ayu lalu mengusap lembut rambut wanita itu.
¤¤¤
Danial memandang lampu-lampu yang berkelip menghias taman belakang rumah mewah keluarganya. Pria itu duduk di birai jendela dengan sebotol vodka dalam genggamannya. Perbincangan Ayu dengan Papanya tadi siang di rumah sakit masih terngiang di telinganya. Pria itu mendengar semua ucapan Ayu yang membuatnya mengurungkan niat untuk masuk ke ruang perawatan Papanya dan memilih kembali pulang.
Jadi, kau sudah benar-benar melupakan masa lalu kita, Yu? Kau menikah dengan pria yang lebih pantas jadi ayahmu hanya demi bisa hidup mewah. Danial melempar botol vodka dalam genggamannya ke arah taman.
Danial memukul kayu bingkai jendela dengan tinjunya. "Sialan kau, Yu! Kau berani menjebak Papa dengan seorang bayi hingga Papa mau menikahimu. Berengsek! Dasar jalang!!!"
Danial mengusap wajahnya. Angannya melayang jauh. Pandangannya kembali menatap wajah polos Ayu tujuh tahun silam saat mereka berbaring bersama beralas pasir dan berselimut embusan angin sambil menatap bulan dan bintang-bintang di langit yang pekat.
"Kalau ada bintang jatuh, kau mau membuat permohonan apa. Yu?" Danial menjatuhkan pandangannya ke kiri menatap wajah Ayu dari samping.
"Ayu tidak akan membuat permohonan apa-apa, A. Kebahagiaan Ayu sudah ada di sini. Ayu hanya mau bersyukur saja pada Yang Maha Kuasa karena sudah memberikan semua kebahagiaan ini pada Ayu." Ayu memalingkan wajahnya ke kanan hingga pandangannya saling mengunci dengan pandangan Danial.
"Apa pertemuan kita menjadi salah satu kebahagiaanmu juga?" Danial mengunci pandangannya pada Ayu.
Ayu tersenyum mengiakan. Danial memiringkan tubuhnya. Tangannya membelai pipi Ayu dengan lembut. Ia mengangkat wajahnya mendekat ke wajah Ayu. Menempelkan bibirnya ke bibir Ayu lalu menyapunya dengan lembut. Tubuh Ayu sedikit gemetar saat bibir Danial mulai menjelajahi bibirnya.
"Kau pernah dicium sebelumya?" bisik Danial.
Ayu menggeleng. Wajah Ayu merona karena malu. Terpaan sinar bulan purnama malam itu memperjelas perubahan warna kulit wajah gadis belia itu. Danial tidak ingin terlalu lama membuat gadis itu merasa malu. Dia kembali menyentuh pipi Ayu dengan bibirnya merasakan lembutnya kulit gadis itu saat tangannya mulai menyelinap ke balik kaus lusuh yang membalut tubuh ramping Ayu.
"Anji**!!!" Danial kembali meninju bingkai jendela hingga hampir meremukannya saat angan dan logika kembali merasuk ke dalam tubuhnya.
Ingatan itu kembali menghujam relung hatinya. Mengiris-iris rasa perih yang lama tersimpan. Tak pernah secuil pun terlintas dalam benaknnya bahwa ia akan berbagi semua tentang Ayu dengan pria mana pun termasuk papanya sendiri.
Danial keluar dari kamarnya lalu menemui Joko di dapur.
"Pak Joko, aku mau ke luar. Mobil mana yang bisa kupakai?" tanya Danial dari ambang pintu dapur.
Joko yang sedang duduk bersantai dengan Dedeh dan para asisten yang lainnya langsung berdiri lalu segera mendekat pada Danial. "Mas Danial, mau pakai yang mana?"
"Yang mana saja yang penting bisa jalan," balas Danial sedikit ketus.
Melihat gelagat tuan mudanya yang kurang bersahabat, Joko langsung memberikan kunci mobil yang tergantung di atas nakas di samping pintu menuju dapur tersebut. "Ini, Mas. SUV hitam."
Tanpa mengucapkan terima kasih pada Joko, Danial langsung menyambar kunci mobil dari tangan Joko.
Danial melajukan kendaraannya dengan kecepatan tinggi menuju sebuah kelab malam ternama dipusat kota. Kelab malam tempatnya berkumpul bersama sahabatnya tujuh tahun silam itu tidak banyak berubah. Danial duduk di depan meja bar. Dia memesan minuman dengan kadar alkohol yang cukup tinggi. Malam ini pria itu ingin mabuk. Semabuk-mabuknya.
Danial sudah menenggak beberapa gelas wiski tapi ingatannya akan wanita bernama Ayu masih berputar-putar di kepalanya. Bayangan Ayu dan semua kenangan itu sepertinya enggan berlari menjauh dari pikirannya.
"Dan? Kau Danial, ‘kan?" seorang wanita cantik dengan mini dress hitam dan berambut coklat terang hasil pulasan cat rambut mahal menepuk pelan pundak Danial dan mengejutkan pria itu.
Danial mengerutkan dahinya. Berpikir sejenak. "Anna? Kau Anna, ‘kan? Anaknya tante Rosa."
"Iya, betul. Kau masih ingat rupanya. Dari kabar yang aku dengar, kau tinggal di San Francisco, ya, sekarang?" tanya wanita bernama Anna itu sambil menarik kursi lalu duduk di samping Danial.
"Tahu dari mana?"
"Alif. Kau masih ingat Alif kan teman sekampus kita dulu? Dia tinggal di sana juga. Katanya dia pernah bertemu denganmu beberapa kali. Katanya juga, sekarang kau sukses di sana. Kau bekerja di sebuah perusahaan konsultan raksasa sebagai seorang arsitek." Anna menunjuk pada bartender meminta segelas scotch sesaat kemudian.
"Ya. Aku pernah bertemu beberapa kali dengan Alif. Dia pria yang hebat dan teman yang baik." Danial meneguk kembali whiskey-nya.
"Dan, Dan, kau ini. Kau bekerja untuk perusahaan orang lain sementara perusahaan papamu sendiri dikuasai orang lain," tutur Anna.
Danial mengerutkan dahinya, menatap penuh selidik pada Anna. "Maksudmu, Na?"
"Setelah kau pergi tanpa kabar berita, Mama sering membantu papamu mengurus perusahaan. Wajarlah, Mamaku itu kan adik papamu. Awalnya sih lancar-lancar saja. Tapi, setelah papamu menikah dengan asisten rumah tangga itu semuanya berubah. Apalagi papamu itu sepertinya cinta mati sama dia. Sampai bela-belain nguliahin dia segala. Sekarang, mantan upik abu itu yang pegang kendali di perusahaan selama papamu sakit," jelas Anna.
Danial menyipitkan matanya. "Papa menikah dengan asisten rumah tangga? Jadi Ayu pernah bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumahku?"
"Ya. Seperti itu kenyataannya. Om Antony sudah kepelet babu itu sampai-sampai dia lupa punya saudara," tukas Anna.
Danial berdiri lalu menarik dompet dari saku celananya. Ia kemudian meletakkan beberapa lembar uang seratus ribuan di samping gelas whiskeynya. "Anna, senang bertemu denganmu lagi. Maaf, ada yang harus kulakukan. See you later."
Danial meninggalkan Anna. Ia meninggalkan kelab itu dengan perasaan gundah. Sekelumit cerita dari Anna tentang Ayu membuat pria itu ingin mengetahui lebih banyak sejarah pernikahan Ayu dengan papanya. Danial melajukan kendaraannya dengan kecepatan tinggi untuk kembali ke rumah.
Danial berlari menuju kamar Dedeh. Danial mengetuk pintu kamar Dedeh beberapa kali sampai akhirnya si pemilik kamar membukakan pintu.
"Den Danial? Aden dari mana malam-malam begini? Aduh! Bau alkohol lagi. Aden habis minum-minum ya?!" Dedeh mulai mengomel mengetahui tuan mudanya yang sudah dianggap anaknya sendiri itu beraroma alkohol.
Danial meraih tangan Dedeh lalu membawanya masuk ke kamar Dedeh dan tak memedulikan omelan wanita itu.
"Bi, tolong Bibi jelaskan pada Dani. Bagaimana Ayu bisa sampai di rumah ini?" pertanyaan Danial mengindikasikan sebuah pertanyaan yang butuh jawaban mendesak dari Dedeh.
Dedeh menatap heran anak asuhnya. "Ada apa sih, Den? Kenapa Aden tiba-tiba ingin tahu soal itu?"
"Bi, tolong jawab saja!" Danial sedikit memaksa.
"Kejadiannya sudah sangat lama, Den Danial. Tapi, Bibi masih ingat betul saat pertama kali bertemu dengan Bu Ayu. Waktu itu Bibi diantar Pak Joko ke pasar untuk belanja seperti biasa. Bibi belanja sayuran sedangkan Pak Joko menunggu di mobil. Saat bibi kembali, Pak Joko mengatakan pada Bibi bahwa dia melihat seorang gadis muda yang tidur beralas kardus bekas sambil menggigil dipinggir toko yang masih tutup. Sepertinya gadis itu sedang sakit. Pak joko membawa Bibi pada gadis itu. Keadaan Bu Ayu waktu itu sangat mengenaskan. Dia mengalami demam tinggi dan hampir tidak sadarkan diri. Saat itu, orang-orang di sekitarnya hanya berlalu lalang dengan lirikan prihatin tanpa ada yang mau membantunya. Bibi dan Pak Joko merasa iba. Kami membawanya ke rumah ini. Bibi tahu papa Aden tidak pernah mengizinkan orang lain masuk tanpa seizinnya. Bibi dan Pak Joko, saat itu, berani mengambil risiko dipecat papa Aden karena ingin menolong Bu Ayu. Alhamdulillah, setelah bertemu Bu Ayu, papa Aden mengizin dia tinggal di sini. Awalnya hanya untuk menemani Non Rachel tapi lama-lama Bu Ayu semakin akrab sama Non Rachel. Bu Ayu juga—"
"Apa Ayu pernah hamil?" sela Danial.
"Iya, Den. Bahkan, Papa Aden—"
"Cukup, Bi. Terima kasih informasinya."
Danial beranjak dari kamar Dedeh. Ia melangkah masuk ke kamarnya dengan langkah limbung. Bukan karena pengaruh alkohol dari minuman yang teguknya beberapa puluh menit yang lalu, melainkan karena perasaannya yang mulai jungkir balik dan terombang ambing masa lalunya. Ia menjatuhkan diri ke atas tempat tidur lalu memejamkan matanya yang terasa sangat panas dengan perlahan. "Apa yang sudah aku lakukan pada Ayu?"