Seperti biasa, setelah menyelesaikan kuliahnya Sani langsung pergi ke cafe tempatnya bekerja. Demi melewati hari-harinya yang mulai sepi. Ditambah Albian yang belum juga mengiriminya kabar. Bahkan sosial media pria itu pun tidak pernah online, terakhir online saat Albian masih di Indonesia. Lagipula benar kata Areta, jika terjadi sesuatu pada Albian pasti satu kampus sudah heboh. Albian kan termasuk mahasiswa famous di sini, terutama karena pria itu yang memenangkan gelar peserta OSPEK pria yang terbaik. Wajahnya pun tampan dan juga pintar, siapa yang nggak suka coba?
Jadi, Albian pasti baik-baik saja dan mungkin dia sedang sibuk. Ya sepertinya begitu.
Baru saja Sani berdiri beberapa menit di belakang meja kasir demi memulai pekerjaannya,ekor matanya menangkap sosok pria yang sangat ia kenal berjalan masuk ke dalam cafe sembari melepas kacamata hitamnya. Gadis itu seketika menghela nafas panjang, mencoba mengendalikan emosinya jika lagi-lagi pria itu menguji kesabarannya.
Kring!
Bunyi dentingan ketika pintu cafe terbuka.
Pria bertubuh tinggi dan tegap itu kini berdiri di depan Sani dengan wajah datarnya. “Matcha latte satu, medium sugar,” ucapnya singkat sambil mengeluarkan selembar uang berwarna merah.
“Baik.” Sani menerima uang itu dan segera menyiapkan pesanan pria yang bernama Steve itu. Ia pun segera memberikan uang kembalian dan juga matcha lattenya ke Steve, kali ini ia perhatikan sekali agar kejadian tempo hari tidak terulang lagi.
Steve memperhatikan nama yang tertulis di gelasnya dengan alis terangkat. Mungkin pria itu heran karena pegawai yang pernah berselisih dengannya masih ingat dengan namanya. Tapi kemudian satu sudut bibir Steve terangkat ketika pria itu berbalik dan mencari kursi kosong. Jelas gadis itu tahu namanya, dia kan calon mahasiswanya. Lihat saja nanti. Mendadak ia tak sabar untuk menggantikan peran ayahnya menjadi dosen dan bertemu gadis itu lagi di kampus. Dari keterkejutan gadis itu tadi siang bersama temannya, sepertinya gadis itu masuk di dalam kelas ayahnya.
Baru saja Steve memikirkan gadis yang sedang berdiri di belakang kasir itu, tiba-tiba gadis itu sudah berdiri di samping meja Steve sembari meletakkan secangkir americano di mejanya. Steve mengangkat wajahnya dan menatap gadis bermata hazel itu. “Untuk apa?” tanyanya dengan suara dingin.
“Eh, ini untuk mengganti americano anda yang waktu itu.” Gadis yang Steve tatap tampak gugup, persis seperti waktu di kantin tadi siang. Entah kenapa Steve malah menikmati kegugupannya.
“Jika memang kamu merasa bersalah, maka kamu harus duduk di sini dan menghabiskan americano itu. Saya sudah pesan minuman sendiri dan tidak mungkin meminum dua jenis kopi ini sekaligus.”
“Hah?” Sani tampak gugup dan melirik ke arah Evan yang sedang berdiri di samping meja kasir. Pria itu juga yang menyarankannya untuk berdamai dengan pelanggan yang ia anggap menyebalkan. Apalagi setelah tahu pelanggan menyebalkan itu masih mau mampir ke cafe ini setelah kejadian tempo hari. Sudah seharusnya Evan menyuruh pegawainya untuk menunjukkan sikap yang baik. Jika bukan karena Evan yang menyuruh, Sani benar-benar enggan berhadapan dengan pria ini.
Steve hanya mengedikkan matanya ke arah kursi kosong di depannya sebagai isyarat agar gadis itu duduk di sana.
Sekali lagi Sani melirik ke arah Evan yang menganggukan kepala padanya, pertanda ia harus menuruti permintaan pria ini.Gadis itu pun menghela nafas dan duduk di depan Steve. Padahal ia sangat tidak suka americano yang pahit itu. Tapi sekarang ia malah harus meminumnya, bersama pria menyebalkan. Makin nggak karuan aja rasa kopinya nanti.
“Diminum,” ucap Steve lagi yang menyedot mathca lattenya yang terlihat jauh lebih menggiurkan dibanding secangkir kopi berwarna hitam pekat di depan Sani.
Sani hanya mengangguk kecil sembari memegang cangkir yang terasa hangat itu lalu meminumnya sedikit. Dahinya langsung mengkerut ketika rasa pahit mendominasi lidahnya saat ini.
“Saya hanya menghindari tindakan suap yang kamu lakukan,” ucap Steve yang membuat Sani langsung menyemburkan kopi yang baru diminumnya. ”Hei!”
Sani melotot tak percaya melihat cipratan kopi yang mengotori kemeja biru yang Steve kenakan. Benar-benar sial, harusnya ia menolak saja ucapan Evan tadi. “Ma-maaf, Pak.” Ia segera membersihkan pakaian Steve dengan tisu miliknya.
Steve menepis tangan Sani dengan kasar. “Kamu nyuri kesempatan buat pegang-pegang saya ya?!” sahut Steve dengan nada yang tidak ramah sama sekali.
“Bukan gitu. Anda sendiri yang asal bicara.” Kesabaran Sani mulai habis menghadapi pria menyebalkan ini. Meski pria ini katanya akan menjadi dosen pengganti di kelasnya. “Kenapa juga saya harus menyuap anda?” Alisnya terangkat dengan nada yang sama tak ramahnya seperti yang Steve lakukan.
Steve menatap tajam ke arah Sani. “Karena saya calon dosen kamu, jadi kamu ngerasa tindakan kamu ke saya waktu itu salah. Lalu kamu sekarang seakan menyesalinya agar nanti tidak kena masalah di kelas saya, kan?” tebaknya langsung.
Sani menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak percaya dengan jalan pikiran pria yang katanya sangat cerdas ini. Padahal ia murni melakukan ini atas suruhan atasannya, bukan menyangkut paut dengan kuliahnya. Itu sih ia sudah pasrah. Mengingat pertemuannya dengan Steve tidak pernah berjalan lancar. “Saya hanya melakukan hal yang menurut saya benar untuk saya lakukan. Tapi ternyata pikiran anda picik sekali ya. Apa anda sedang berpikir untuk membuat kehidupan kuliah saya sulit hanya karena masalah pribadi di antara kita tempo hari?”
Pria di depan Sani menopang dagu dengan kedua tangannya, menatap gadis di depannya dan mendengus. “Mungkin saja.”
Sani berdecih. “Kekanakan sekali. Saya pikir anak pak Santoso sepintar apa sampai bisa lulus S2 di usia muda dan akan menjadi pengganti ayahnya di kampus, ternyata hanya pria yang bersifat kekanakan.” Ia tersenyum miring melihat rahang Steve yang mengeras.
“Kamu akan menyesal dengan pembicaraan kita hari ini.” Steve menghela nafas lalu beranjak dari tempatnya dan meninggalkan matcha latte yang baru diminum sedikit. “Bayangkan saja rasa Americano yang kamu minum tadi adalah apa yang kamu rasakan setelah masuk ke kelas saya nanti.” Ia tersenyum miring tanpa berbalik dan menatap lawan bicaranya lagi.
“Duh!” Sani memukuli kepalanya sendiri, menyesali dengan apa yang barusan ia katakan pada Steve. Bisa-bisanya ia malah memancing emosi calon dosennya itu. Jika dia benar-benar membuatnya kesulitan di kampus nanti bagaimana? Bisa-bisa beasiswanya dicabut jika ada nilainya yang C atau D. Membayangkannya saja membuat Sani bergidik. Ia tidak ingin mengecewakan dan merepotkan Tante Deyana.
“Kenapa, San?” tanya Evan saat Sani beranjak dari kursi dan kembali ke meja kasir. “Nggak berjalan lancar ya?” Ia meringis melihat wajah kusut pegawainya itu.
Sani mendengus kasar lalu mengedikkan bahunya. “Ya begitulah.”
“Sorry ya. Harusnya aku nggak... “
Satu tangan Sani terangkat agar atasannya itu tidak melanjutkan ucapannya. “Its ok, Evan. Memang pelanggannya aja rada-rada.”
...................
Steve hanya memperhatikan Sani yang kembali berdiri di belakang meja kasir dengan wajah kusutnya. Ia pasti berhasil membuat gadis itu khawatir dengan kehadirannya di kelas nanti. Perlahan kedua sudut bibirnya terangkat. Sudah lama sekali ia tidak membuat seseorang kesal dengan sikapnya, terutama seorang gadis. Entah kenapa ia malah jadi tidak sabar untuk menggantikan ayahnya di kampus. Padahal tadinya ia enggan sekali. Tapi melihat keberanian Sani padanya, ia merasa tertantang. Sampai mana gadis itu bisa bersikap angkuh di depan calon dosennya sendiri?
.................
Mau cerita yang Hot, Bucin dan Mengandung Bawang, Masih Free Koin dan segera Update Tiap Hari? Mampir aja yuk ke karya punyanya "Mey Olivia" judulnya "Terjerat Cinta Sugar Daddy". Bikin nagih pokoknya