Pagi ini Senja terbangun di sebuah ranjang apartemen. Ini adalah aset pribadi milik keluarga Langit. Semalam, Langit mengizinkan Senja untuk tinggal di sini. Kedua orangtua lelaki itu belum tau, tapi biarlah. Biar nanti Langit yang cerita pelan-pelan.
Masih dalam posisi setengah sadar, Senja merabah meja yang ada di sebelah tempat tidur hingga dia menemukan ponselnya di sana. Senyum Senja terukir indah kala melihat kabel charger yang terpasang. Langit itu diam-diam dingin tapi sebenarnya perhatian. Perhatian-perhatian kecil seperti ini yang membuat Senja selalu jatuh hati kepada sosok Langit, meski beberapa minggu ini lebih banyak sakitnya.
Pukul enam pagi, buru-buru Senja bersiap untuk sekolah. Entahlah, Senja juga mulai bingung sekarang, mau bayar pakai apa uang sekolahnya nanti. Mungkin Senja akan mulai cari pekerjaan paruh waktu untuk kebutuhannya setelah ini.
Usai bersiap, Senja lantas melangkah keluar. Namun, kakinya terhenti di depan pintu ketika matanya berhasil menangkap sesuatu yang tidak asing lagi.
"Gimana tidurnya? Nyaman?" Sapaan pagi yang cukup manis Senja dapatkan dari kekasihnya.
Perempuan itu mengangguk pelan sambil tersenyum tipis. Langit tengah berkutat di dapur menyiapkan makanan.
"Sarapan dulu, yang cepet, waktunya mepet," kata Langit menyuguhkan omlet buatannya.
Tanpa pikir panjang, Senja langsung berjalan ke meja bar untuk menyantap hidangan yang Langit buatnya. Perempuan itu menyium aromanya yang begitu wangi. Lantas dia mencicipnya. Lezat!
"Gue nggak nyangka lo bisa masak," kata Senja.
Langit terkekeh pelan sambil membereskan dapur. "Cuma masak telur anak SD juga bisa," balasnya.
"Mana ada? Anak SD paling bisanya nyeplok doang."
"Yang penting sama-sama telur kan?"
"Iya sih."
Dalam hati, Langit sedikit bangga karena bisa masak untuk perempuan itu. Awalnya Langit sedikit kurang yakin, tapi ternyata, Senja begitu suka. Lahap sekali dia saat makan. Dengan mata yang terus tertuju pada Senja, Langit berinisiatif untuk menuangkan air di gelas. Biarlah hari ini Langit meratukan Senja. Langit ingin perempuannya itu selalu bahagia. Masalah Senja, biarlah nanti Langit yang urus. Apa pun yang menyangkut Senja juga akan melibatkan dirinya. Sudah pasti itu. Langit tentu tidak akan membiarkan Senja berjalan sendiri.
"Udah Kak, enak banget. Kenyang gue," ujar Senja menyodorkan piring kosongnya.
"Minum dulu." Langit memberikan segelas air putih untuknya.
Dihabiskannya juga minuman tersebut. "Ahhh! Udah ayo Kak berangkat, ntar kesiangan."
Langit mengangguk lalu berjalan menyusul Senja dari belakang. Pagi ini Senja lebih ceria daripada kemarin terkahir kali Langit melihatnya. Senyum itu telah kembali, mungkin hanya sementara, tapi Langit janji akan memunculkan senyum itu selamanya.
"Bahagia terus, Senja."
****
Hari ini adalah hari sibuk bagi kelas sebelas yang sebentar lagi akan ujian kenaikan. Sedang kelas dua belas sudah mulai leha-leha, tinggal menunggu pengumuman lulus yang rencananya akan diumumkan minggu depan.
Lelaki jangkung dengan jaket kulit hitam terlihat sedang berjalan sendiri di koridor sekolah. Tatapannya seperti kosong, kedua tangannya dia masukkan ke dalam saku celana. Berjalan dengan wajah murung. Dia Langit, dulu sekolah adalah tempat kesukaannya, di mana Langit bisa menyembuhkan luka-lukanya, tapi sekarang, ini adalah tempat yang mungkin akan segera Langit benci.
Setiap kali melangkah, bayangan dirinya selalu seperti terlihat tengah berlarian, ngobrol dengan banyak orang, menggoda cewek-cewek cantik, tingkah absurd Sky—saudara kembarnya itu kini masih bisa Langit rasakan, bahkan sangat jelas. Sky, lelaki yang sangat mirip dengannya tersebut seakan masih ada di sekitar sini. Langit melihatnya tengah lari-larian. Lelaki itu lantas menarik napas panjang, apa-apaan dirinya ini, pikirnya. Ingin menghapus semua bayangan itu, Langit kemudian berjalan menuju toilet sekolah. Dia menatap pantulan dirinya pada cermin di sana. Kusut sekali.
"Bang, senyum kek sekali-kali. Jangan datar gitu muka lo, jelek tau!"
"Udah jelek, jarang senyum, galak, entar makin nggak ada cewek yang mau sama lo. Hayoloh jomblo sampai tua gue sukurin!"
"Gini nih caranya senyum ... hiiiiii."
Secara otomatis, kedua ujung bibir Langit terangkat. Dia menggelengkan kepalanya menepis wajah Sky yang seolah ada di depannya sekarang, tengah ngobrol dengan dirinya.
"t*i! Gue udah banyak senyum sekarang," ujar Langit dengan suara pelan dan hampir tidak terdengar. Hingga tanpa aba-aba, ada cairan bening yang lolos dari kedua matanya.
"Balik Sky ... banyak yang nyari lo di sini. Termasuk gue."
Langit menangis untuk kesekian kalinya. Selama ini tidak ada yang tau jika Langit diam-diam merindukan sosok Sky. Adik yang jarang sekali berinteraksi dengannya. Kini Langit menyesal telah membuang banyak waktunya. Langit lebih sering main dengan teman-teman geng motornya daripada dengan Sky itu sendiri. Sekarang menyalahkan diri pun tidak ada gunanya. Sky telah pergi, lelaki itu tidak akan pernah kembali.
"Kak Langit? Lo ada di dalam?"
Sontak tubuh Langit menegang. Cepat-cepat dia menghapus sisa air matanya sambil menyalakan kran air untuk membasuh wajah.
"Halo? Ada Kak Langit di dalam?" Suara itu kembali terdengar.
"Bentar!" balas Langit.
Usai memastikan wajahnya normal seperti semula, Langit pun keluar. Dilihatnya Senja yang tengah memasang senyum lebar. Perempuan itu cengengsan saat melihat Langit tengah mengacak rambutnya.
"Ngapain?" tanya Langit.
"Nyari lo. Tadi gue ke kelas lo, cuma kata Alvaro lo lagi cabut, dan barusan gue tanya kakak-kakak yang lewat, lo ada di dalam sini."
Langit hanya mengangguk mengiyakan. Setelahnya Langit langsung meraih tangan Senja untuk digenggamnya. Langit ajak Senja pergi dari situ.
"Mau ke mana?"
"Kantin. Ini udah jam istirahat, ngapain bukannya ke kantin malah keluyuran."
Senja mengerucutkan bibirnya saat mendapatkan ocehan dari Langit. Kakak kelas satu ini jadi bawel sekarang. Dulu juga sih, cuma lebih parah yang ini.
"Marah-marah mulu, heran. Padahal kan niat gue cari lo juga mau ngajak ke kantin," cicit Senja. Langit menolehnya sekilas dan memilih mengabaikan.
Sesampainya di kantin, keduanya langsung mengambil duduk yang ada di pojok, meja itu adalah meja geng motor Langit dulu. Meski bukan lagi menjadi anggota, Langit tetap bisa duduk di sana karena ketuanya sendiri yang minta. Langit jelas tidak menolak, karena tempat ini adalah yang paling aman, tidak akan ada yang berani ganggu.
"Kak, harus di sini banget ya makannya?" tanya Senja sambil menatap lelaki yang kini sedang sibuk membersihkan meja bekas yang lain makan itu.
"Kenapa memangnya. Di sini enak, nggak ada yang rusuhin," balas Langit.
Senja lantas memperhatikan sekelilingnya. Nggak ada yang rusuh memang, tapi tetap saja, duduk di antara laki-laki, anak geng motor pula, Senja agak risih sebenarnya.
"Tunggu sini, gue pesenin makan."
"Kak!" Secepat kilat Senja menahan pergelangan Langit.
Lelaki itu menoleh, sebelah alisnya terangkat. "Apa?"
"Gue pesenin minum aja, masih kenyang hehe," katanya.
"Kenyang dari mana? Lo tadi pagi cuma makan telur doang, Senja."
"Ya pokoknya gue kenyang. Jangan pesenin makan ya, Kak."
Langit menghela napasnya kasar. Dia beri peringatan Senja melalui sorot matanya yang seketika dapat berubah tajam itu. "Terserah lo, kalau sakit jangan cari gue nanti."
Tenggorokan Senja langsung tercekat rasanya. Pedas sekali apa yang Langit tuturkan barusan. Karena hal itu, mau tak mau Senja melepaskan tangan Langit dan membiarkan dia jalan pesan makanan. Aslinya Senja juga sudah lapar, tapi ya mau bagimana lagi, perempuan itu harus hemat, tabungannya hanya sedikit dan tidak mungkin cukup juga untuk sebulan.
Perempuan itu tertunduk lesu sembari memainkan jemarinya di atas meja. "Gue harus cepet-cepet cari Kerja."