02. Langit dan ketakutan Senja

1226 Words
“Assalammu’alaikum, Bunda.” “Wa’alaikumsalam Senja, ada apa, Nak? Tumben malam-malam begini telfon Bunda?” Mendengar balasan Bunda membuat Senja refleks mendongak untuk menghalau air matanya. Dela itu sudah seperti Ibu bagi Senja, sosoknya lembut dan baik hati persis malaikat. Di sebuah halte yang tidak jauh dari rumah, malam ini Senja sendiri, kepalanya menggeleng pelan lalu mengembangkan senyum, sebisa mungkin untuk tidak terisak. Senja tidak mau Dela khawatir. “Nggak kenapa-kenapa kok Bunda, emm ... Senja boleh ngomong sama Kak Langit sebentar?” “Loh? Nggak langsung telfon ke nomornya aja?” tanya Bunda ingin tau. “Nomornya nggak bisa dihubungi, hehe,” alibinya. Sebenarnya Senja juga takut mau jujur kalau ponsel lelaki itu hilang karenanya. “Oalah ... emang si Langit, yaudah bentar ya Bunda lihat dulu di kamarnya. Baru pulang soalnya.” “Iya Bunda, maaf merepotkan.” “Nggak pa-pa Senja, kamu itu udah kayak sama siapa aja. Udah, tunggu ya?” “Iya.” Tidak berselang lama, samar-samar Senja dapat mendengar Bunda seperti tengah ngobrol dengan seseorang yang Senja tebak itu adalah Langit. Lalu pada detik berikutnya, suara berat berhasil menyapa indera pendengaran Senja. “Halo?” sapa Langit dari kamarnya melalui sambungan telepon. Senja mendadak gugup. Dia gigit bibir bawahnya kuat untuk mengalihkan perasaan tersebut. Terus, harus ngomong apa dia sekarang? Diusir? Senja takut, masalahnya selama ini Senja tidak pernah bilang kalau Ayahnya selalu melakukan kekerasan kepadanya. “Senja? Lo masih di sana kan?” Suara Langit kembali terdengar. “Eee ... iya Kak, gue masih di sini.” “Mau ngomong apa?” tanya Langit to the point. Demi apa pun rasanya Senja ingin hilang saja sekarang. “Kak?” Terdengar helaan napas kasar dari sambungan telepon itu. “Kenapa Senja? Lo kenapa? Buruan ngomong sama gue ada apa.” “Lo ... bisa jemput gue nggak?” Setelah itu cepat-cepat Senja mengatupkan bibirnya. “Jemput?” “Jam sembilan malam gini lo lagi ada di mana? Jangan buat gue khawatir ya, Senja.” Senja dapat mendengar langkah kaki yang sama sekali tidak tenang. Senja sudah mengepalkan tangannya, benar-benar gugup, takut, sekaligus bingung. “Gue ada di halte dekat rumah Kak, lo bisa ke sini? Nanti gue jelasin.” “Ck, ngapain sih lo malam-malam gini keluar? Bukannya istirahat malah nyari bahaya. Lo itu baru aja keluar dari rumah sakit, yang anteng dikit bisa nggak sih?” “Tunggu di sana, jangan kemana-mana gue otw.” “Makasih Ka—“ Tuuutttt .... Sambungan terputus sepihak. Senja jelas kaget dengan hal itu. Kini Senja yakin jika Langit sedang marah kepadanya. Perempuan itu hanya bisa pasrah nanti jika kena semprot oleh Langit. Kalau bukan kepada Langit, lantas siapa lagi yang bisa Senja mintai tolong? Perempuan itu melemaskan duduknya, dia menyandar ke belakang. Sapuan angin berhasil membuat bulu kuduk Senja sedikit berdiri karena kedinginan, lihat saja bibirnya yang bergetar. Senja mengusap-usap tangannya berharap dingin itu akan hilang. Dalam hati Senja terus berdoa semoga Langit bisa diajak kompromi malam ini. Tubuh Senja sudah sangat lelah, rasanya untuk debat pun Senja tidak bisa membayangkan kuat apa tidak. Sekitar sepuluh menit kemudian, ada sebuah sorot lampu yang datang menyilaukan kedua retina Senja. Perempuan itu menyipit, hingga dia dapat melihat seorang lelaki berjalan ke arahnya dengan tatapan yang begitu tajam. “Lo ngapain malam-malam di sini hah?” damprat Langit sesuai dugaan. Mata Langit ikut menyapu ke sekeliling perempuan itu, ada tas ransel besar, darah yang keluar dari perban di kaki, rambut acak-acakan, berantakan sekali pacarnya ini. “Lo habis ngapain? Kenapa bawa-bawa tas segala?” tanya Langit menuding curiga. Melihat diamnya Senja semakin membuat Langit merasa murka. Lelaki itu mengusap wajahnya kasar. Dia tampak kebingungan, berdirinya lelaki itu terlihat sama sekali tidak tenang. “Kak?” cicit Senja. “Gue antar lo pulang!” Tau-tau Langit langsung meraih tangan Senja. Namun, perempuan itu diam menahan. Langit memasang wajah datarnya untuk Senja. “Kenapa lagi Senja? Ayo gue antar lo pulang, ini udah malam, bahaya.” “Gue nggak mau pulang, Kak.” **** Langit membawa Senja ke sebuah minimarket sekarang. Lelaki itu ingin bertanya banyak perihal mengapa Senja bisa diusir oleh Ayahnya. Sambil menunggu Langit yang masih membeli sesuatu di dalam, di tempatnya kini Senja terus saja bergerak tidak nyaman, dia gelisah takut Langit akan marah kepadanya. “Minum dulu!” Hingga suara berat itu akhirnya terdengar. Langit mengulurkan sebotol minuman dan beberapa makanan ringan. Setelahnya dia mengambil duduk di sebelah Senja. Mereka hanya dipisahkan oleh meja kecil bundar. Malam ini raut wajah Langit begitu terlihat tidak bersahabat. Sejak Senja bilang jika dirinya sudah tak bisa lagi pulang ke rumah, selalu wajah dinginlah yang Langit tampilkan. Bahkan Langit sampai ingin menemui sendiri Ayah Senja, cuma perempuan itu menahannya mati-matian. “Maaf udah buat lo repot sama kepikiran gini, Kak,” ujar Senja usai menenggak sedikit minuman yang Langit belikan. Lelaki itu mengangguk. “Nggak masalah, sekarang bilang ke gue kenapa bisa lo sampai diusir.” Senja sedikit menggigit bibir bawahnya, sampai akhirnya dia memutuskan untuk cerita saja. Mengelak pun tidak akan ada gunanya, Langit akan terus mendesak. “Sebenarnya udah lama Kak, gue disiksa sama Ayah hanya karena masalah sepele. Gue juga nggak tau kenapa, tapi gue berani sumpah Kak, kalau kesalahan gue juga masih wajar kok,” tuturnya sambil meremas tangan di bawah meja. Keringat dingin membasahi telapaknya. “Sejak Ibu meninggal dua tahun yang lalu, Ayah berubah, dia jadi sering berlaku kasar, mabuk-mabukan, marah-marah nggak jelas, Ayah sering nyakitin gue, tapi selama itu gue tahan, gue pendam sendiri karena gue nggak mau ada orang tau tentang gimana Ayah gue.” “Orang-orang udah terlanjur menilai Ayah gue sebagai Ayah yang baik, yang sayang sama gue dan Ibu, mereka sama sekali nggak tau Kak, kalau Ayah gue telah berubah.” Senja terdiam sejenak mengatur napasnya. Genangan pada kedua bola mata yang tertangkap oleh penglihatan Langit membuat lelaki itu langsung bergerak inisiatif untuk pindah duduk demi menenangkan Senja. Langit jadi berada di depan Senja, dia ambil kedua tangannya lalu dia genggam dan elus punggung tangan itu dengan penuh kelembutan. Perlakuan Langit bukannya membuat Senja tenang, malah semakin membuat Senja nangis karena terharu. “Mau gimana pun Ayah, anehnya gue nggak pernah bisa benci sama dia, Kak. Ayah yang dulu dan sekarang beda banget. Gue kayak nggak kenal lagi sama dia.” “Sstttt ... udah, jangan nangis ya?” Langit yang berhasil luluh kemudian membantu Senja untuk mengusap air mata yang jatuh di kedua ruas pipinya. Tatapan yang semula terus memancarkan peringatan seketika menjadi teduh dan menenangkan. “Gue bener-bener nggak nyangka kenapa Ayah sampai tega ngusir gue hanya karena nggak ada makanan di rumah. Gue beneran udah niat beli kok Kak, sampai gue keserempet mobil, tapi Ayah sama sekali nggak mau dengerin gue. Ayah tetep marahin gue, dia pukul gue, dorong gue, dia—“ Tidak lagi banyak bicara, sejurus kemudian Langit langsung memeluk tubuh rapuh itu. Langit mendekap Senja, mengusap punggungnya yang bergetar membuat Senja makin menumpahkan tangisannya di sana. Baju bagian depan Langit sudah basah sekarang sebab air mata Senja. Entah mengapa Langit bisa merasakan apa yang Senja pikirkan. Anak perempuan yang kehilangan bahagianya selama dua tahun ini. “Masih ada gue, lo jangan sedih. Nanti pelan-pelan gue bantu untuk ngomong sama Ayah lo, ya? Nggak usah takut, Senja. Gue akan selalu ada untuk lo, kapan pun lo butuh, gue akan selalu ada. Please, don’t cry baby.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD