Rupanya niat Langit mengajak Senja ke mal adalah untuk masuk ke dalam sebuah toko baju. Bukan baju biasa yang diperjualkan, melainkan semacam dress-dress pesta yang cantik. Dari sini, sepertinya Senja sudah bisa menebak apa yang ingin Langit lakukan.
"Lo boleh lihat-lihat dulu aja mana yang menurut lo bagus. Nanti kalau udah, bilang ke gue," kata Langit kepada Senja yang sedikit kebingungan. Perempuan itu berani menebak, tapi tidak mau bilang karena takut nanti malah besar kepala.
"Maksudnya?"
Terdengar helaan napas kasar dari Langit karena pertanyaan Senja barusan. "Gue mau beliin lo dress buat promnight nanti. Nggak usah nolak, ini murni karena keinginan gue, pakai uang gue sendiri juga bukan yang dari Bunda."
"Udah jangan banyak tanya, pilih sana dress mana yang lo mau."
Kalau boleh jujur, tubuh Senja rasanya langsung ngefreez saat langit berujar demikian. Ternyata benar tebakan Senja kalau Langit pasti akan membelikannya baju. Bukannya mau menolak, hanya saja Senja merasa tidak enak. Kalau dilihat-lihat sepertinya dress di sini mahal-mahal. Lagipula Senja juga punya dress sendiri di lemarinya.
"Kayaknya nggak usah deh kak," celetuk Senja.
"Kenapa?"
Lidah Senja langsung tercekat karena nada bicara Langit yang mendadak berubah jadi dingin.
"Kita udah sampai di sini loh, Nja."
Perempuan itu mendundukkan kepalanya. "Gue udah ada dress kok kak di apartemen, udah nggak usah, ya? Mending uangnya Kak Langit tabung aja, pakai buat hal yang lebih penting."
"Lo juga penting Senja," tembak Langit seketika berhasil mendiamkan Senja.
"Udah pokoknya lo jangan banyak protes, cepat sana cari dress mana pun yang lo suka. Nggak perlu lihat harga, semua yang lo mau, akan gue kasih. Paham?"
"Tapi, Kak?" Ucapan Senja terpotong karena Langit yang berbalik badan pergi meninggalkannya. Lelaki itu terlihat berjalan dan berakhir duduk di salah satu kursi yang ada di sana.
Melihat Senja yang masih terdiam, Langit pun mengangkat dagunya, menunjuk Senja dengan dagu supaya Senja cepat memilih baju mana yang diinginkan.
Kadang Langit bingung dengan perempuan, padahal sebagai laki-laki, Langit malah suka kalau bisa membelikan segala hal yang perempuannya minta. Yang membuat Langit tidak suka, justru sebuah penolakan. Langit benci jika dirinya merasa tidak dibutuhkan. Seperti Senja kala itu, saat Langit bilang akan ujian, seminggu full Senja tidak memberi kabar lain selain dia baik-baik saja. Padahal Langit tau, kalau di satu malam itu Senja sempat demam. Langit bisa tau dari temannya, tapi yang Senja lakukan malah diam saja. Itu yang Langit tidak suka, dia pacar Senja, tapi Senja tidak pernah mau minta tolong kepadanya.
Di sisi lain, Senja sendiri sedang dibuat bingung oleh dress yang indah-indah di hadapannya. Senja sungguh tak dapat memilih. Semuanya terlihat sangat bagus. Namun, setelah jalan sedikit ke kiri, entah mengapa pandangan Senja tiba-tiba saja tertuju pada sebuah dress dengan warna biru dongker. Senja pun mendekat dan melihat. Sekilas dress itu terlihat sederhana, tapi detail kecilnya mampu membuatnya jadi elegan dan indah. Sepertinya Senja tertarik dengan yang satu ini.
"Apa gue ambil ini aja, ya?" gumam Senja.
Tak lama setelah itu datang pemilik toko yang menghampiri Senja. Mereka sempat berbincang-bincang sebentar, lalu berkahir kepada Senja yang dipersilahkan untuk mencoba dress tersebut. Dengan perasaan canggung dan gugup, Senja keluar dari tempat coba baju. Rambut Senja yang digulung asal ke atas, rupanya mampu membuat si pemilik toko kagum.
"Kamu cantik banget. Beneran, ini cocok banget di tubuh kamu. Pas! Sempurna!" katanya.
Senja semakin malu dibuatnya.
"Gimana? Mau saya panggilkan pacarnya?" tanya pemilik toko menawari.
Sambil tersenyum, Senja mengangguk pelan. "Boleh, Kak."
"Oke." Pemilik toko kemudian memutar kepalanya, memanggil satu karyawan untuk dimintai tolong menyuruh Langit ke sini.
"Tolong kamu panggil mas-mas yang duduk di sana itu ya? Yang pakai kemeja hitam, kamu suruh dia kemari."
"Baik, Bu."
Berselang beberapa saat, Langit pun datang. Semakin dekat, langkah Langit semakin memelan seperti telah diberi efek slow motion. Senja juga semakin dibuat malu, canggung, dan gugup bukan main.
"Gimana mas? Pacarnya cantik banget kan, pakai dress yang ini?"
Langit tidak bisa berkata-kata lagi. Memang Senja terlihat sangat cantik. Tubuhnya yang tidak terlalu berisi membuatnya terlihat sangat feminim. Kulit putihnya sangat senada dengan dress yang dikenakan. Sampai kehabisan kata-kata Langit dibuatnya. Tidak ada kosa kata lain di kepala Langit selain,
"Lo cantik banget Senja," cetusnya.
Sambil menyelipkan rambutnya ke belakang telinga, pipi Senja merona. Pemilik toko dan karyawannya pun dibuat iri oleh pasangan itu.
"Saya ambil dress yang ini," ujar Langit kepada pemilik toko.
Tanpa banyak basa-basi, Senja langsung mengganti bajunya lagi. Dia berikan dress tadi kepada karyawan toko untuk dibungkus. Melihat harga yang tertera sontak membuat Senja kesulitan menelan salivanya. Beberapa digit angka nol itu sukses mematikan kinerja jantung Senja secara sesaat. Apalagi ketika melihat Langit menggesekkan kartu dengan begitu entengnya, seperti gak punya beban Langit mengeluarkan uang sebanyak itu.
"Terima kasih," ucap Langit usai acara bayar membayar.
Mereka lalu keluar dari toko. Senja masih diam, otakknya tak mampu menerima segala hal yang telah Langit berikan kepadanya malam ini. Diam-diam seperti itu, sekali bertindak, Langit tidak pernah main-main.
"Mau ke mana lagi sekarang?" tanya Langit masih sempatnya bertanya.
"Langsung pulang aja gimana? Gue udah ngabisin duit lo banyak banget gila! Gue pikir nggak bakal semahal itu, eh ternyata. Otak gue sampe beku Kak rasanya habis lihat harga tadi," oceh Senja.
Langit terkekeh pelan sambil tangannya iseng mengacak pucuk kepala Senja karena gemas.
"Angka bisa dicari, Senja. Tapi kebahagiaan lo, sulit untuk mendapatkannya."
"Nanti habis promnight, ajak gue ketemu Ayah lo ya? Kita selesaikan masalah lo. Nggak baik marahan lama-lama sama orang tua," kata Langit lagi.
"Tapi bukan gue yang marah Kak, Ayah yang benci sama gue nggak tau kenapa. Gue berani sumpah, kalau sedikit pun gue nggak ada rasa marah sama dia, gimana pun dia telah memperlakukan gue di rumah. Gue terima aja Kak, sungguh," aku Senja jujur. Karena memang tak ada dendam pada hatinya.
Senyum Langit mengembang sempurna, anak ini terlalu baik untuk banyak orang-orang jahat diluar sana.
"Yaudah, kalau gitu nanti kita bicara sama Ayah lo, kenapa dia berlaku kayak gitu ke lo. Ya?"
Senja mengangguk. "Iya Kak, makasih ya?"
"Hm."
Setelah itu keduanya hanya bercanda-canda ringan sambil keliling mal. Langit sempat membelikan Senja es krim juga dan sosis bakar. Keduanya terlihat sangat nyaman satu sama lain. Banyak tawa yang tercipta malam ini. Sungguh, benar-benar definisi malam yang begitu indah. Hingga tiba-tiba Langit berhenti di belakang Senja. Merasa tidak ada suara di belakangnya, Senja pun menoleh dan menemukan Langit yang tengah mengotak-atik ponsel barunya. Senja lalu mendekat.
"Ada apa Kak?" tanya Senja.
Langit mengangkat kepalanya sekilas. "Claudia telepon gue banyak banget, nggak tau kenapa. Bentar ya?" ujar Langit kemudian sedikit melipir pergi menepi.
Balasan lelaki itu secara tak sadar berhasil membuat hati mungil Senja tersentil. Ada rasa sakit saat medengar itu, Senja jadi langsung terdiam. Bibirnya terkatup rapat, ditambah lagi dia yang melihat sendiri bagaimana wajah panik Langit tercipta.
"Kak Claudia, kenapa Kak katanya?" Senja bertanya lagi saat Langit telah kembali.
"Senja, lo pulang sendiri bisa?"
Deg.
Hati Senja mencelos seketika.
"Claudia lagi nggak baik-baik aja, katanya perut dia sakit. Lo nggak pa-pa kan pulang sendiri? Atau mau gue suruh Alvaro jemput?"
"Senja jangan diem aja dong! Gue buru-buru Senja!"
"Senja? Lo denger gue nggak sih?"
"Ck, ah lama lo! Nih, buat pesan taksi. Kalau gitu gue tinggal. Lo hati-hati pulangnya."
Hingga tubuh Langit tak terlihat pun, Senja masih diam mematung dalam posisinya. Kedua mata perempuan itu mendadak jadi panas dan perih. Sampai perlahan sebutir air mata jatuh mengalir di pipinya. Cepat-cepat Senja menghapusnya karena tidak ingin dilihat orang. Tangan Senja yang memegang uang dari Langit barusan mengepal kuat meremas lembaran merah tersebut.
"Kok lo jahat sih, Kak?" lirih Senja.