Seorang Iblis

1084 Words
Allen mengubah posisinya menjadi duduk, lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Matanya terpejam, membayangkan seberapa parah luka memar yang ada di bahu Irisa. “Apakah lukanya sangat parah?” Awalnya Robert diam karena tidak tahu, apakah pertanyaan itu ditujukan kepadanya atau hanya gumaman Allen saja? Namun, melihat betapa putus asanya sang majikan, membuat Robert membuka suara. “Mengapa Anda tidak memeriksa keadaan Nyonya Irisa secara langsung?” Sontak Allen menggeleng. Setelah melihat Irisa menangis beberapa waktu yang lalu, ada sesuatu yang membuatnya ragu untuk menemui wanita itu. Padahal sebelumnya tidak pernah seperti ini. Hal itu membuat Robert mengangkat satu alisnya ke atas, heran. Allen yang terkenal kejam dan dingin justru bisa terlihat tak berdaya jika berhubungan dengan Irisa. Orang lain mungkin tidak akan menyadari perubahan sikap anehnya, namun Robert bisa langsung tahu hanya dalam sekejap mata. “Kalau begitu, apa Anda ingin saya yang memeriksanya sendiri?” Kali ini, Allen melayangkan tatapan tajamnya kepada Robert. Mana mungkin dia membiarkan pria lain melihat bahu wanitanya meski hanya memeriksa keadaannya? Sampai kapan pun, dia tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Menyadari kesalahannya, Robert sontak berdeham kecil sembari mengalihkan pandangannya ke arah lain. “Maaf, sepertinya saya melakukan kesalahan.” “Tidak apa-apa, aku mengerti dengan maksud baikmu. Tapi Robert, aku memanggilmu bukan karena hal itu.” Allen menepuk sofa di sampingnya yang masih kosong, menyuruh Robert untuk duduk selagi dia menceritakan masalahnya. Meski pria itu memiliki otak cerdas, namun otaknya selalu tidak berfungsi saat berurusan dengan Irisa. Oleh sebab itu, Allen beruntung karena memiliki Robert sebagai asistennya yang luar biasa. Robert bukan hanya seorang asisten, namun juga satu-satunya teman yang hanya dimiliki oleh Allen. Sikap Allen yang kasar dan selalu mengintimidasi sejak kecil, membuat semua orang menjauh serta takut kepadanya. Dari sekian banyak orang tersebut, hanya Robert yang mendekati dan mengajaknya bermain. Siapa sangka jika pertemanan itu masih berlanjut hingga sekarang? “Jadi ... apa masalah Anda, Tuan?” “Berbicaralah seperti biasa. Sejak tadi kau berkata formal padaku, membuatku ingin tertawa saja.” “Baiklah, Allen. Apa yang menjadi masalahmu kali ini?” Mengikuti perkataan Allen, Robert mulai berbicara santai seperti yang sering dia lakukan. Sebenarnya dia ingin mencoba menjadi asisten yang ramah tamah dengan berbicara sopan dan formal, namun tampaknya hal itu tidak berjalan baik. Robert menyandarkan punggungnya ke sofa, sedangkan kedua tangannya dilipat ke belakang kepala. Allen melakukan hal yang sama. Saat ini, mereka bukan seorang atasan dan bawahan, melainkan seorang teman yang berbagi masalahnya kepada teman lain. “Aku mencintai Irisa.” Robert mengerlingkan matanya ke arah lain. Entah sudah berapa kali Allen mengatakan itu ketika mereka sedang bersama, seakan tidak ada kalimat lain yang seharusnya terucap dari pria di sampingnya tersebut. Lagi pula, tanpa Allen berbicara pun, semua orang yang bekerja di rumah ini dan orang-orang di luar sana tampaknya sudah mengetahui betapa terobsesinya Allen terhadap Irisa. Robert sengaja menutup mulut, membiarkan Allen melanjutkan perkataannya yang sepertinya belum selesai. “Robert ... aku tidak ingin jika Irisa bertemu pria lain di luar sana meski pria itu hanya rekan kerjanya atau hanya teman. Apa aku terlalu egois?” “Hn, kau memang egois. Sangat egois.” Tanpa ragu Robert menjawab seperti itu dan membuat Allen mendengus seketika. Sifat egois memang dimiliki oleh setiap orang, namun jika dibandingkan dengan seluruh orang di Pennsylvania maka Allen adalah orang paling egois di antara semuanya. “Bukan hanya itu, kau juga terlalu over protective terhadap Irisa. Jika kau mencintainya, biarkan dia melakukan sesuatu yang dia inginkan. Jangan terlalu memaksanya mengikuti semua keinginanmu, Allen.” Robert mengerti dengan sikap Allen yang selalu ingin memiliki semua yang menurutnya berharga. Namun, pria itu terlalu berlebihan dalam menyikapinya. Irisa bukan barang atau peliharaan, melainkan seorang manusia hidup. Jika Allen terlalu mengekang dan mengurungnya dalam ruangan, suatu saat Irisa pasti akan mencoba melepaskan diri dan mungkin tidak akan kembali. Allen menggigit bagian dalam mulutnya sembari memejamkan mata. Mungkin memang benar jika Allen terlalu over protective terhadap Irisa, namun itu karena dia tidak ingin kehilangan wanita itu. Meski Irisa membencinya, Allen tidak berniat melepasnya. “Menurutmu, apa aku harus membiarkan Irisa tetap bekerja di rumah sakit dan bertemu dengan pria iblis itu?” “Hn. Lagi pula, akan ada saatnya di mana kau melarang Irisa untuk bekerja di rumah sakit meski itu bukan sekarang. Juga, siapa itu pria iblis? Bukankah itu kau? Asal kau tahu, Loudy Ragraph dijuluki malaikat baik hati dari Rumah Sakit Victoria, Allen.” Seketika Allen melemparkan tatapan tajamnya ke arah Robert. Meski dia sudah sering mendengar orang-orang memanggilnya iblis, namun dia tetap tidak suka mendengar julukan tersebut. Di samping itu, mengapa Loudy Ragraph menjadi malaikat dari Rumah Sakit Victoria? Julukan itu sangat tidak cocok dengan pria penggoda sepertinya. Allen beranjak dari posisinya dan berdiri menghadap ke luar jendela. Dari ruang kerjanya, dia bisa mengawasi setiap orang yang berkeliaran di halaman depan rumah hingga orang yang sedang bermalas-malasan dalam bertugas. Semuanya terlihat sangat jelas. “Robert, apa mereka selalu seperti itu saat aku tidak ada?” Allen menunjuk dua orang pria yang tengah merokok dengan santainya di halaman depan. Meski jaraknya lumayan jauh dari tempatnya berdiri, namun dia bisa melihatnya dengan jelas. Sontak Robert menghampiri Allen dan mengikuti arah telunjuknya. Mengingat penglihatannya tidak setajam milik Allen, Robert memicingkan matanya agar dapat melihat dengan jelas yang kemudian membuatnya menghela napas. “Padahal aku sudah memberitahu mereka tentang semua peraturan di rumah ini.” Saat semua pelayan diganti dengan yang baru, Robert mengumpulkan mereka di satu tempat dan memberikan pengarahan selama dua jam. Jika mereka ingin bekerja di bawah Allen Castellar, mereka harus mematuhi semua peraturan yang ada. Jika melanggar maka akan ada hukumannya. “Bawa mereka berdua ke hadapanku, Robert. Sepertinya aku harus memberi mereka pelajaran yang cukup.” “Kau tidak akan membunuh mereka, bukan?” Jika Allen hendak memberi pelajaran, itu artinya dia akan melakukan kekerasan fisik. Memberi hukuman kepada pegawai yang bermalas-malasan memang wajar, namun jika Allen yang bertindak maka semuanya akan berbeda. Robert khawatir jika pria itu lepas kendali dan berakhir membunuh mereka. “Tenang saja, aku hanya ingin sedikit bersenang-senang dengan mereka.” Lagi pula, Allen sedang tidak ingin mengotori tangannya saat ini. Allen hanya ingin memberi sedikit peringatan kepada mereka bahwa merokok pada saat jam kerja itu sangat tidak diperbolehkan, terlebih mereka ketahuan olehnya. Allen mengipas-ngipaskan tangannya ke belakang, menyuruh Robert untuk segera pergi dan membawa dua orang pelayan tersebut ke hadapannya. Sontak Robert membuang napas kasar sebelum akhirnya melangkahkan kakinya pergi dari ruangan kerja Allen. “Sepertinya mereka belum tahu alasan aku dijuluki seorang iblis. Ya, sebentar lagi mereka akan segera mengetahuinya.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD