Langit baru saja menyelesaikan p********n administrasi rumah sakit Senja. Setelah mendapatkan pesan seperti itu tadi, langsung saja Langit ngebut ke rumah sakit. Lelaki itu, saking khawatirnya, dia sampai kehilangan ponsel. Entahlah, mungkin jatuh di jalan atau tidak di rumah. Namun, Langit tidak terlalu mempermasalahkan hal tersebut, yang penting bagi Langit sekarang adalah Senja tidak kenapa-kenapa.
Sejak tadi, Senja terus saja diam, memilih duduk menunggu Langit selesai mengurus semuanya. Perempuan itu tidak berhenti meremas celana yang dia kenakan. Sungguh Senja takut Langit marah akan kecerobohannya. Meski sebenarnya Langit tidak pernah seperti itu, tetap saja rasa takut tersebut terus menghantui Senja.
“Ayo pulang,” ajak Langit kemudian yang telah berdiri di depan Senja.
Melihat Senja yang kesusahan untuk berdiri, Langit dengan cekatan berinisiatif membantu. Dengan penuh kelembutan Langit memapah perempuan itu. Ada beberapa luka ringan di kaki, siku, dan juga jidat Senja.
Langit mendesah berat, Senja itu kayak anak kecil, tidak bisa ditinggal sendirian. Kalau sudah seperti ini, Langit juga yang merasa bersalah karena lalai menjaganya.
“Awas pelan-pelan, masih sakit nggak?” tanya Langit.
Senja sedikit mendongak hingga kedua pandangan itu bertemu, lalu setelahnya dia mengangguk pelan sambil tersenyum. “Masih.”
“Mangkanya, lain kali kalau butuh apa-apa bilang sama gue. Jangan nekat sepedaan sendiri kayak gini. Kalau jatuh, luka, siapa yang sakit? Lo juga kan? Siapa yang repot? Gue, Senja.” Laki-laki itu mulai mengomel. Lihatlah? Dulu Langit yang Senja kenal tidak suka banyak bicara seperti ini. Sekarang, Langit benar-benar sangat cerewet.
“Emang lo tadi mau ke mana, sih?”
“Beli nasi goreng depan komplek, laper,” jawab Senja malas.
Langit berdecak. “Pesen online kan bisa? Buat apa orang-orang nyiptain HP canggih kalau nggak lo manfaatin?”
“Ish, udahlah, mending lo diem aja deh. Kepala gue pusing dengerin lo marah-marah mulu!”
Lagi, helaan napas kasar Langit keluarkan. “Gue marah kayak gini juga biar lo ngerti Senja, kalau gue sayang sama lo, gue perhatian, gue khawatir.”
“Lo tau, karena lo HP gue ilang sekarang. Nggak tau jatuh di mana,” imbuh Langit sukses membuat jalan Senja berhenti.
“Kenapa?” tanya Langit.
“Serius HP lo hilang?” tanya Senja balik dengan panik.
Namun, Langit dengan begitu santainya mengangguk sambil berkata, “HP nggak penting, yang penting itu lo.”
Senja langsung kesusahan menelan salivanya. Dia tatap Langit dengan tidak percaya. Orang kaya mah beda, iya kan? Kalau Senja mah boro-boro beli HP baru, dapat amukan habis-habisan yang ada dari orangtuanya.
Sampai di parkiran rumah sakit, Langit melepaskan cekalannya pada Senja. Lelaki itu naik ke atas motor duluan. Salah memang, harusnya tadi Langit bawa mobil, tapi ya namanya saja orang lagi panik, apa pun yang ada ya itu yang Langit bawa.
“Bisa naik?”
Senja bergumam sebentar. Tidak mau merepotkan Langit, Senja lantas mengangguk. “Bisa,” katanya.
Langit tak langsung percaya. Kepalanya lalu menoleh ke belakang untuk melihat kekasihnya yang kesusahan sesuai dugaan.
“Pegang tangan gue.” Langit mengulurkan tangannya yang ditatap nanar oleh Senja. Baru setelah Langit mengangguk, Senja meraihnya.
Dengan sangat hati-hati, Senja berhasil naik ke atas motor besar Langit. Tak berhenti sampai di sana, Langit juga menarik kedua tangan Senja supaya melingkar di perutnya. Telapak tangan itu Langit masukkan ke dalam saku jaketnya. Dagu Senja dia sandarkan pada bahu Langit. Dari jarak sedekat ini, Langit merasa Senja akan aman.
Seiring motor berjalan, Senja terus mengulum senyumnya. Kadang Senja juga bingung. Satu hari Langit bisa mengacak-acak perasaan Senja dengan sikap random-nya.
Langit yang membuat Senja terluka dan Langit sendirilah obatnya.
“Senja?” Lelaki itu tiba-tiba memanggil membuat Senja teradar dari lamunannya.
“Ya?”
“Soal tadi siang, gue bener-bener minta maaf,” ucapnya terdengar tulus.
Senja menghela berat lalu mengangguk. “Iya, tapi jangan kayak gitu lagi ya, Kak? Gue cemburu lihatnya, gue selalu merasa kalau gue nggak berhak untuk dapetin lo.”
“Gue tau lo pernah suka sama Kak Claudia, itu sebabnya kenapa gue selalu takut kehilangan lo. Lo nggak akan pernah pergi dari gue kan, Kak?”
Langit menggeleng cepat. “Nggak akan pernah, karena mau bagaimana pun keadaannya, Senja harus selalu bersama Langitnya supaya tetap indah.” Jawaban yang pada detik itu juga berhasil membuat kedua pipi Senja memanas. Dalam perut perempuan itu, sudah seperti ada banyak kupu-kupu terbang. Geli sekali, tapi Senja suka.
****
Brak!
Suara gebrakan kencang yang tercipta dari pukulan kepalan tangan kepada meja makan barusan sukses membuat Senja yang baru pulang jadi terjingkat.
Roi—Ayah Senja berdiri lalu jalan mendekat kepada putrinya tersebut. Dengan wajah marah yang begitu kentara, Roi menarik tangan Senja dengan sangat kasar. Sama sekali tidak mencerminkan seorang ayah yang sesungguhnya. Mendapat perlakuan seperti itu, Senja meringis kesakitan ; itu adalah tangannya yang terluka.
“Dari mana aja kamu, hah? Jam segini baru pulang!” amuk Roi berteriak.
“M—maaf, Ayah,” lirih Senja langsung menunduk ketakutan.
“Saya nggak butuh maaf kamu! Saya tanya, kamu dari mana? Kenapa nggak ada makanan di rumah? Kamu mau saya hukum?”
Senja menggeleng cepat.
“Dasar anak nggak tau diuntung!”
“Akh!” Perempuan itu meringis ketika Roi menghempaskan tangannya begitu saja. Air mata tak dapat lagi dibendungnya sekarang. Senja terisak karena rasa sakit yang dia rasakan.
“Saya capek-capek kerja cari uang buat kamu, tapi sekadar siapin makan aja kamu nggak mau! Mau jadi anak durhaka kamu? Iya?” Lagi-lagi Roi meneriaki Senja dengan kasar.
“Enggak, Yah ... tadi Senja udah keluar buat cari nasi goreng buat Ayah, tapi Senja malah keserempet mobil.”
“Halah!”
Bruk!
Roi mendorong tubuh Senja begitu kuat hingga anak perempuan yang tidak siap itu harus terhuyung ke belakang dan jatuh. Senja semakin merasa kesakitan. Luka pada kakinya belum sembuh, sekarang? Harus lebih parah akibat perlakuan Ayahnya.
“Emang dasarnya kamu aja yang nggak becus! Anak sialan nggak tau diri. Mending pergi aja kamu dari rumah ini. Nggak usah tinggal sama saya!”
“Tapi Yah—”
“PERGI!”
Dengan sangat tega, Roi kembali menarik tangan Senja yang berstatus sebagai anaknya dengan begitu kasar. Roi menyeret Senja yang telah berulang kali mengaduh kesakitan untuk pergi ke kamar.
“Ayo!”
Sesampainya di sana, Roi melepaskan Senja begitu saja. Tubuh Senja rasanya sakit semua, perempuan itu menangis tersedu. Senja benci keadaannya yang seperti ini. Kenapa semua orang berubah setelah ditinggalkan. Bukan hanya Langit yang berubah, Ayahnya pun sama. Sejak Ibunya meninggal, Roi jadi sangat kasar kepada Senja. Roi jadi sering mabuk-mabukan padahal dulu tidak pernah seperti itu.
“MALAH NANGIS! BURUAN KEMASI SEMUA BARANG KAMU DAN PERGI DARI RUMAH SAYA!”
“Anak nggak tau diri, beban, nyusahin!”
“Yah ...,” Senja menatap memohon. “Senja mau tinggal di mana kalau Ayah ngusir Senja? Senja minta maaf kalau Senja salah, Senja janji nggak akan ngulangi hal ini lagi, Yah, hiks ... jangan usir Senja.”
“Persetan!” bentak Roi. “Saya nggak peduli kamu mau tinggal di mana, jadi gelandangan aja sana sekalian. Saya sudah muak, capek ngurusin kamu.”
“Tapi Yah ....”
“Kebanyakan tapi! Cepat bawa semua barang kamu dan pergi dari rumah ini atau saya pukul kamu?” Sorot mata itu begitu penuh dengan raut kebencian.
Seperti apa yang Ayahnya inginkan, Senja buru-buru berdiri meski begitu sakit semua badannya. Senja tidak punya pilihan lagi, tubuhnya sudah terlalu sakit jika harus kena pukul terus-terusan. Memang ini bukan kali pertama, hampir tiap minggu, tidak pernah absen Roi menyakiti Senja. Masalah sepele pun Roi jadikan alasan. Entah sebenarnya apa kesalahan Senja yang membuat Roi begitu tega terhadapnya.
Senja yang malang, sudah banyak luka baik fisik maupun batin yang diterimanya. Namun meski begitu, sedikit pun Senja rasanya tidak pernah bisa membenci Ayahnya.
Setelah mengemasi barang-barang yang dibawa dalam sebuah ransel besar, Senja langsung dipersilahkan angkat kaki dari rumah. Sudah begitu, Roi masih saja menarik-narik tangan Senja yang menurutnya lambat berjalan. Tidak tahukah Ayahnya itu jika kaki Senja terluka?
“PERGI DAN JANGAN PERNAH LAGI KAMU KEMBALI!”
Pintu dibanting dengan kasar. Kedua bola mata Senja terpejam erat. Sesak, dadanya terasa sangat sesak.
Tuhan ... Senja kangen Ibu.