Lepaskan Pakaianmu

1121 Words
Irisa melemparkan tatapan tajam ke arah Allen. Sudut bibirnya berkedut karena kesal setelah dipermainkan dan menjadi bahan lelucon pria itu. “Itu sama sekali tidak lucu!” Apakah sangat menyenangkan baginya membohongi seseorang yang tidak mengingat kejadian di saat mereka sedang mabuk? Sikap Allen yang seenaknya sungguh membuat Irisa muak, apalagi melihat wajah tertawa pria itu. Apa gunanya memiliki wajah tampan, namun sikap dan kepribadiannya seperti sampah? Setelah menikah dengan Allen, Irisa ingin sekali memberitahukan kepada semua wanita di luar sana; jangan pernah percaya dengan pria tampan! “Apa kau baru saja meninggikan suaramu padaku?” “Benar. Lantas, apa yang akan kau lakukan? Membunuhku?” Kali ini Allen sudah tidak lagi duduk di atas sofa, melainkan berdiri di hadapan Irisa dengan jarak yang sangat dekat. Tubuhnya sedikit membungkuk hingga akhirnya menempelkan keningnya dengan wanita itu. Mata mereka saling bertatapan, hidung bersentuhan yang tentu saja bisa saling merasakan hembusan napas masing-masing, dan bibir mereka hanya berjarak sekitar 1 sentimeter. “Jauhkan wajahmu dariku dan enyahlah!” Namun, perkataan tajam Irisa sama sekali tidak dihiraukan. Allen justru meraih wajah wanita itu dan mengusapnya lembut, hingga tiba-tiba mengatakan sesuatu yang membuat wanita itu menatapnya bingung. “Panggil namaku. Jika kau melakukannya maka aku akan melepaskanmu.” Pikir Irisa, pria di hadapannya ini memang sudah gila. Dia sudah berteriak dan menyuruhnya menjauh, namun pria itu justru meminta Irisa untuk memanggil namanya? Tak pernah sekali pun Irisa memanggil nama Allen, bahkan selamanya pun tidak akan pernah. Dia tak sudi mengucap nama seseorang yang sangat dibencinya. Setelah cukup lama bergelut dengan pikirannya sendiri, sontak Irisa mendorong d**a bidang Allen agar menjauh. Kedua kaki jenjang yang sejak tadi menggantung di sisi ranjang tersebut lantas melangkah pergi. Allen mendengus kecil. Dengan segera dia menahan tangan Irisa agar tidak melangkah lebih jauh, namun tangannya ditepis oleh wanita itu. “Apa sesulit itu mengucapkan namaku? Ketika aku menyuruhmu melepaskan pakaian, kau langsung melakukannya. Tetapi, mengapa begitu sulit membuatmu mengucapkan namaku yang hanya terdiri dari dua kata?” Allen Castellar. Dua kata itu sudah terucap dari mulut Irisa saat sedang mabuk dan tentu saja itu pertama kalinya Allen mendengar Irisa mengucapkan namanya. Allen hanya ingin mendengar Irisa mengucapkan namanya lagi, itu sebabnya dia meminta wanita itu melakukannya. Egoiskah? Lama tidak mendengar jawaban, Allen pun menghela napas. Sepertinya dia harus menyerah untuk membuat wanita yang sejak tadi memunggunginya tersebut agar memenuhi keinginan konyolnya. “Lupakan saja. Lagi pula, namaku tidak terlalu penting hingga kau harus mengucapkannya. Jaga saja tubuhmu dengan baik dan jangan sampai terluka.” Setelah mengatakan itu, Allen pun berjalan menuju pintu dan meninggalkan Irisa yang masih diam seribu bahasa. Meski tidak terlihat, namun sebenarnya Allen sangat kecewa. Baginya, menghadapi Irisa itu lebih sulit daripada menaklukan harimau. Mengapa Irisa langsung patuh saat Allen menyuruhnya melepaskan pakaian, sedangkan menyebutkan nama, wanita itu justru mempersulit diri? Apakah menyebut nama Allen lebih sulit dibandingkan memberikan tubuhnya? Dipikir bagaimana pun, Allen tidak mengerti. Begitu pintu kamar tertutup, seketika tubuh Irisa luruh ke lantai. Menghadapi Allen tidak semudah yang dia kira. Aura pria itu terlalu kuat dan selalu membuatnya takut hingga gemetar. Meskipun begitu, dia berhasil mengendalikan ketakutannya di hadapan pria itu. *** Irisa keluar dari kamar dengan penampilan rapi dan riasan tipis di wajahnya. Saat melewati ruang tengah menuju pintu utama rumah, Irisa mendapati Allen yang tengah duduk bersilang kaki sembari membaca buku tebal bersampul hitam. Sebuah kacamata berbingkai putih bertengger di hidungnya, namun tak menghilangkan kesan tegas dan aura kuat pria itu. Berusaha untuk tidak peduli, Irisa terus melangkah melewati Allen. Hingga tangannya menggapai daun pintu dan tiba-tiba terdengar suara maskulin dari arah belakang, membuatnya harus berhenti seketika. “Kapan aku mengizinkanmu ke luar rumah?” Pertanyaan Allen sontak membuat Irisa mengerlingkan mata. Tangannya masih memegang daun pintu dan tak berniat melepaskannya. “Aku harus pergi bekerja.” Irisa mengatakan itu tanpa menoleh sedikit pun. Sejurus kemudian, terdengar suara buku yang ditutup dan kemudian hening selama beberapa saat. Keheningan itu membuat Irisa gugup hingga menerka-nerka, apa yang sedang dilakukan pria itu hingga tak bersuara? Namun, seketika kegugupan itu berubah menjadi keterkejutan, begitu mengetahui bahwa Allen sudah berada di belakangnya dan berbisik di telinga. “Kau tidak perlu bekerja hanya untuk mendapatkan uang. Cukup minta saja padaku, berapa pun yang kau inginkan.” Allen sungguh benci ketika melihat Irisa harus tetap bekerja meski wanita itu sudah menikah dengannya yang super kaya di Pennsylvania. Selain itu, yang membuat Allen lebih benci lagi adalah karena Irisa pasti akan bertemu dengan Loudy Ragraph. Membayangkan Irisa yang tersenyum dan berbicara dengan pria itu, tanpa sadar membuat Allen mengepalkan tangannya dan mengeraskan rahang. Meski mereka hanya sebatas rekan kerja dan Loudy pun adalah tunangan Vega, namun Allen harus tetap waspada terhadap pria itu. “Aku ingin menghasilkan uangku sendiri. Lagi pula, aku juga menyukai pekerjaanku sebagai perawat.” “Tidak boleh!” Allen membalikkan tubuh Irisa ke arahnya, mencengkeram bahunya erat yang kemudian membuat wanita itu meringis. Bagaimana pun, dia tidak akan membiarkan Irisa pergi ke rumah sakit meski harus menggunakan kekerasan. “Akh! Lepaskan! Kau menyakiti bahuku!” Irisa berusaha melepaskan diri dengan memukul-mukul tangan Allen. Namun, tenaganya tidak cukup besar untuk melawan seorang pria yang notabene lebih kuat dibandingkan seorang wanita. Seolah gelap mata, Allen tak menghiraukan perlawanan Irisa dan teriakan kesakitannya. Irisa sangat berharga baginya dan dia tidak akan membiarkan wanita itu tercemar oleh pria lain. Jika diperlukan, Allen bahkan bisa mengurung Irisa di dalam kamarnya dan mengunci semua akses keluar-masuk. Bulir bening yang sudah menumpuk di pelupuk mata itu akhirnya jatuh sepanjang dagu. Irisa menangis, membuat Allen membelalakkan mata hingga tanpa sadar cengkeraman tangannya pun melonggar. “Maaf.” Irisa menggelengkan kepalanya dengan lemah. Berapa kali pun Allen meminta maaf, kata itu tidak akan mengobati rasa sakit yang selama ini dialaminya. Tubuh serta hatinya terluka oleh setiap kata dan perilaku kejam pria itu. Allen bergeming sejenak, tidak tahu harus melakukan apa. Permintaan maafnya pun tidak membuat Irisa menghentikan tangisnya. Padahal, itu adalah permintaan maaf yang pertama kali Allen ucapkan kepada seseorang. Setelah membuang napas kasar, Allen melakukan sesuatu yang tidak terduga. Allen menggendong Irisa di depan d**a dan segera membawanya ke dalam kamar, mengingat hanya itu yang bisa dia lakukan saat ini. Irisa tidak memprotes atau memberontak. Bahunya terlalu sakit untuk melakukan perlawanan yang akan berakhir sia-sia. Dia hanya diam hingga akhirnya Allen menurunkannya di atas sofa panjang. Pria itu tidak ikut duduk, melainkan hanya berdiri sembari menatap ke arah Irisa. Ekspresinya sudah melunak dibanding beberapa saat yang lalu, ketika dia mencegah Irisa untuk tidak pergi. Bahkan, sekilas wajahnya terlihat menyesal meski Irisa tidak yakin dengan itu. Tidak lama kemudian, tangan besar Allen menyentuh salah satu bahu Irisa yang seketika membuatnya meringis dan mengaduh. Namun, hal itu tidak menjadikan Allen menjauhkan tangannya, pria itu justru menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. “Lepaskan pakaianmu.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD