Ayu keluar dari ruang kerjanya tergesa. Wanita itu tidak mau seorang pun melihat kecemasan dan kegundahan hatinya. Ia memilih mengalah meninggalkan Danial dengan perasaan dan hati yang kembali terluka.
Danial menatap mobil-mobil yang memenuhi jalanan ibu kota dari jendela ruang kerja Ayu yang berada di lantai 8 gedung perusahaan milik papanya. Pikirannya jauh menerawang ke masa tujuh tahun silam saat semua kerumitan bermula.
"Pa, izinkan Danial menikahi gadis itu. Danial sudah melakukan kesalahan. Danial hanya ingin bertanggung jawab untuk semua yang Danial lakukan padanya," Danial muda memohon pada Papanya.
Pria bertubuh tinggi dan sedikit berisi dengan gelas anggur di tangannya memperlihatkan raut wajah murka. Tatapan tajam dan garis bibirnya yang melengkung ke bawah dengan tegas menolak permintaan anak laki-lakinya. "Papa kuliahin kau biar kau jadi orang berguna. Supaya kau bisa meneruskan usaha Papa dan menjaga adikmu nanti. Bukan untuk bersenang-senang dan ngerusak hidup anak gadis orang. Kalau kau mau bermain-main kenapa enggak pilih gadis-gadis kota yang sudah biasa bersenang-senang dengan gaya baratnya itu, sih? Cukup semalam dan paginya sudah kelar. Kenapa harus pilih gadis kampung yang tidak jelas. Yang jelas-jelas bisa merusak masa depanmu?!"
"Pa, dia beda dengan gadis-gadis yang Danial kenal di sini. Dia gadis yang baik," bantah Danial.
"Kalau dia baik, dia tidak mungkin dengan gampangnya bisa kautiduri. Papa tidak melarang kau bergaul. Papa tahu pergaulan anak sekarang tuh kayak apa. Tapi, kau salah pilih teman tidur. Gadis kampung itu justru nanti bikin kau repot." Anthony berjalan menuju brankas lalu memutar kunci pembukanya dengan nomer-nomer yang merupakan sandi pembuka. Dia mengambil beberapa gepok uang dengan nominal seratus ribuan lalu membawanya kembali ke kursi ruang kerjanya. Pria itu hampir melempar uang dalam genggaman ke atas meja—di hadapan Danial yang duduk di seberangnya.
Danial menatap tumpukan uang itu dengan prihatin. Ayahnya menilai begitu murah harga cintanya pada gadis kampung yang sudah menjerat hatinya.
"Berapa lama kau sudah meninggalkannya?" tanya Ayahnya.
"Baru satu bulan, Pa. Danial janji sama dia, Danial akan kembali dan menikah dengannya, Pa,"
"Kasih dia uang itu. Dia dan keluarganya pasti senang dapat uang banyak. Kau tidak perlu repot-repot menikah dengannya. Bikin malu keluarga saja!" tandas Anthony.
Danial melebarkan matanya. Pria muda itu tidak menduga papanya akan berpikiran dangkal dan sempit. Danial berdiri dan memanatap tajam Anthony. Tatapan tegas dan menantang dia arahkan kepada pria itu tanpa rasa takut.
"Danial mencintai dia, Pa. Dengan persetujuan Papa atau tidak, Danial tetap akan menikah dengannya," tandas Danial.
Papanya kembali murka. Dahinya berkerut dan kilat matanya memancarkan gejolak emosi yang menggunung. "Kalau kau berani melangkah ke luar dari rumah ini untuk menemuinya, selangkah saja, kau akan Papa coret dari daftar nama pewaris. Papa akan lupakan pernah punya anak kau, Danial!"
"Danial mencintainya, Pa. Danial tidak peduli dengan warisan papa! Danial hanya ingin bertanggung jawab dengan perbuatan Danial. Bukankah Papa yang mengajarkan Danial agar jadi lelaki yang bertanggung jawab?" sanggah Danial.
"Jika kau pergi, jangan harap pintu rumah ini akan terbuka lagi untukmu!" murka Anthony.
Danial mengusap wajahnya. Setelah pertengkaran tujuh tahun silam itu Danial tak pernah lagi menunjukkan wajah di hadapan Anthony. Danial berjuang sendiri untuk hidupnya. Danial sama sekali tidak mendendam pada Anthony, hanya saja sikap Anthony tujuh tahun lalu telah membuatnya terpisah dari gadis yang sangat dicintainya. Hatinya kembali hancur saat mengetahui istri Anthony adalah gadis yang seharusnya menjadi istrinya tujuh tahun lalu. Danial mengetahui hal itu beberapa bulan yang lalu sebelum dia memutuskan untuk pulang. Orang suruhan Ayu yang mencarinya di San Francisco yang memberitahukannya.
"Selamat pagi Bu—eh, Pak ...." Sapaan itu terhenti saat pandangan si pemilik suara menatap Danial dengan mata membulat dan penuh keterkejutan.
"Pak Aziz?!" ucap Danial spontan menyebutkan nama pria paruh baya berkumis tebal yang tiba-tiba masuk ke ruangan Ayu.
"Mas Danial?! Ya ampun, enggak nyangka Mas Danial ada di sini. Kapan pulang?" Pria bernama Aziz itu langsung mendekat pada Danial dan menyalaminya.
"Baru dua hari kemarin, Pak."
Aziz menatap takjub Danial. "Bagaimana kabarnya, Mas? Mas atau Bapak nih sekarang saya manggilnya?"
Danial tersenyum. "Terserah Pak Aziz saja."
"Sepertinya 'Bapak' lebih cocok ya? Bagaimana San Francisco?" Aziz berusaha beramah tamah.
"San Francisco masih menjadi kota yang sibuk. Tidak ada siang dan malam. Setiap waktu ramai orang wara-wiri. Bagaimana kabar Iwan, Pak?" tiba-tiba Danial mengingat sahabatnya ketika mereka masih di bangku kuliah dulu.
"Keponakan saya itu sekarang tinggal di Bekasi bersama istrinya. Dia dapat istri orang sana," balas Aziz.
"Bisa saya minta no telepon atau alamatnya? Saya ingin bertemu," tutur Danial.
Aziz dengan cepat memberikan kedua hal yang diminta Danial.
○○○
Ayu masih mencoba mengatur napasnya untuk membuat dirinya lebih tenang. Wanita itu lama termenung di dalam mobilnya, di area parkir gedung perusahaan Anthony. Beruntung, pagi ini dia tidak diantar Joko hingga dia tidak perlu menyembunyikan kegundahan hatinya. Ayu menyandarkan kepala ke punggung jok dan memejamkan matanya. Wanita itu tak menduga Danial yang begitu lembut di masa lalu kini bersikap sangat kasar padanya. Danial telah menuduhnya sebagai wanita materialistis dan yang terparah, pria yang pernah singgah di hatinya itu menuduhnya telah mengandung anak papanya. Ayu ingin menjerit, berteriak di telinganya, mengatakan bahwa janin yang pernah tumbuh di rahimnya adalah miliknya, milik Danial.
Tuduhan Danial membuat hatinya hancur. Pria itu sudah mengecilkan arti dirinya. Bahkan, menghilangkannya. Ayu membuka mata. Sebisa mungkin ia menyimpan semua pedihnya. Ayu memulas bedak untuk menutupi mata sembapnya. Ia ingin melupakan sejenak perseteruan yang baru saja terjadi dengan anak tirinya.
Ayu melajukan mobilnya ke rumah sakit. Meski bukan jam besuk, Ayu mendapat perlakuan istimewa sebagai istri pemilik saham terbesar rumah sakit tersebut. Ayu menemui Athony. Ia berusaha menghibur suaminya itu, lebih tepatnya menghibur dirinya sendiri. Lalu, ia mengarang kisah palsu kenapa Danial sampai saat ini masih tidak mau menemuinya.
"Mas yang sabar, ya. Danial mungkin masih ada urusan." Ayu mengelus lengan Anthony berusaha menenangkannya.
"Sampai kapan dia akan mengabaikanku, Yu? Aku ini papanya. Apa salah jika aku ingin yang terbaik untuknya? Mungkin dia masih marah padaku, Yu." Sorot mata Anthony meredup. Tatapannya menggelap karena sedih yang kian merasuk ke dalam sukma.
"Mas, meski Ayu tidak tahu apa permasalahan antara Mas dan Danial, tapi Ayu yakin kalau Danial pria yang baik. Mungkin dia tidak sedang mengabaikan Mas saat ini. Mungkin dia ada urusan urgent yang tidak bisa dia tinggalkan." Ayu terus menghibur suaminya walaupun hatinya ingin menangis setiap kali dia menyebut nama Danial.
"Ehm." Dehaman itu mengejutkan Ayu dan Anthony.
Danial melangkah masuk ke ruang perawatan Anthony. Kehadiran Danial di ruangan itu membuat seluruh saraf di tubuh Ayu tidak berfungsi hingga membuatnya lemas. Aliran kepedihan itu kembali menyengat menjadi sebuah kumparan yang tak berujung. Rona antagonis terpancar dari tatapan Danial saat pria itu dengan langkah arogannya mendekat pada Ayu dan Anthony.
"Bisa aku bicara dengan papaku?" pertanyaan dengan nada pedas itu keluar dari mulut Danial.
Ayu mengerti. Ayu menyembunyikan perasaannya pada Danial sebisa mungkin dari Anthony. Ia meminta izin pada Anthony untuk menunggu di luar sementara Anthony berbincang dengan Danial.
Ayu menunggu dengan gelisah. Duduk berpindah dari satu kursi ke kursi yang lain di ruang tunggu. Ayu berharap Danial tidak mengatakan hal yang akan membuat Anthony terluka dengan mengatakan kebenaran tentang mereka. Beberapa menit berlalu. Ayu melihat Danial keluar dari ruang perawatan Anthony. Tatapan Danial seperti singa yang ingin menerkam mangsanya. Danial berjalan ke arah Ayu, meraih tangan wanita itu lalu menariknya dengan paksa untuk mengikuti langkahnya.
Tak memedulikan penolakan Ayu Danial terus menarik lengan Ayu. Ayu yang tidak ingin menimbulkan keributan berusaha mengimbangi langkah panjang Danial. Danial membawa Ayu ke area parkir basement. Keluar dari lift Danial masih terus menarik kasar lengan Ayu lalu mendorong tubuh Ayu ke pilar beton penyangga bangunan. Kedua tangannya mengunci gerak Ayu. Napasnya memburu dan matanya semakin menggelap. "Katakan padaku, anak siapa yang kandung saat bertemu papaku?!"
"Lepaskan aku, Dan! Kita tidak pantas berada di sini." Pandangan Ayu menyisir lantai area parkir yang sepi.
"Jangan mengalihkan pembicaraan, Ayu! Katakan anak siapa yang kau kandung saat kau bertemu Papa? Apakah anak juragan Hendra?!"
Untuk sesaat Ayu membeku, mulutnya sedikit terbuka, dan matanya melebar karena syok dengan pertanyaan konyol Danial. "Apa maksudmu?! Apa hubungan juragan Hendra dengan kehamilanku?!"
Danial menyeringai lalu melontarkan kalimat-kalimat pedas. "Harusnya aku tahu dari dulu kau memang hanya mencari uang dan kehormatan. Kau menggaet lelaki tua untuk kau jadikan pemuas kebutuhanmu. Kau menikah dengan juragan Hendra dan melupakan janji kita."
Kali ini Danial sudah menginjak-injak harga diri Ayu. Ayu hendak melayangkan tamparannya, namun Danial berhasil menangkap tangan Ayu, memelintirnya ke belakang lalu menghimpit tubuhnya. "Kau tidak bisa selalu memberikan jawaban dengan tamparan, Ayu. Beri aku jawaban yang membuatmu lebih terhormat di mataku."
Tangis Ayu meledak. "Aku tidak pernah menikah dengan juragan Hendra. Aku menantimu selama tiga bulan. Kau yang berbohong padaku. Kau yang mengingkari janjimu padaku, Danial. Kau tidak pernah kembali untukku. Saat itu aku mengandung anakmu. Anakmu, Danial!"
Ucapan Ayu meruntuhkan dinding ego dan amarah Danial. Danial mulai melembut dan tubuhnya yang menghimpit tubuh Ayu mulai lemas. "Aku kembali, Yu. Aku mencarimu sebulan setelah KKN-ku selesai. Tapi, kabar yang kudapat saat kembali ke desamu membuat aku sakit hati dan kecewa. Anak buah juragan Hendra dan tetanggamu bilang kau sudah dipinang juragan Hendra. Aku benar-benar sedih dan kecewa, Yu."
Bagaikan air terjun Niagara, air mata Ayu kian deras mengalir. Hatinya meragu mendengar penjelasan Danial. Jika dia benar datang mencarinya saat itu, kenapa pria itu tidak menemui dia dan Ayahnya. Pintar sekali pria ini mengarang cerita, pikir Ayu.