06. Perasaan abu dan pelampiasan?

1019 Words
Seorang perempuan terlihat sedang buru-buru keluar dari lobi sebuah apartemen mewah di Jakarta. Dia tersenyum canggung saat telah berada di depan kekasihnya. "Hai," sapanya kemudian dengan senyum yang merekah lebar. Melihat itu, Langit merasa gemas sendiri. Lantas dia ulurkan tangannya untuk mengacak rambut Senja hingga sukses membuat perempuan itu mengerucutkan bibirnya kesal. "Ish! Berantakan, Kak!" protes Senja, menjauhkan tangan Langit. Lelaki itu terkekeh. "Habisnya lo lucu, ngapain lari-lari kayak gitu? Kalau jatuh gimana?" "Apa sih? Gue udah gede, bukan bocah SD lagi yang perlu lo khawatirin jatuh kalau lari-lari," balas Senja mengomel. "Oh ya, nih, kemarin jaket lo ketinggalan," ujar Senja memberikan jaket milik Langit. "Soal kemarin malam, maafin gue ya, Kak, kalau sikap gue ada buat lo kesel," lanjutnya usai jaket diterima. Langit mengangguk sambil tersenyum. "Lupain. Kemarin biar jadi cerita hari itu, sekarang nggak usah dipikirin lagi, kita buat cerita baru. Yang bahagia aja, ya?" Senja terdiam beberapa saat setelah Langit berucap. Pandangan keduanya bertemu dalam waktu cukup lama, sampai Langit yang terlebih dahulu memutuskan kontak mata. "Naik, Senja. Udah siang, nanti lo telat." Dia mengalihkan suasana canggung. Tersadar Senja dari lamunannya, segera dia memakai helm yang diulurkan Langit. Setelah itu dia langsung melompat naik ke jok belakang motor lelaki jangkung itu. Seperti hari-hari biasanya, Langit selalu menjemput Senja untuk datang bersama ke sekolah, jika pulang juga Langit yang mengantar kalau lelaki itu sedang normal. Kalau lagi nggak normal ya kayak kemarin, ditinggal sendiri di pinggir jalan. "Tadi lo sarapan apa?" tanya Langit sambil berteriak sebab suaranya kalah dengan bisingnya angin dan kendaraan lain. "Hah? Lo ngomong apa, Kak, barusan?" Kan? Sudah pasti Senja tidak mendengarnya. Lantas Langit sedikit memiringkan kepala. "Gue tanya, tadi lo sarapan pakai apa sebelum berangkat?" ulang Langit dengan agak keras lagi. Habis itu baru Senja mengerti. Dia mengangguk-anggukkan kepalanya. "Masak nasi sama makan ayam yang lo sisain di kulkas kemarin." "Oohh, yaudah, gue kira lo nggak tau kalau ada ayam." "Hah? Apa, Kak?" Mendengar balasan Senja membuat Langit memutar kedua bola matanya malas. Repot emang kalau ngobrol di jalan raya. "Udahlah, lupakan." Dan Senja pun memilih diam. Dia memilih untuk menikmati suasana padatanya jalan ini saja. Di mana suara klakson motor dan mobil saling barsahutan, saling meminta untuk maju duluan. Tidak tau kah mereka kalau setiap orang pasti punya urusannya masing-masing, yang membuat harus desak-desakan di jalan pagi ini? Hingga tak terasa, sepuluh menit berlalu, kini motor Langit sudah terparkir sempurna di antara motor anak-anak SMA Kencana yang lainnya. Keduanya turun dan merapikan rambut masing-masing. "Nih, helmnya. Gue langsung ke kelas ya, Kak," pamit Senja. "Tunggu!" Senja terdiam saat Langit menahan pergelangan tangannya. Bergegas menyimpan helm, Langit lalu berdiri di sebelah Senja. Mereka jalan bersama menuju kelas masing-masing. Meski sudah dinyatakan lulus, tetap saja siswa kelas dua belas diminta untuk tetap masuk sekolah, supaya tidak ketinggalan pengumuman-pengumuman penting nantinya. "Nanti malam, lo ada waktu nggak?" tanya Langit tanpa menatap lawan bicaranya. Senja diam sembari bergumam. Jujur saja, Senja banyak waktu kosong akhir-akhir ini. Selain belajar untuk ujian kenaikan kelas, Senja tidak punya aktivitas lain. Perempuan itu sontak mengangguk. "Ada, Kak. Kenapa?" "Kalau nanti gue jemput, bisa?" "Bisa, memangnya mau ke mana?" "Mencari kebahagiaan." **** Di sinilah sekarang Langit berada. Nyatanya berusaha diam di rumah itu tidak mudah. Kaki Langit selalu gatal ingin keluar. Basecamp, tempat yang selalu dijadikan tujuan utama untuk menghilangkan stres. Bermain dengan teman-temannya di sini adalah hal yang sangat Langit sukai. Memang, Langit sudah keluar dari geng motornya, tapi keluar bukan berarti berpisah bukan? Untuk sekedar berteman, Langit masih diizinkan. Lagi pula Langit juga tidak mau menciptakan jarak diantara dirinya dan yang lain. Bagi Langit, anggota Wals ini sudah seperti keluarganya, bukan hanya sekadar teman. Dari sini semua cerita Langit berasal. Cerita yang sama sekali tak ingin Langit akhiri nantinya. "Lang, ngelamun aja. Kesambet entar repot, di sini jauh dari rumah orang pinter." Tau-tau Alvaro datang dan langsung mengambil duduk di sebelah Langit. Dia juga memberikan sekaleng minuman bersoda untuk lelaki berjaket kulit hitam itu. "Thanks," ujar Langit menerima minumannya. Alvaro membuang napasnya kasar sambil sedikit merebahkan tubuhnya ke belakang, menggunakan tangan kiri sebagai tumpuan. Tatapannya nyalang ke angkasa. Langit biru penuh awan itu terlihat sangat indah di siang menjelang sore ini. "Ngomong-ngomong soal promnight, rencananya lo mau ajak siapa?" tanya Alvaro. "Senja," jawab Langit cepat tanpa mikir. "Cakep!" Alvaro langsung menjentikkan jarinya di depan muka karena senang. "Kalau gitu, gue sama Claudia, boleh kan, ya?" tanyanya. Satu alis Langit terangkat sinis kepada Alvaro. "Punya niat apa?" "Yaelah Lang, sama temen sendiri masih aja suka berpikiran buruk. Gue nggak ada niat apa-apa, sumpah. Ya kan, lo sama Senja, daripada Claudia nggak ada pasangan, mending sama gue. Ya kan?" "Gue nggak percaya sama lo," balas Langit masih sinis. "Lagian Claudia udah bilang ke gue kalau dia nggak bakal datang." "Why?" Langit menghela berat, sambil berdiri dan membenarkan letak jaketnya dia berkata, "Claudia pernah bilang sama gue, kalau dia nggak mau menghianati Sky. Claudia juga pernah bilang ke Sky, kalau dia nggak bakal datang ke promnight tanpanya." Alvaro sampai menggaruk belakang kepalanya meski tak gatal. "Sebucin itu ya?" Padahal sama mayat, lanjutnya dalam hati. "Tapi Lang, kasihan gue lihat Claudia. Secinta itu ya? Sampai sekarang belum bisa move on?" Langit mengendikkan bahu. "Ya, lo bayangin aja, saat lo baru pertama kali jatuh cinta, baru pertama nemuin orang yang tepat, terus tiba-tiba lo ditinggal selamanya, gimana perasaan lo?" Sontak Alvaro terdiam dan menunduk. Posisinya berubah jadi duduk bersila. "Iya juga sih, pasti berat banget." "Untuk saat ini gue nggak mau maksain apa-apa dulu ke dia. Gue cuma cukup ada buat nguatin dia, selalu ada kalau sewaktu-waktu dia butuh sesuatu. Gue paham jadi Claudia kayak gimana, nggak mudah." Penuturan panjang dari Langit sempat membuat Alvaro melongo tidak percaya. Dia tersenyum miring dan tertawa pelan. "Topik pembicaraan tentang Claudia, kayaknya lo excited banget, ya?" "Sebenarnya lo masih ada rasa nggak sih Lang sama dia?" tanya Alvaro lagi. Cukup lama dia diam menunggu jawaban sampai akhirnya Langit menggeleng. Tidak, bukan sudah tidak ada rasa, melainkan dia tidak tau. "Gue bingung," akunya. "Lang?" Langit menatap Alvaro dengan dahi yang mengkerut. "Kalau masih suka, jangan jadikan orang lain sebagai pelampiasan. Rasanya sakit, Lang."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD