Aku Ingin Diperhatikan

1409 Words
Allen menatap Irisa yang berdiri tak jauh darinya, lalu beralih menatap Bella yang tengah duduk di tanah sembari menahan tangis. Beberapa menit yang lalu, pria itu sedang menghukum dua orang pelayan yang ketahuan bermalas-malasan pada saat jam kerja. Dia memasukan sepuluh batang rokok ke dalam mulut mereka masing-masing, menyalakannya dengan korek api, dan menyuruh mereka menghisap semuanya hingga habis. Dia tak peduli meski mereka mati karena tersedak asap rokok. Di saat pria itu hendak memberi hukuman kedua kepada mereka, seorang pelayan wanita tiba-tiba menginterupsinya dari luar ruangan, meminta tolong kepada Robert untuk melerai pertengkaran antar pelayan lainnya. Tadinya Allen tidak berniat ikut dengan Robert. Namun, saat mendengar cerita awalnya dari pelayan wanita tersebut, dia tidak bisa hanya diam saja. Seorang pelayan yang berbicara buruk mengenai majikannya harus dihukum, tak peduli meski pelayan itu pria atau wanita, tua atau muda. “Apa benar kau tidak melakukan kesalahan? Istriku tidak mungkin memecatmu tanpa suatu alasan yang jelas.” “Tuan ... saya ... saya tidak melakukan kesalahan apa pun. Saya bersumpah.” Bella memegang satu kaki Allen dengan tangan yang gemetar, namun Allen segera menyingkirkannya. Ketakutan berlebihan bisa membuat seseorang bertingkah bodoh, termasuk berbohong. Itulah yang dilakukan Bella sekarang, berbohong tanpa tahu bahwa Allen sudah mengetahuinya. “Kau yang di sana! Apakah wanita ini yang berbicara sembarangan mengenai istriku?” Pelayan yang ditanya Allen itu menatap Bella sekilas, sebelum akhirnya menganggukkan kepala. Meski dia yang menjadi lawan mengobrol Bella, namun dia tidak ingin ikut dihukum. Rasa takutnya telah membuat dia mengkhianati sang teman. “Tuan, maafkan saya. Saya tidak bermaksud membicarakan Nyonya Irisa, jadi jangan pecat saya. Ibu saya sedang sakit keras, adik saya pun masih harus sekolah. Saya membutuhkan banyak uang untuk menghidupi mereka.” Sayangnya, semua cerita sedih milik Bella tidak akan mempengaruhi perasaan Allen. Bella memang pantas dipecat, namun dia akan menyerahkan segala keputusan itu kepada Irisa. “Kau seharusnya meminta maaf kepada istriku, bukan kepadaku. Aku menyerahkan urusan ini kepada istriku.” Setelah mengatakan itu, Allen melenggang pergi bersama Robert. Sejujurnya, dia merasa terhibur dengan kejadian yang baru saja terjadi. Siapa sangka jika Irisa bisa bertindak tegas dan menjalankan perannya sebagai Nyonya Castellar? Bahkan, wanita itu berani memecat seorang pelayan yang bersikap kurang ajar kepadanya. Bella menoleh kepada Irisa dengan wajah yang sendu, berharap jika kesalahannya dapat diampuni. Namun, Irisa justru memalingkan wajah. Keputusannya untuk memecat Bella sudah tidak bisa diganggu gugat. Irisa bersikap seperti itu agar tidak diremehkan lagi oleh para pelayan di kediaman Allen. *** Irisa berdiri di hadapan jendela kamar, melihat kepergian Bella dari kejauhan. Untuk sesaat, hatinya merasa goyah. Memecat seseorang yang menjadi tulang punggung keluarga adalah hal kejam, namun Irisa tetap memilih melakukannya. “Apa sekarang kau menyesal karena telah memecat pelayan itu?” Kedua tangan Allen menyusup ke pinggang Irisa, memeluknya dari belakang. Kepalanya disimpan di bahu mungil wanita itu sembari memejamkan mata. Tubuh Irisa sangat hangat, dia tidak ingin melepaskan pelukannya yang terasa nyaman. “Pelayan itu sudah berbicara buruk tentangmu, kau tidak perlu merasa bersalah karena telah memecatnya.” Memecat seorang pelayan dan menggantinya dengan baru mungkin sudah biasa dilakukan oleh Allen, namun ini pertama kalinya untuk Irisa. Karena terbawa emosi sesaat, Irisa membuat seseorang berhenti dari pekerjaannya yang mana seorang tulang punggung keluarga. Padahal, dia bisa saja memaafkan dan memberinya hukuman agar tidak mengulang kesalahan yang sama. Irisa berniat melepaskan lingkaran tangan Allen di pinggangnya, namun pria itu justru lebih mengeratkan tangannya sehingga membuat Irisa terjebak di posisi itu. “Biarkan aku memelukmu lebih lama lagi, Irisa.” Pria yang selalu memerintah itu ternyata bisa berbicara lembut. Irisa lantas membiarkan Allen untuk tetap memeluknya hingga puas. Tubuhnya mencoba tenang, berhenti melakukan pergerakan yang membuatnya bisa terlepas dari dekapan pria itu. “Tubuhku ... kau menyukainya?” Memori Irisa kembali mengingat perkataan Bella. Wajah cantik dan tubuh bagus, sesuatu yang bisa menarik perhatian para pria. Irisa harus menyerahkan tubuhnya, menikah dengan pria yang bahkan tidak dia kenal hanya karena kesalahan ayahnya. Semua orang selalu memimpikan pernikahan yang indah bersama pasangan yang dicintainya, namun Irisa tidak bisa melakukan hal tersebut. Dia memberikan kehormatan dan merelakan kebahagiaannya sebagai kompensasi atas uang yang dibawa kabur oleh sang ayah. Sampai sekarang Irisa selalu berharap jika Allen akan merasa bosan dengannya, lalu melepaskannya dengan bebas. Akankah hal itu benar-benar terjadi? Allen mengulum cuping telinga Irisa yang seketika berubah menjadi warna merah. Tidak biasanya Irisa bertanya hal seperti itu? Apa karena terpengaruh ucapan Bella? Namun, jika Irisa sangat ingin mengetahuinya maka dia akan menjawabnya dengan jujur. “Hn, aku menyukainya.” Bukan hanya tubuh, namun Allen menyukai semua hal tentang Irisa. Irisa adalah satu-satunya orang yang membuatnya kehilangan akal. Hanya menyebut nama wanita itu saja, seluruh tubuhnya menjadi sangat panas. Sesuatu yang menonjol di belakangnya membuat Irisa tersentak, tanpa sadar dia melepaskan diri dari dekapan pria itu. Kedua tangannya memeluk tubuh, memalingkan wajahnya ke arah lain. “Maaf, bahuku tiba-tiba terasa sakit.” Situasinya sangat tidak baik, Irisa harus berbohong demi menyelamatkan tubuhnya dari Allen. Jika telat sedikit saja, mungkin tubuhnya sudah berada di tempat tidur bersama pria itu. Allen bergeming sejenak, sebelum akhirnya berjalan mendekati Irisa yang tampak rapuh. Satu tangannya terulur ke depan, hendak membuka blazer coklat yang membalut tubuh wanita itu. Namun, tangannya segera ditepis, bahkan sebelum berhasil menyentuhnya. “Aku hanya ingin memeriksa bahumu.” Lagi-lagi Irisa salah mengartikan maksudnya, sama seperti tadi pagi saat Allen menyuruhnya melepas pakaian, padahal hanya ingin memeriksa luka di bahunya. Harus Allen akui, beberapa detik yang lalu dia memang terangsang dan membayangkan Irisa dengan pikiran kotor. Namun, kali ini sudah tidak lagi. Dia hanya ingin memeriksa bahu wanita itu. Sungguh. “Hanya sebentar saja.” Irisa berlirih pelan, namun masih bisa didengar oleh telinga Allen. Sejurus kemudian, dia membuka blazer coklat yang menutupi baju tanpa lengannya, memperlihatkan bahu yang masih terlihat memar. Lidahnya terasa kelu. Allen membenci dirinya yang telah menyakiti tubuh berharga Irisa. Dengan sengaja dia menyentuh bahu sang wanita, membuat wanita itu mengernyitkan dahi. “Kau sudah melihatnya, bukan? Aku akan pergi memeriksa keadaan ibuku.” Itu hanya alasan untuk menghindari Allen, pergi ke kamar ibunya yang terbaring koma. Lagi pula, Irisa juga memang belum sempat mengunjungi ibunya beberapa hari ini. Dia terlalu sibuk bekerja dan melayani nafsu pria di hadapannya. “Kau selalu memeriksa keadaan ibumu, tapi tidak pernah memeriksa keadaanku.” “Keadaanmu baik-baik saja, tapi ibuku tidak.” Memangnya apa yang harus diperiksa dari pria yang terlihat sehat dan bugar? Setiap hari Allen selalu penuh energi, Irisa bahkan tidak yakin jika pria itu pernah mengalami sakit. “Apa jika aku sakit, kau akan merawatku?” Untuk sesaat Irisa terdiam, namun pada akhirnya menganggukkan kepala. Sebagai seorang perawat, dia harus menolong orang yang sakit atau terluka sekalipun orang itu pencuri, pembunuh, bahkan seseorang yang dibencinya. Hal itu membuat Allen tersenyum tipis. Kakinya melangkah menuju nakas di samping tempat tidur, mengambil sebuah cutter yang tersimpan di dalam laci, menggoresnya pada telapak tangan. Cairan kental berwarna merah mulai menetes, membuat lantai yang putih menjadi kotor. Dengan mata yang terbelalak, Irisa berlari kecil menghampiri Allen dan segera meraih tangan terluka pria itu. “Kau gila?! Bagaimana bisa kau menyakiti dirimu sendiri?!” Kemarahan Irisa tak membuat Allen menyesali perbuatannya. Pria itu justru merasa senang karena dikhawatirkan oleh sang istri yang sering kali mengabaikannya. Irisa menyuruh Allen untuk duduk di sisi ranjang, sementara dia mengambil kotak P3K yang ada di ruang tengah. Tindakan gegabah pria itu sungguh membuatnya tak habis pikir. Bagaimana bisa dia menyakiti dirinya sendiri hanya untuk membuktikan perkataan Irisa? Tampaknya Allen Castellar memang sudah gila. “Aku akan membasuhnya terlebih dahulu.” Irisa membersihkan telapak tangan Allen dengan air bersih, lalu mengoleskan antiseptik ke sepanjang luka. Dengan cekatan wanita itu memasang perban, menutup luka tersebut agar terhindar dari gesekan dan kotoran yang bisa menghambat proses penyembuhan luka. Diam-diam Allen memperhatikan setiap gerakan Irisa yang menyentuh tangannya dengan penuh kehati-hatian. Bibirnya tak kuasa menahan senyum, hingga akhirnya Irisa selesai mengobati tangannya yang seketika membuatnya kecewa. “Apa hanya seperti ini saja? Tanganku tidak akan sembuh jika kau hanya mengobatinya seperti ini.” Allen memprotes untuk menahan keberadaan Irisa di sampingnya. Dia tak menyangka jika wanita itu akan mengobati tangannya dengan begitu cepat, padahal dia masih ingin menghabiskan waktu berdua saja. “Lukanya tidak terlalu dalam, jadi aku tidak perlu menjahitnya.” Setelah kejadian tadi pagi, entah mengapa cara bicara Allen sedikit berubah. Meski perkataannya masih sarkastik, namun nada bicara menjadi lebih rendah. Berkat hal itu, rasa takut Irisa terhadap Allen menjadi sedikit berkurang. Dia juga menjadi lebih berani untuk membalas perkataan pria itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD