Bersama dengan semilir angin yang menyegarkan serta suara gemuruh ombak yang menengkan, Senja melangkahkan kakinya menyusuri pinggiran pantai. Perempuan itu menjijing sepatunya, membiarkan telapak kakinya merasakan tekstur pasir pantai yang tergerus air. Kedua mata Senja sesekali terpejam guna merasakan suasana ketenangan ini. Sejak kecil, Senja sangat menyukai pantai, terutama di kala sore hari. Ketika langit menyemburkan sinar jingganya, itulah yang paling Senja sukai, paling Senja tunggu kedatangannya. Perempuan yang selalu menjadikan senja dan pantai sebagai pelarian dari kepenatan dunia.
Dia mendadak terdiam dengan kepala menunduk, memperhatikan kaki yang tersapu air. Tanpa terasa, air mata Senja ikut lolos begitu saja membuat aliran kecil pada kedua ruas pipinya. Senja rindu Ibunya, Senja rindu Ayahnya, Senja rindu keluarganya sebelum Ibu meninggal.
"Ibu apa kabar di sana?" tanyanya bergumam sambil mendongak menatap langit orange itu.
Senja memaksakan senyum, lalu tangannya tergerak mengusap air mata. "Senja kangen sama Ibu. Senja sekarang sendirian, Bu, Ayah nggak pernah nemenin Senja lagi. Sejak Ibu pergi, Ayah juga pergi, kita semakin jauh sekarang, Bu," tutur Senja mengadu kepada Ibunya, berharap akan didengar dari atas sana.
"Ayah ngusir Senja, Ayah terus marah sama Senja, Ayah berubah. Senja harus gimana sekarang? Senja nggak mau jauh dari Ayah, tapi Ayah selalu beri jarak untuk kita."
"Senja kesepian, Senja butuh teman cerita."
"Bu ... nggak ada yang ngertiin Senja sekarang."
Gagal, pertahanan Senja runtuh lagi. Dia menangis lagi, kali ini sampai duduk berlutut dan menunduk. Bahu Senja bergetar sangat hebat, isakannya terdengar begitu jelas. Beberapa orang yang lewat terus memperhatikan Senja. Mereka ingin menegur tapi juga takut menganggu.
"Masih ada gue, Senja."
Hingga tiba-tiba isakan Senja berhenti saat dia mendengar suara itu tepat di depan lubang telinganya, berbarengan dengan jaket yang disampirkan tanpa aba-aba di pundaknya. Perlahan kepala Senja terangkat, melihat siapa yang datang.
"Kak Langit?" Cepat-cepat Senja menghapus air matanya lalu bangkit dengan dibantu Langit.
"Awas, hati-hati," kata lelaki itu.
"Gue cari lo ke apartemen tapi lo nggak ada. Gue udah muter-muter nyari lo tapi tetep nggak ketemu. Sampai gue datang ke sini, dan gue nemuin lo. Syukur lo nggak apa-apa," ujar Langit lagi.
Senja membuang mukanya. Jujur masih ada rasa kesal dalam diri Senja. Perihal Langit yang tadi meninggalkannya sendiri di pinggir jalan demi menemui Claudia. Bukan Senja iri, hanya saja ini tentang tanggung jawab. Pikir Senja, apa tidak bisa Langit mengantarkan Senja dulu sampai rumah baru dia pergi? Sungguh, Senja tidak akan marah jika Langit tidak meninggalkannya begitu saja. Namun kini, Senja merasa kecewa karena Langit lalai akan tanggung jawabnya.
"Lo marah sama gue, Senja?" tanya Langit bergerak agar bisa terlihat di mata Senja.
"Gue nggak berharap lo datang, Kak."
Sontak Langit terdiam. Sedetik berikutnya Senja memutar kepala menatap lelaki itu.
"Jadi cowok itu yang harus bisa bertanggung jawab, punya tanggung jawab, tapi lo? Pernah mikir nggak sih Kak, kalau tindakan lo tadi bisa membahayakan gue?" Senja berhasil mengeluarkan amarahnya.
Langit mengangguk, tidak mengelak karena sadar juga akan kesalahannya. "Gue minta maaf, gue janji nggak akan ngulangi kesalahan yang sama lagi. Gue nggak akan ninggalin lo lagi, sekali lagi maaf, Senja."
"Lo maafin gue, kan?"
"Gue pengen lo pergi sekarang, Kak," balas Senja benar-benar diluar dugaan Langit. "Gue lagi pengen sendiri," lanjutnya sambil melepas jaket milik langit yang sempat tersemat di pundaknya.
"Senja?"
"Kak, kalau nggak bisa bertanggung jawab, seenggaknya coba untuk menghargai ucapan seseorang," sahut Senja dengan cepat yang sukses membuat Langit langsung bungkam.
Lelaki itu memundurkan langkahnya mencoba mengerti. Dengan kepala menunduk, Langit meninggalkan Senja, dia tidak ingin terlalu memaksa. Mungkin Senja memang membutuhkan waktu untuk sendiri.
"Hati-hati," pesan Langit sebelum benar-benar pergi.
Setelah itu, Senja menoleh singkat untuk memastikan Langit sudah jauh. Helaan napas kasar Senja keluarkan. Dia memijat sedikit pelipisnya lalu memilih untuk beranjak juga, mencari tempat lain.
Hari sudah semakin sore dan sebentar lagi matahari akan tukar posisi dengan bulan. Langkah Senja pun berhenti di sebuah tempat duduk pinggir pantai. Senja melemaskan tubuhnya di sana. Perempuan itu merasa sedikit tidak enak telah mengusir Langit, karena bagaimanapun Langit juga punya banyak peran penting di hidup Senja.
"Huh! Gue bingung."
****
Puas menghabiskan banyak waktu sendiri. Usai mendapatkan ketenangan yang dicari. Kini, pukul tujuh malam Senja baru pulang ke apartemen Langit. Dengan langkah gontai Senja masuk ke dalam. Sejenak Senja terdiam saat melihat seorang lelaki yang sedang sibuk berkutat di dapur. Siapa lagi kalau bukan Langit pelakunya?
"Lo, kok, ada di sini?" tanya Senja menghampiri kakak kelasnya yang seminggu lagi akan hengkang dari sekolah itu.
Dengan senyum tipis khas miliknya, Langit mendorong Senja hingga duduk di sofa depan televisi. Lelaki itu juga menyimpan sepiring ayam panggang di meja depan perempuan itu.
"Makan dulu, gue yakin pasti lo belum makan dari tadi," kata Langit.
Senja sempat tertegun sebelum kemudian dia menggeleng. "Gue nggak lapar, Kak."
"Jangan ngebantah. Pagi tadi lo cuma makan telur, siang juga lo nolak buat makan di kantin, sekarang, nggak ada alasan lagi. Gue nggak mau lo sakit karena telat makan."
"Kak?"
"Diem. Gue ambilin minum bentar."
"Semakin ke sini, gue jadi semakin bingung tau Kak, sama sifat lo," ujar Senja sukses menahan pergerakan Langit. Lelaki itu berdiri kaku memunggungi Senja.
Sadar Langit menunggu kelanjutan darinya. Senja berdeham sebelum kembali berucap. "Kenapa lo selalu buat gue bingung? Lo selalu buat diri gue ngambang, Kak. Satu sisi lo bersikap seolah gue hanya orang asing yang bisanya cuma nyusahin lo, sedang di sisi lain lo bersikap seolah gue adalah satu-satunya perempuan spesial di hidup lo."
"Jadi sebenarnya gue ini apa sih, Kak?"
Langit kemudian berbalik badan. Bukan hanya Senja, kadang Langit sendiri juga tidak tau harus menempatkan dirinya jadi seperti apa. Tuntutan menjaga Claudia, tanpa sadar berhasil membuat Langit seolah memiliki dua kepribadian. Langit merasa jika dirinya bisa sewaktu-waktu berubah jadi Sky dan sewaktu-waktu bisa berubah lagi jadi diri Langit itu sendiri. Bawaan dulu, saat Langit cukup lama berpura-pura menjadi kembarannya yang jelas-jelas punya sifat kontras.
Helaan napas kasar lalu Langit keluarkan. Lelaki itu menggelengkan kepalanya pelan. "Gue lagi nggak mau debat. Udah malam, gue mau lo cepat istirahat."
"Gue pulang," pamit Langit.
Baru saja Senja berdiri akan menahan, pintu apartemen keburu menutup menghilangkan Langit dari pandangannya.
"Lo kenapa jadi kayak gini sih, Kak? Lo kenapa sebenarnya?"
Senja kembali duduk, dia tatap dengan nanar ayam panggang yang telah Langit siapkan. Tanpa pikir panjang Senja langsung memakannya hingga habis tidak tersisa. Hitung-hitung menghargai apa yang telah Langit beri.
Selepas makan, saat hendak menaruh piring kotor dicucian, tidak sengaja Senja melihat sebuah jaket tergeletak di atas meja bar dapur. Seulas senyum hadir di wajah lelah Senja.
"Kebiasaan suka ninggalin barang," kata Senja lalu mengambil jaket tersebut setelah selesai membereskan piring kotor.
Senja membawa jaket milik Langit ke dalam kamar, berniat menyimpannya untuk diserahkan besok. Namun, sebuah benda yang baru saja jatuh dari sakunya sukses membuat Senja terdiam beberapa saat. Dia ambil lipatan kertas tersebut. Di waktu berikutnya, kening Senja mengerut bingung.
"Hasil pemeriksaan dari Rumah Sakit Cipta Kusuma atas nama Gibran Langit Delangga."