Harga Diri

1136 Words
Irisa mencuci tangannya dengan air yang mengalir di wastafel, lalu membasuh wajahnya yang terasa lengket. Setelah seharian kemarin berada di rumah, akhirnya dia bisa kembali bekerja di rumah sakit tanpa harus bertengkar terlebih dahulu dengan Allen. Kakinya melangkah keluar dari toilet, menyusuri lorong panjang rumah sakit yang penuh dengan berbagai macam orang. Namun, langkahnya terhenti begitu ekor matanya melihat seseorang yang berseragam perawat tengah membenturkan dahinya ke atas meja. “Nora? Ada apa denganmu?” Sontak Irisa bertanya pada perawat sekaligus teman baiknya tersebut, lalu duduk di sampingnya. Sementara Nora, dia masih menaruh dahinya di atas meja, enggan untuk menoleh. “Kakak laki-lakiku terkena kanker paru-paru. Aku membutuhkan uang untuk operasinya, jadi aku meminta gajiku lebih awal kepada Direktur. Tapi ... Direktur tidak memberikannya.” Nora menghela napas panjang. Kepalanya diputar ke arah Irisa, sedangkan tangannya dibiarkan menggantung di sisi tubuh, terkulai lemas. “Ah, kakak sialan! Itu karena dia selalu merokok setiap hari! Seharusnya aku membunuhnya saja sejak dulu!” Seketika Nora mengubah ekspresinya menjadi marah, bahkan wanita itu memukul meja dengan tangan yang mengepal, membuat Irisa nyaris terjatuh karena terkejut. Irisa mengerjapkan mata, sedangkan tangannya mengelus d**a sebelah kiri yang merupakan tempat jantung. Dia sudah sering melihat Nora kesusahan karena mengurus kakaknya yang berandalan, namun kali ini Nora terlihat lebih kesusahan dan putus asa. Meski Nora selalu mengutuk kakaknya dengan sumpah serapah, namun wanita itu sangat peduli terhadap kakaknya. Nora bahkan rela bolak-balik ke kantor polisi untuk menjemput kakaknya yang selalu terlibat dalam masalah. “Apa kankernya sudah parah?” “Stadium 2.” Lagi-lagi Nora menghela napas. Kesehatan kakaknya benar-benar memburuk, terbatuk-batuk hingga kesulitan bernapas dengan benar. Nora yang biasanya selalu marah-marah pun mulai menahan diri agar tetap tenang. Bagaimana pun, kakaknya sedang butuh perawatan dan perhatiannya sebagai seorang keluarga. “Nora, jika ada yang bisa aku bantu maka katakan saja.” “Tidak apa, kau tidak perlu— tunggu!” Seketika Nora membelalakkan mata. Dia nyaris lupa bahwa teman di sampingnya tersebut adalah istri dari pria paling kaya di Pennsylvania. Mengapa dia tidak meminta bantuannya saja? “Hey, Irisa. Sepertinya aku memang membutuhkan bantuanmu.” Irisa mengangkat sebelah alisnya ketika melihat wajah Nora yang tampak berseri. Nora adalah orang yang mudah mengubah ekspresi, namun jalan pikirannya sulit ditebak. Bahkan, sekarang pun dia tidak tahu tentang isi kepala temannya tersebut. “Apa yang bisa aku bantu?” Sontak Nora menggenggam kedua tangan Irisa dengan antusias. Senyum di wajahnya semakin cerah, seolah baru saja mendapat lotre seharga puluhan miliar. “Irisa, pinjamkan aku uang $39.900 untuk biaya operasi kakakku. Kau bisa melakukannya, bukan?” Mata yang penuh harap itu membuat Irisa tak kuasa menolak hingga akhirnya menganggukkan kepala. Sebenarnya dia tidak memiliki uang sebanyak itu, namun dia sangat ingin membantu Nora. Nora langsung memeluk Irisa seraya mengucapkan terima kasih. Setidaknya, dia tidak perlu pusing memikirkan biaya operasi kakaknya lagi, hanya perlu memikirkan bagaimana dia membayar uang yang dipinjamnya kepada Irisa. *** Setelah pulang bekerja, Irisa langsung memeriksa sisa uang dalam rekeningnya. Karena selama ini dia selalu membantu ayahnya untuk membiayai perawatan sang ibu yang terbaring koma, uang di rekeningnya selalu terpakai dan hampir tidak tersisa. “Apa yang harus aku lakukan?” Tidak mungkin jika Irisa meminta uang kepada Allen. Harga dirinya sangat tinggi. Lagi pula, dia tidak akan membiarkan dirinya mengemis kepada pria itu. Irisa memasuki rumah dengan perasaan lelah. Biasanya dia melemparkan barang-barangnya begitu sampai di dalam rumah, namun kali ini dia tidak bisa melakukannya karena itu bukan rumah pribadinya. Saat berhasil mencapai anak tangga terakhir dan hendak berjalan ke pintu kamar, Irisa melihat Robert yang baru saja keluar dari ruangan kerja Allen. Tadinya dia berniat mengabaikannya, namun kepalanya tiba-tiba mengingat permintaan tolong Nora yang membuatnya harus berbicara dengan Robert. “Robert, bisa luangkan waktumu sebentar?” Robert yang baru saja membungkukkan badan sontak menatap Irisa yang berdiri di hadapannya. Wanita yang digilai Allen tersebut terlihat sedikit berantakan dengan pakaian yang sama seperti tadi pagi. “Ada yang bisa aku bantu, Nyonya?” Irisa bergeming sejenak, sedikit ragu untuk meminta pertolongan kepada Robert. Namun, meminta tolong kepada Robert masih lebih baik daripada harus meminta tolong kepada Allen. “Bolehkah aku meminjam uang $39.900 padamu? Aku akan membayarnya nanti.” Hal itu membuat Robert memiringkan kepalanya sedikit. Istri dari bosnya ingin meminjam uang kepadanya, tentu saja itu membuatnya heran. Allen memang selalu perhitungan terhadap orang lain, namun jika Irisa meminta apa pun, pria itu pasti akan memberikannya. Jadi, mengapa Irisa tidak meminta uang kepada Allen alih-alih meminjam uang kepadanya? “Maaf, Nyonya—“ “Kenapa kau tidak memintanya saja padaku?” Perkataan Robert terpotong dengan kemunculan Allen yang tiba-tiba disertai pertanyaannya kepada Irisa. Pria itu berdiri sembari bersandar pada dinding, sedangkan kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Robert yang menyadari posisinya sontak menjauh dari Irisa, pergi meninggalkan sepasang suami-istri tersebut. Lagi pula, dia pun tidak ingin terlibat dalam situasi tidak menyenangkan di antara mereka. Irisa mengutuk dirinya dalam hati. Dia sama sekali tidak sadar dengan kehadiran Allen yang mungkin saja sudah mendengar percakapannya dengan Robert sejak awal. Sungguh memalukan karena dia ketahuan ingin meminjam uang kepada Robert. “Kau ingin $39.900, bukan? Aku akan memberikannya padamu.” “Tidak perlu. Aku tidak ingin merepotkanmu.” Harga diri Irisa lebih tinggi dibanding apa pun. Meski mulutnya menolak, namun hatinya sangat ingin menerima bantuan tersebut. Namun, Allen bukanlah orang yang akan memberinya uang secara cuma-cuma. Pria itu pasti akan meminta imbalan untuk itu. Pasti! Merepotkan? Sudut bibir Allen terangkat seketika. Bagaimana bisa seorang suami direpotkan oleh istrinya yang meminta uang? Terlebih uang itu tidak ada seperempat dari penghasilannya per bulan? Allen berjalan menghampiri Irisa, berdiri di hadapannya. Pria itu sontak mengeluarkan black card dari dalam dompetnya yang kemudian ditunjukkan ke depan wajah Irisa. Sejurus kemudian, dia memajukan wajahnya, membiarkan bibirnya berdekatan dengan telinga wanita itu. “Ambil kartu ini dan pakailah sesuka hatimu. Jangan lupa membeli lingerie.” Bisikan Allen membuat Irisa menggigit bibirnya karena kesal. Padahal, dia sudah menolak uang yang akan diberikan pria itu, namun pria itu justru memberikannya black card. Bahkan, pria itu menyuruhnya membeli pakaian tidur yang biasa dipakai oleh para wanita yang suka menggoda pria di luar sana. Lingerie? Aku tidak akan pernah memakai sesuatu yang menjijikkan seperti itu! Terlebih memperlihatkannya kepada Allen. Cih! Sulit untuk menerima pemberian Allen, namun Irisa tidak memiliki pilihan lain untuk saat ini. Dia sudah berjanji akan membantu Nora dengan meminjamkan uang. Tidak mungkin jika dia menarik kata-katanya kembali. Itulah yang dikatakan hatinya, namun mulutnya justru mengatakan hal yang sebaliknya. “Maaf, tapi aku tidak akan mengambilnya.” Harga diri Irisa tetap tidak bisa diturunkan. Meski terdesak sekali pun, dia lebih memilih untuk tidak menerima bantuan dari Allen. Pikirnya, pasti ada cara lain untuk mendapatkan uang dengan cepat, misalnya menjual barang-barang pemberian Allen yang tidak pernah dia pakai. “Ternyata harga dirimu sangat tinggi. Jika kau berubah pikiran, datanglah padaku.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD