“Nungguin apa sih kamu, San? Mantengin hape terus,” ucap Areta yang duduk di samping Sani saat mereka sedang makan siang di kantin kampus. Bahkan Sani hanya mengaduk-aduk soto mienya tanpa memakannya sedikit pun.
“Albian belum juga ngabarin aku. Padahal seharusnya dia kan sudah sampai dari kemarin.” Sani menghela nafas panjang, menatap mangkuk sotonya yang tidak menarik lagi.
“Yaelah, baru ditinggal sehari aja udah galau. Dibawa happy aja kali, San. Seneng-seneng mumpung jauh dari pacar,” bisik Areta pada kalimat terakhirnya. Gadis itu terkekeh geli.
Sani mencebikkan bibirnya. “Aku kan cemas.”
“Lagian dia pasti udah sampai kali.” Areta mengedikkan bahunya. “Toh nggak ada berita macem-macem kayak pesawat jatuh, kan?”
“Hussss! Ngomongnya ngaco deh,” sungut Sani yang tampak tak suka.
“Ya, kamu juga sih. Mungkin Albian masih repot mengurus ini itu, kan dia baru pindah. Maklumin aja. Nanti juga ngabarin,” ucap Areta yang terdengar lebih masuk akal kali ini. Sani pun akhirnya diam.
“Aku mau beli es campur aja deh. Butuh penyegaran,” ucap Sani yang bersiap beranjak dari tempatnya. Tapi karena ia tidak lihat-lihat, saat berbalik ia malah menabrak d**a bidang seorang pria hingga minuman di tangannya jatuh ke lantai dan mengotori sepatunya. “Duh! Maaf.” Ia merasa tak enak menatap sepatu hitam itu kini terkena noda jus alpukad yang begitu kontras dengan warna sepatunya.
“Kalo mau bangun tuh hati-hati, jangan asal aja. Gimana sih?” kata pria itu dengan nada dingin.
Mendengar suara yang tidak terlalu asing, Sani pun mengangkat wajahnya dan menatap wajah pria itu.
Ternyata benar.
Pria itu adalah pria menyebalkan di cafenya temp hari. “Kau... “ Pria itu tampak mengenali gadis di depannya. Mungkin ia terkejut melihat gadis berpakaian pelayan cafe sekarang malah berada di depannya, di kampus. Jadi dia salah satu mahasiswi di sini?
“Kamu... “ Nafas Sani tercekat. Ia menelan ludah dengan susah payah. Diliriknya Areta yang duduk di tempatnya dan gadis itu tampak terpana dengan ketampanan pria di depannya.
“Sudahlah.” Pria yang Sani lupa namanya siapa itu mengibaskan tangannya. “Aku malas berurusan denganmu.” Ia pun berlalu begitu saja dan dengan sengaja menubruk bahu Sani hingga gadis itu sedikit terdorong ke samping.
Sani mengepalkan tangannya dengan perasaan kesal. Harusnya ia sekalian saja membuat baju pria itu kotor, jangan hanya sepatunya saja. Pria itu sangat angkuh dan menyebalkan. Padahal salahnya juga nggak lihat ada orang yang mau bangun dari kursinya. Dia juga sama cerobohnya. Gadis itu berdecak kesal ketika merasa dirinya diperhatikan oleh banyak mahasiswa di kantin ini. Rasanya untuk menikmati es campur yang menyegarkan pun menguap begitu saja.
“San San sini!” Areta menarik tangan Sani untuk segera pergi dari kantin.
Sani yang sudah malas pun pasrah saja ketika sahabatnya itu menarik tangannya ke arah taman yang agak sepi. “Kenapa sih?” Ia benar-benar nggak mood kali ini.
“Kamu tahu nggak siapa yang kamu tabrak tadi? Pria tampan ituuu!” ucap Areta dengan mata berbinar.
Sani menaikkan sebelah alisnya. Ia sama sekali tidak tahu siapa pria itu. Namanya pun sudah lupa. Ia hanya tahu jika pria itu adalah pria menyebalkan dan paling arogan yang pernah ia tahu. “Nggak tahu dan nggak mau tahu juga.” Ia melipat kedua tangannya di depan d**a. “Emangnya kenapa sih? Lagian aku baru tahu ada cowok senyebelin itu di kampus kita.” Ia mendengus, terlihat sekali jika masih kesal.
“Itu tuh Pak Steve.”
“Ah ya namanya Steve ehmmm mhhhh... “ Sani terkejut saat Areta malah menyekap mulutnya dengan tangan gadis itu. “Apa sih, Ta?” Ia melepaskan tangan sahabatnya itu karena hampir kehabisan nafas. Ia baru ingat nama pria menyebalkan itu adalah Steve. Tentu saja saat pria itu menyebutkan nama dan memesan kopi americano di cafe tempatnya bekerja.
“Kamu jangan kenceng-kenceng. Kalo ada yang denger gimana?” Areta langsung menatap ke sekitarnya, memastikan tidak ada yang mendengar percakapan mereka berdua saat ini. “Kamu kenal Pak Steve?”
“Pak... Pak segala. Emang dia siapa sih?” kerutan di kening Sani memperlihatkan jika gadis itu heran dan juga masih kesal.
“Dia penggantinya pak Santoso alias dia anaknya Pak Santoso, yang akan jadi dosen kita sebelum UTS nanti!” Areta kembali memperingatkan sahabatnya.
“A-apa?! Dia?!” Sani tampak sangat terkejut. Berarti pria itu juga yang ia lihat kemarin di bandara saat mengantar Albian. “Kok bisa?”
“Ya kamu. Kok bisa kenal pak Steve? Malah kayak kesel banget gitu lagi.” Areta memicingkan matanya dengan curiga.
“Dia pernah ke cafe tempatku bekerja, pokoknya nyebelin. Sombong banget.” Sani mendengus kesal jika mengingat soal kejadian itu lagi.
“Gawat dong, San! Dia kayaknya juga inget kamu. Bahaya ini bahaya. Bisa-bisa nilai kamu jadi taruhannya.” Areta menggeleng-gelengkan kepalanya dan menatap Sani dengan prihatin.
“Apa sih? Jangan bikin aku parno deh. Masa gara-gara gitu doang dia sampe jatuhin nilai aku nanti.” Mau tidak mau Sani ikutan panik. Apalagi soal nilai juga menyangkut tentang beasiswa yang ia dapatkan. Bagaimana jika pria menyebalkan itu balas dendam dan mengadu ke ayahnya untuk menjatuhkan nilainya? Gawat!
“Mending mulai sekarang jangan macem-macem sama dia deh, San. Daripada beasiswa kamu terancam.” Areta mengedikkan bahunya. “Cari aman aja.”
Sani mengangguk lemah. Sekarang kekhawatirannya mendadak bertambah. Khawatir soal Albian yang tidak kunjung memberinya kabar, juga khawatir soal nilai-nilainya. Benar-benar sial.
Areta kemudian sibuk dengan ponselnya. Sesekali gadis itu tersenyum kecil sembari menatap benda pipih di tangannya itu. Mereka memang sudah tidak punya jadwal kuliah lagi hari ini dan Sani pun sedang libur kerja. Jadi mereka memutuskan masih berada di kampus untuk makan siang. “Duh! Cowok aku mau jemput nih. Kamu nggak apa-apa pulang sendiri?” tanyanya sembari menatap Sani sekilas sebelum menatap ponselnya lagi.
“Cowok yang mana lagi?” tanya Sani yang acuh. Ia tahu betul jika Areta suka gonta ganti pacar. Dan semua pacarnya... ajaib!
Areta tersenyum geli mendapat pertanyaan seperti itu untuk ke sekian kalinya dari Sani. “Beda lagi. Tenang, kali ini aku jamin dia bukan suami orang. Cuma duda aja,” kekehnya.
Sani membuang nafas kasar. Ia tahu Areta salah saat menjalin hubungan dengan suami orang, untungnya setelah tahu pria itu sudah beristri, Areta segera menjauhinya. “Kamu nggak takut apa berhubungan sama pria yang jauh lebih dewasa begitu?” Ia tahu semua pacar Areta pasti berusia sepuluh tahun di atasnya.
Areta menggeleng dengan wajah yang tenang, seolah umur tak masalah baginya. “Yang penting dompetnya tebel, San.” Ia malah tersenyum lebar, menunjukkan deretan giginya yang rapih.
Sani tidak terlalu memperdulikan bagaimana bebasnya kehidupan Areta, ia hanya menyayangkan keputusan Areta dan hubungannya. Masa iya seumur hidupnya gadis itu akan terus bermain-main dengan pria dewasa hanya demi uang?
“Kamu kan tahu aku nggak sepinter kamu sampai bisa dapet beasiswa, keluarga aku pun nggak akan mampu biayain kuliah. Jadi ini satu-satunya cara biar aku bisa memperbaiki taraf hidup aku sendiri, San. Meski kelihatannya salah sih.” Areta mengedikkan bahunya dengan acuh. Ia sudah biasa dengan penilaian orang lain terhadap kehidupan bebasnya. Tapi ia tak peduli, toh mereka tidak memberinya uang untuk sekedar bayar uang semester atau apapun. Jadi kenapa ia harus mendengarkan omong kosong mereka? “Tenang aja.” Areta menepuk pundak Sani yang tampak diam saja. “Soal suami, aku maunya juga yang single kok. Doain aja biar kita cepet lulus dan aku bebas dari pria-pria tua itu!” Ia terkekeh geli dengan ucapannya sendiri.
Sani hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, heran dengan jalan pikirnya Areta. Ia juga tidak mau asal menilai karena tidak tahu bagaimana sebenarnya keluarga Areta itu, meski memang mereka bersahabat sejak masuk kuliah. Areta senang berteman dengan Sani yang tidak menjudge dirinya yang berpacaran dengan om-om. Sani pun memang tidak suka berkomentar soal hidup orang lain. Ia sendiri tahu kehidupannya tidaklah sempurna, jadi untuk apa heboh mengomentari hidup orang lain?
“Tapi yang lebih dewasa juga oke sih. Pokoknya beda deh. Berasa disayang banget. Coba aja kamu rasain kalo pacaran sama yang jauh lebih dewasa.” Areta tersenyum tipis membayangkan bagaimana pria-pria itu menyayanginya dan memberikannya apapun yang ia inginkan.
Sani berdecak. “Kamu lupa jika aku masih pacaran sama Albian?” Alis sebelahnya terangkat.
“Jangan lupa juga jika pria itu belum mengabarimu.” Areta lagi-lagi tersenyum mengejek.
Helaan nafas keluar lagi dari mulut Sani. Lagipula, siapa juga yang mau menjalin hubungan dengan pria yang jauh lebih tua? Toh ia sudah memiliki Albian yang bahkan umurnya sepantaran dengannya. Dan ia juga bahagia kok dengan cara Albian mencintainya. Meski sekarang hubungan mereka harus dijalani secara jarak jauh, bukan berarti kebahagiaan mereka akan berkurang. Iya kan?