04. Tentang Langit dan prioritas

1101 Words
"Modus lakik jaman sekarang kalau ngedeketin perempuan," celetuk Alvaro tiba-tiba sembari memperhatikan layar ponselnya. Galaksi mendekat dan mengintip. "Apa tuh?" tanyanya. "Nih, niat bantu bukain tutup botol biar sekalian kebuka sama hatinya. Hiyaaaa!!!" Lelaki dengan baju olahraga yang lengannya digulung hingga bahu itu hanya bisa geleng-geleng kepala. "Emang kenapa sih? Gue dulu juga gitu waktu ngedeketin Marsha," ujarnya. Alvaro melotot tidak percaya. "Serius lo? Pake modus gituan juga?" "Kalau iya, kenapa?" "Ya ... nggak kenapa-kenapa, sih," jawab Alvaro canggung. "Cara para cowok ngedeketin cewek bisa bervariasi kali, Al, yang penting kan niatnya. Kalau cuma buat main-main itu yang salah," kata Galaksi ceramah. Mendengar itu, sontak sebelah alis Alvaro terangkat. "Emang lo nggak main-main sama Marsha?" tanyanya meremehkan. Galaksi tergelak pelan. "Gue bukan cowok b******k. Sekali gue memutuskan suka sama cewek, bakal gue pertahanin, gue jaga meski nyawa gue taruhannya." "Buset! Berat sih, berat." "Itu baru namanya cowok sejati, cinta sejati, bukan kaleng-kaleng!" Galaksi dan Alvaro lalu tertawa bersama. Entahlah, mungkin mereka melupakan seorang lelaki lagi yang kini tengah diam dengan pandangan menunduk ke bawah. Sejak tadi mereka berada di tepi lapangan bertiga, Langit, Alvaro, dan Galaksi, tapi yang kelihatan hidup cuma Alvaro dan Galaksi. Langit sendiri diam terus, tidak mengeluarkan sedikit suara pun. Kala ditanya juga Langit hanya membalas dengan dehaman singkat atau tidak gelengan. Melihat temannya yang masih diam padahal sudah dipancing itu, Alvaro lantas menyenggol pelan lengan Galaksi. Alvaro ngobrol lewat telepati dengan lelaki yang umurnya ada di bawah dia satu tahun itu, mata Alvaro bicara seolah tengah meminta pendapat harus apa. Namun, yang Alvaro dapat malah gelengan kepala dari Galaksi. "k*****t, lo!" umpat Alvaro kesal. Galaksi memutar kedua bola matanya malas. Dia lalu menggeser duduknya supaya semakin dengan dengan Langit. Pluk! Tidak lupa Galaksi juga menepuk bahu Langit membuat lelaki itu spontan menatapnya. "Galau, Bang?" tanya Galaksi bercanda. Langit menggeleng pelan, dia kembali diam. "Kenapa sih, diem mulu? Sariawan? Atau ada yang sedang lo pikirkan?" Alvaro ikut angkat bicara bertanya. "Kalau ada apa-apa, biasain cerita ke kita Bang, jangan dipendam sendiri. Kalau kata orang-orang bisa jadi penyakit," kata Galaksi. Helaan napas kasar kemudian terdengar dari mulut Langit. Dia tatap kedua temannya itu secara bergantian. "Gue nggak pa-pa." Kata-kata keramat yang malah Langit lontarkan. "Kayaknya gue cuma nggak enak badan," lanjutnya selang beberapa saat. "Kangen Sky?" celetuk Alvaro yang kali ini tepat sasaran. Terlihat dari cara Langit menatap setelah pertanyaan tersebut dicetuskan. "Sebentar lagi kita udah nggak sama-sama, udah sibuk sama dunia masing-masing. Gue udah kehilangan Sky, gue hanya takut kalau sampai kehilangan lo berdua juga. Gue nggak siap kalau harus apa-apa sendiri. Gue nggak siap dengan kehidupan setelah ini," ungkap Langit pada akhirnya. Sekarang malah gantian Alvaro dan Galaksi yang diam. Keduanya sama-sama tau apa yang Langit resahkan. "Bang, lo sama Bang Alvaro yang lulus. Kalau Bang Alvaro nggak ada waktu buat lo, masih ada gue Bang. Kalau butuh, datang ke gue aja. Kalau butuh temen cerita, telinga gue selalu ada untuk lo. Kalau butuh temen buat ngilangin stres, basecamp dua puluh empat jam jadi milik lo, Bang," balas Galaksi tulus. Galaksi tersenyum saat Langit menatapnya. "Gue berani ngomong kayak gitu karena bagi gue lo bukan hanya sekedar teman atau sahabat, lo udah kayak Abang kandung gue sendiri. Tanpa lo, gue bukan siapa-siapa di Wals. Lo yang udah narik gue dari kegelapan, lo yang bawa warna baru di hidup gue yang cuma ada hitam dan putih. Tanpa lo sadar, banyak hal sepele yang lo lakuin, tapi berarti banget buat gue." "Jadi Bang, jangan ragu tentang apapun itu untuk datang ke gue. Ini janji gue Bang, gue akan selalu ada buat lo." Ucapan terakhir Galaksi menutup obrolan siang itu. Setelahnya mereka bertiga sama-sama meninggalkan tempat untuk menenangkan diri masing-masing. Memang semenjak Sky—saudara kembar Langit meninggalkan dunia, Langit jadi banyak berubahnya. Lelaki yang dulu sangat dingin dan hampir tak pernah peduli mengenai apa pun itu, kini mulai berubah jadi mudah menghawatirkan segala hal. Langit, menjadi seperti bukan Langit yang awal Alvaro dan Galaksi kenal. Namun meski begitu, sebisa mungkin keduanya akan selalu ada di samping Langit. **** Seorang laki-laki yang baru saja keluar dari kamar mandi terlihat sedang berjalan menghampiri ponselnya yang berdering lama di atas nakas. Sambil menggantungkan handuk putih di leher, Langit mengambil ponsel tersebut dan mulai mengangkat teleponnya. Sebelum itu ada tertera nama Alvaro pada benda pipih itu. "Ada apa, Al?" sapa Langit bertanya terlebih dahulu. Langit lanjut jalan keluar kamar kemudian berakhir duduk pada ayunan yang ada di balkon. "Gila lo! Ngapain lo tinggal Senja di jembatan sendiri anjir? Udah stres lo? Kalau dia kenapa-kenapa gimana?" Amukan terdengar dari seberang sana. Lawan bicara Langit itu terdengar sangat emosional. "Gue ninggalin Senja juga ada alasan yang lebih penting, Al. Lagian tempat itu nggak bahaya-bahaya banget, udah deket juga dari rumah Senja. Lima menit sampai kok," kata Langit. Lalu terdengar tawa remeh dari Alvaro. "Alasan apa yang lebih penting dari tanggung jawab lo nganterin perempuan pulang?" "Al—" "Lang, kalau dari awal lo nggak bisa nganterin Senja, mending lo minta gue aja, Lang. Ngomong sama gue dari awal! Jangan lo maksa nganter dia terus ujug-ujug lo ninggal dia gitu aja. Dia cewek Lang, cewek!" "Ya gue juga nggak tau Alvaro kalau tiba-tiba gue ada urusan mendadak." Langit sampai berdiri lagi dari duduknya. "Urusan apa emang? Claudia?" Skak mat! Langit langsung terdiam membuat Alvaro di sana kembali tertawa. Posisi Alvaro sendiri sedang ada di pinggir jalan, baru saja selesai mengantarkan Senja pulang. "Lang, lo bisa bedain nggak sih, mana kepentingan dan mana prioritas? Gue tau Claudia sakit dan lo panik, tapi coba mikir deh, jangan grusukan jadi orang. Tadi, lo bisa telpon gue atau Galaksi dulu Lang, entah lo nyuruh kita ke Claudia atau nyuruh kita jemput Senja. Lo bisa lakuin itu tapi lo—ck, tau ah Lang, mending Sky tau nggak. Seenggaknya dia tau cara memperlakukan perempuan." Mendengar nama Sky disebut, kedua tangan Langit langsung mengepal. "Jangan bawa-bawa saudara gue!" tekannya memberi peringatan. "Itu fakta!" "Sekarang gue tanya, sebenarnya prioritas lo itu Senja, apa Claudia sih? Perasaan selama ini cuma Claudia yang lo utamain, padahal pacar lo kan Senja." "Gue ngelakuin semua itu karena Claudia butuh gue. Sky sendiri yang nitipin Claudia ke gue. Gue nggak mau kalau sampai Claudia kenapa-kenapa," ujar Langit. "Repot emang kalau masih ada rasa. Udahlah Lang, ngomong sama batu kayak lo itu percuma. Dan ya, gue cuma mau ngasih tau sebenarnya, kalau tadi gue nggak lewat tempat Senja, mungkin cewek lo udah pergi dari dunia sekarang." "Maksud lo apa?" tanya Langit sedikit melunak. "Senja diganggu orang, cowok-cowok lima. Gue nggak tau mereka siapa, tapi yang pasti, mereka kayak mau nyelakain Senja." "Jaga dia Lang, kalau nggak mau kehilangan lagi."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD