Memar

1046 Words
Mata Irisa melebar begitu mendengar perkataan Allen. Dia tak menyangka jika pria itu justru menyuruhnya melepas pakaian di saat-saat seperti ini. Apakah lagi-lagi Irisa harus menyerahkan tubuhnya kepada Allen? Dalam benaknya, Irisa sangat ingin menolak perintah Allen. Namun, dia terlalu takut dan tidak ingin membuat pria itu lebih marah lagi karena penolakannya. Karena memikirkan hal itu, tanpa sadar kepalanya menunduk dan menggumamkan sesuatu. “Aku ... tidak ingin melakukannya sekarang.” Seketika Allen menghela napas. Pikirnya, Irisa pasti salah mengartikan perkataannya yang amat terlalu singkat tersebut. “Aku hanya ingin melihat bahumu yang sakit. Apa tidak boleh?” Pemilik suara maskulin itu duduk di samping Irisa. Dia mencoba mengontrol suaranya agar terdengar lebih lembut pada saat bertanya, namun hasilnya justru terdengar kaku. Setelah beberapa menit berlalu, belum ada jawaban atau pergerakan apa pun dari Irisa. Sontak Allen merasa jengkel hingga mengerlingkan matanya ke arah lain. Sejurus kemudian, dia berjalan menuju pintu dan berhenti sejenak untuk mengatakan sesuatu. “Aku akan menyuruh Anne untuk mengurusmu.” Kepergian Allen membuat Irisa bernapas lega, itu karena sudah tidak ada lagi yang mengintimidasinya seperti tadi. Meskipun Irisa berniat untuk mengeraskan hati dan tidak tunduk lagi terhadap pria itu, namun kenyataannya dia masih tidak bisa melakukannya. Irisa bisa melawan Allen dengan sepatah atau dua patah kata, itu pun dengan mengumpulkan semua keberanian dalam dirinya. Namun, untuk selanjutnya, Irisa akan berusaha untuk tegas. Dia tidak boleh lemah atau dia akan selamanya menjadi b***k kekejaman Allen. Terdengar suara pintu yang diketuk beberapa kali, sebelum akhirnya muncul seorang pelayan wanita muda yang membawa kotak P3K dan sebuah mangkuk kecil di tangannya. “Nyonya, Tuan menyuruh saya mengobati bahu Nyonya.” Setelah mendapat anggukan lemah, Anne sontak duduk di samping Irisa yang tampak lemah dan seperti selesai menangis. Lidahnya tak tahan untuk bertanya, namun dia tidak boleh ikut campur dengan masalah orang lain, terutama majikannya sendiri. Tangan Anne hendak melepaskan pakaian Irisa, namun terhenti ketika sebuah tangan lain menepisnya pelan. “Aku bisa melepasnya sendiri, Anne.” Anne memang pelayan yang ditugaskan untuk melayaninya, namun Irisa tidak ingin diperlakukan seperti anak kecil yang bahkan melepas pakaian pun harus dilakukan oleh pelayan. Bahunya memang sakit, namun bukan berarti dia tidak bisa menggunakan tangannya dengan baik. “Nyonya ....” Begitu pakaian Irisa terlepas, Anne sontak membelalakkan mata dan menutup mulutnya yang sedikit terbuka karena terkejut. Kedua bahu Irisa tampak memar keunguan, membuat Anne semakin bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi. “Jangan memikirkan apa pun, lakukan saja tugasmu dengan baik, Anne.” Dari cara Anne memandangnya pun, Irisa sudah bisa menebak isi kepalanya. Anne pasti penasaran dengan luka yang Irisa dapatkan dan tentu saja pelayan itu pun pasti mengasihaninya. Allen hampir tidak pernah melukai tubuh Irisa, lebih sering berteriak dengan kata-kata kasar. Mungkin karena tubuh Irisa adalah aset berharga baginya, jadi pria itu harus menjaganya dengan baik. Seperti saat ini, mengetahui Irisa yang tampak kesakitan di bagian bahunya, Allen langsung menyuruh Anne untuk mengobati bahu Irisa yang terluka. Anne terlebih dahulu mengompres bahu Irisa dengan es batu yang telah dibungkus dengan kain selama beberapa menit, lalu mengoleskan salep ke sektiar memarnya. Sebelumnya, Anne hanya membawa kotak P3K, namun Allen tiba-tiba menyuruhnya membawa sekantung es batu untuk sekalian dibawa ke kamar utama yang tentu saja langsung dia kerjakan. Anne sempat bingung, luka seperti apa yang didapat majikan wanitanya? Namun, sekarang dia sudah mengerti dengan melihatnya sendiri. Meski banyak pertanyaan lain yang membuatnya penasaran, Anne merasa tidak berhak untuk bertanya dan akhirnya memilih diam. “Saya sudah selesai mengobati Nyonya. Hanya saja, agar salepnya tidak menempel dengan pakaian, akan lebih baik jika Nyonya memakai pakaian yang tidak berlengan hingga salepnya kering.” “Aku mengerti. Terima kasih, Anne.” *** Sejak melihat Anne masuk ke dalam kamar utama, Allen terus menunggu di depan kamar sembari menyandarkan punggungnya di dinding. Meski wajahnya tampak tenang, namun hatinya gelisah dan merasa khawatir dengan Irisa. Ketika Anne keluar dari kamar dan menutup pintu, Allen segera berdiri tegak menghadapnya yang membuat tubuh pelayan itu terlonjak seketika, namun tidak dia pedulikan. “Bagaimana keadaannya?” Saat pertanyaan itu muncul, Anne yang masih menundukkan kepala pun mengerjapkan matanya beberapa kali. Pikir Anne, Allen hendak memarahinya karena membuat kesalahan yang tidak disadari, namun ternyata dugaannya salah. “S-saya sudah mengobati luka Nyonya Irisa, jadi Anda tidak perlu khawatir.” “Baiklah, kau boleh pergi.” Anne baru saja hendak melangkah hingga tiba-tiba Allen kembali berbicara dan membuatnya berhenti sejenak. “Ah, satu hal lagi. Panggil Robert ke ruang kerjaku, aku akan menunggunya di sana.” “Saya mengerti, Tuan.” Allen menatap pintu kamar utama yang di dalamnya ada Irisa. Itu adalah kamar miliknya dan tidak boleh ada orang yang masuk ke kamar itu, selain dirinya. Bahkan, para wanita yang pernah dia bawa ke rumah tidak pernah menginjakkan kakinya ke dalam kamar utama. Lain dengan Irisa Rockwell. Wanita itu sangat spesial hingga membuat Allen ingin terus mengurungnya di dalam kamar, tidak ingin membaginya dengan yang lain meski hanya sekadar melihat. Berbagi kamar utama adalah hal sepele, Allen bahkan bisa memberikan apa pun yang Irisa inginkan. Cukup lama berada di posisi yang sama, akhirnya Allen melangkahkan kakinya menuju ruang kerja. Untuk sementara, dia akan membiarkan Irisa sendirian dan beristirahat. Allen merebahkan dirinya di atas sofa. Sejurus kemudian, seorang pria berambut panjang masuk setelah sebelumnya terdengar ketukan pintu. “Anda memanggil saya, Tuan?” Robert berdiri menghadap Allen yang masih berbaring di atas sofa. Tampak jelas apabila majikannya tengah memikirkan sesuatu, melipat kedua tangannya untuk dijadikan bantal sembari menatap langit-langit ruangan yang didominasi warna putih. “Kali ini, masalah apa yang sedang Anda hadapi? Anda tidak mungkin memanggil saya hanya untuk melihat Anda berbaring seperti ini, bukan?” Seketika Allen menghela napas. Di saat kepalanya penuh dan tidak bisa dipakai untuk berpikir, Allen selalu memanggil Robert—asisten pribadi kepercayaannya—untuk memberikan solusi atas permasalahannya. Robert adalah orang yang tenang dan juga cerdas, seseorang yang selalu bisa diandalkan. “Aku menyakiti Irisa.” “Dan saya sudah sering mendengarnya.” Allen memicingkan matanya ke arah Robert. Memang benar kalau Allen sering mengatakan itu kepada sang asisten, namun kali ini berbeda. Ada masalah serius yang membuatnya marah hingga tanpa sadar menyakiti Irisa. “Irisa ingin pergi ke rumah sakit untuk bekerja, tapi aku tidak suka itu dan melarangnya.” “Itukah alasan Anda mencengkeram bahunya hingga memar?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD