Begitu sampai di rumahnya pada sore hari, Sani melihat rumah tantenya itu sudah terang pertanda jika wanita itu sudah sampai di rumah.Apalagi mobil Pajero putih yang terparkir di halaman. Ia pun masuk ke dalam dengan perasaan senang karena sudah seminggu lebih tidak bertemu dengan Deyana.
“Tante!” sahut Sani begitu masuk ke dalam rumah dan mencari sosok Deyana.
“Ih! Apa sih, San? Teriak-teriak gitu kayak di hutan aja. Tantemu ini nggak budek loh.” Deyana muncul dari arah dapur dan memegang secangkir teh lemon yang wanginya sampai bisa Sani hirup dari tempatnya.
Sani hanya terkekeh kecil lalu menunjukkan paper bag besar yang dibawanya. “Aku bawa oleh-oleh.Enak nih buat temen ngeteh.” Ia mengeluarkan satu persatu cemilan yang dibelinya dan diletakkan di atas meja dapur.
“Wah! Kamu abis dari puncak, San?” tanya Deyana yang melihat merk-merk cemilan yang keponakannya beli adalah makanan khas dari salah satu toko terkenal di kawasan Puncak.
“Dari Bandung sih sebenernya, Tan.” Sani tersenyum lebar, tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya.
“Sama siapa?” tanya Deyana dengan tatapan curiga tapi Sani malah senyam senyum dengan wajah yang memerah. “Sama pacar kamu ya?” tebaknya yang ternyata tepat sasaran. Terlihat Sani yang seperti salah tingkah.
“Hehehe iya, Tan. Soalnya Albian mau ke Singapore buat pertukaran mahasiswa selama satu tahun. Jadi katanya ngelepas kangen sebelum pergi,” ucap Sani yang tampak malu-malu.
Deyana sebenarnya sudah kenal dengan pria yang sering mengantar Sani pulang itu tapi tidak pernah mengobrol secara dekat. Hanya saling menyapa saja. “Hati-hati loh,” ucapnya membuat senyum Sani seketika memudar dan menatap ke arahnya. Deyana hanya tersenyum tipis. “Jangan terlalu percaya serratus persen pada pria. Mereka bisa menghancurkan kepercayaanmu kapan saja,” ucapnya dengan wajah serius, wajah yang jarang sekali Deyana tunjukan selama ini. Karena biasanya ia menjadi sosok tante yang santai pada keponakannya.
“Kenapa memangnya, Tan?” tanya Sani, penasaran.
“Ya, pria bisa berbuat sesuka hati jika sudah dipercaya. Kadang seorang gadis yang sedang jatuh cinta selalu percaya dengan pria yang dicintainya sampai terkadang buta.”
“Maksud tante? Albian nggak bisa dipercaya gitu?”
Deyana tersenyum tipis lalu duduk di kursi sembari menatap Sani yang berdiri di depannya. “Bukan begitu. Tante hanya mau menasehati kamu agar lebih hati-hati. Omongan pria tuh seringkali terdengar manis sekali sampai kamu bisa terbuai, tapi jika akhirnya mereka mengecewakan kamu… kamunya yang sakit, mereka sih pasti ngerasa biasa aja. Apalagi setelah mendapatkan yang mereka inginkan.” Ia mengedikkan bahunya dan merasa nyeri pada rongga dadanya, seakan mengingat masa lalu yang membuatnya memutuskan tetap berkarir dan tidak menikah meski umurnya sudah kepala tiga.
Mendapatkan yang mereka inginkan?
Sani terngiang-ngiang dengan empat kata itu. Seketika hatinya mencelos, apakah ia bisa mempercayai Albian? Walau Albian selama ini terlihat sangat baik dan setia padanya. Tapi ia merasa belum mengenalnya sejauh itu.
“Tante hanya nggak ingin kamu kecewa, sayang. Kamu sudah tante anggap seperti adik tante sendiri.” Deyana tersenyum tipis, berharap keponakannya dapat mengerti kekhawatirannya. Apalagi Sani adalah keponakan yang dititipkan olehnya semenjak kepergian Riana, kakak kandungnya yang meninggal bersamaan dengan melahirkan anak kedua mereka delapan tahun yang lalu. Disusul kepergian suami Riana, Faiz… yang meninggal karena penyakit jantung satu tahun kemudian.
Deyana yang hanya hidup bersama sang kakak pun merasa kehilangan yang begitu besar, apalagi kala itu ia baru menyelesaikan kuliahnya. Ia pun langsung bekerja sebagai asisten desainer salah satu seniornya di kampus hingga bisa seperti sekarang. Ia berniat menyekolahkan keponakannya, Sani sebagai bentuk balas budi pada sang kakak. Tapi Sani malah dapat beasiswa dan ia pun hanya bisa memberinya uang saku dan memenuhi kebutuhannya yang lain.
“Iya, Tan. Sani akan jaga diri kok,” ucap Sani yang sebenarnya merasa tertohok.Ia sudah memberikan segalanya untuk Albian. Akankah pria itu menjaga kepercayaannya?
…………
Sani jadi kepikiran dengan ucapan tantenya.Seakan sebuah keraguan perlahan menyusup ke dalam hatinya. Padahal selama hampir dua tahun berhubungan dengan Albian, ia tidak pernah merasa ragu sedikitpun karena sikap Albian yang selalu membuatnya begitu percaya. Ia sampai tidak bisa tidur memikirkannya.
Hingga sampai hari keberangkatan Albian tiba, pria itu diantar oleh keluarganya dan Sani hanya bisa melihat pria itu dari jauh.Karena tak mungkin Sani ikut mengantarnya sampai dalam dan membuat kedua orangtua Albian terkejut dengan kedatangannya.Setahu mereka, Albian adalah anak yang rajin dan mungkin juga tidak pernah pacaran karena fokus dengan kuliahnya. Entahlah Sani terlalu percaya pada pria itu sehingga selalu mengiyakan saja ucapan Albian yang membicarakan soal pandangan orangtua dan keluarga besarnya.Sani tidak ingin membuat kepercayaan orangtua Albian pada anaknya memudar hanya karena kehadiran dirinya.
Pesawat yang Albian tumpangi pun take off, tanpa pesan pamitan atau apapun yang pria itu kirim ke ponselnya. Padahal Albian tahu jika hari ini Sani turut mengantar kepergian pria itu ke bandara. Tapi Sani tidak ingin berburuk sangka. Mungkin saja memang pria itu terburu-buru dan di pesawat semua ponsel harus sudah dimatikan.
Sani hanya menatap ponselnya yang tanpa pesan apapun itu, lalu kepalanya mendongak ke langit cerah di atasnya. Semua ini terasa cukup berat bagi Sani, karena harus dipisahkan oleh jarak dengan pria yang ia cintai. Selama ini Albian menjadi pria yang selalu ada di sampingnya, menemaninya di kala sendirian karena kesibukan tante Denaya dan ia yang hanya gadis yatim piatu. Jadi jelas, kepergian Albian cukup membuatnya kesepian.
“Mungkin dalam dua jam ke depan Albian akan mengabariku, toh penerbangan ke Singapore tidak akan lama.” Sani berusaha menenangkan dirinya sendiri. Ia pun berbalik dan sempat melihat seorang pria berkacamata hitam yang sedang mengobrol dengan salah satu dosen di kampusnya yang juga adalah keluarganya Albian. Pak Santoso. Ia tahu jika dosennya itu sengaja mengantar keponakannya untuk pertukaran mahasiswa di Singapore bersama kedua orangtua Albian. “Itu anaknya Pak Santoso, kan? Yang akan menggantikan Pak Santoso sebagai dosen? Tapi kok aku kayak pernah lihat ya.” Ia memicingkan matanya, sayangnya pria berkacamata hitam itu serta Pak Santoso sudah masuk ke mobil mereka dan pergi dari sana.
Sani pun memilih untuk segera mencari bus khusus yang akan membawanya pergi dari sini. Jika naik taksi lagi, sayang uangnya. Toh tadi ia naik taksi hanya demi mengantar Albian tepat waktu. Sekarang ia masih punya waktu tiga jam sebelum jam kerjanya dimulai. Gadis itu pun akhirnya naik ke dalam bus berwarna biru. Untunglah bus itu tidak terlalu ramai jadi ia bisa mendapatkan kursi kosong. Helaan nafas Sani terasa berat ketika melihat sebuah pesawat baru saja take off dari Bandara.
Mungkin saja Albian ada di dalam sana.
Gadis bermata Hazel itu memejamkan matanya sejenak, mencoba untuk beristirahat sebelum bekerja sampai malam nanti. Ia butuh banyak tenaga untuk menghadapi satu tahun kehidupannya tanpa Albian di sisinya seperti biasa. Entah kenapa semuanya terasa jauh lebih berat ketika menyadari banyak hal yang sudah Sani lewati bersama Albian sebelum pria itu pergi. Terutama kehangatan yang terus membayang di dalam kepalanya.