16. LELAKI MINIM EMPATI

1152 Words
Alunan lagu yang bersumber dari audio di mobil Gentala menemani perjalanan pulangnya mengantar Denallie ke kos. Gadis di sebelahnya masih diam namun air matanya tetap saja keluar. Entah bagaimana caranya memberi nasihat agar berhenti menangis karena semuanya sia-sia. Tetapi Gentala sadar kalau Denallie juga wanita biasa yang punya perasaan kecewa dan marah saat dikhianati. Jalanan mulai lengang karena sudah masuk tengah malam. Harusnya kurang dari 20 menit, ia bisa sampai di alamat tujuan. Tetapi sepertinya akan sedikit terlambat karena perutnya merasa lapar. Ia menoleh ke samping, memastikan kondisi Denallie sebelum ia bicara. “Kamu lapar, nggak?” tanya Gentala kepada Denallie. “Kamu pikir dalam keadaan seperti ini masih punya selera makan?” sindir Denallie. Ia mengusap kembali air matanya, setelah itu menoleh ke samping. “Memangnya kenapa?” “Aku lapar. Sebelum saya antar pulang, kita singgah sebentar buat beli makan. Nggak masalah, kan?” Denallie menggeleng, menolak ajakan Gentala karena tidak sesuai dengan tujuan awal. “Turunin aku di depan, aku pulang naik taksi atau ojek online aja. Silakan kalau kamu mau beli makan atau apalah, aku mau cepat sampai rumah.” “Kamu serius ngomong begitu?” “Memangnya kenapa?” tanya Denallie balik. Gentala berdecak sambil menggelengkan kepala. Sesekali menoleh ke samping karena harus tetap fokus mengemudikan mobil. “Saya sudah berbaik hati sama kamu buat bantu kasih bukti soal Jiro. Ucapan terima kasih juga belum saya terima. Dan sekarang kamu nolak buat mampir sebentar untuk beli makan. Sungguh keterlaluan,” sindir laki-laki itu. “Aku nggak pernah minta bantuan sama kamu. Kenapa jadi diungkit-ungkit? Kalau nggak ikhlas, sejak awal nggak usah bantu,” balas Denallie tidak mau kalah. Gentala nyaris kehilangan kata-kata setelah mendengar pembelaan Denallie. Apa yang Abila katakan memang benar. Wanita di sebelahnya ini memang tidak mudah untuk diintimidasi dan gengsinya terlalu tinggi. Berdebat pun seakan tidak kehabisan tenaga meski hatinya sedang terluka. “Ya sudah, nggak jadi. Saya antar kamu pulang, karena tiba-tiba perut saya kenyang berdebat dengan kamu.” Denallie tidak lagi menanggapi. Pandangannya terlempar ke luar, tanpa tahu apa yang sedang dipikirkan. Suasana pun menjadi hening karena Gentala tidak lagi memutar lagu. Entah karena jengkel dengan Denallie atau memang ingin ketenangan. “Memangnya mau makan di mana?” tanya Denallie tiba-tiba. “Hah?” Wanita itu menoleh, dengan kening mengkerut. “Kamu mau makan apa dan di mana?” “Di warung pecel lele mungkin,” jawabnya. “Ya sudah, aku mau. Tapi jangan cari yang jauh, searah saja biar nggak lama.” “Oh, oke.” Apa yang dikatakan oleh Gentala benar terjadi. Mobil mewahnya berhenti di warung tenda pinggir jalan yang masih ramai akan pembeli. Di Jakarta tidak sulit menemukan tempat makan yang buka meski sudah larut malam. Dan Gentala bukan orang yang anti dengan makanan pinggir jalan. Selama tempatnya bersih dan makanannya enak, maka tidak ragu untuk membeli. “Kamu yakin nggak mau pesan?” tanya Gentala sambil menunggu pesanan. Denallie menggeleng pelan. “Aku nggak selera makan.” “Patah hati memang merepotkan,” gerutunya. Makanan yang dipesan Gentala sudah datang. Seporsi ayam goreng lengkap dengan nasi. Ia memang belum makan sejak tadi sore. Selama di Purple, ia Cuma memesan minuman karena saat itu belum lapar. Dan ternyata ia masih manusia biasa yang pada akhirnya merasakan perutnya keroncongan kemudian menuntut untuk diisi. “Biasanya kalau pergi sama Jiro, dia ngajak kamu ke mana?” tanya Gentala sambil menikmati ayam dengan sambal. Kening Denallie mengkerut. Ekspresi wajahnya menampakkan rasa tidak senang atas pertanyaan laki-laki di hadapannya. “Nggak bisa ya, fokus sama makanan? Kenapa harus nanya urusan pridadi orang lain?” “Ya Tuhan, kenapa kamu sensitif sekali. Saya jadi penasaran, wanita segalak kamu, harusnya punya insting kuat soal pasangan. Tapi kenapa malah nggak sadar kalau sedang diduakan.” Gentala masih menikmati makanannya tanpa menatap wajah Denallie. Sampai akhirnya dibuat terkejut karena suara tangisan kecil. Begitu mengangkat wajah, ia mendapati wanita di hadapannya menangis dengan kepala tertunduk. “Eh, kenapa nangis?” “Kenapa sih kamu masih aja ngejek aku soal Jiro? Sepertinya kamu memang bahagia lihat aku patah hati seperti sekarang. Iya kan?” Perlahan orang-orang yang sedang makan di warung itu mengalihkan perhatian ke meja yang ia dan Denallie tempati. Tentu saja ini pertanda tidak baik. Gentala merasa tatapan orang-orang sedang menyalahkannya karena membuat Denallie menangis. Sial, ia terlalu ceroboh menggoda seorang wanita hingga menangis di tempat seperti ini. “Jangan nangis lagi, nanti saya dikira macam-macam sama kamu,” ucap Gentala sedikit panik. “Biarin mereka tahu kalau kamu nggak punya rasa simpati sama aku,” jawabn Denallie sedih. “Kamu ini benar-benar menyebalkan. Bisanya bikin orang sedih padahal sudah tahu lagi ada masalah. Dokter nggak punya hati!” Hilang sudah rasa lapar Gentala melihat Denallie kembali menangis. Sebenarnya bukan takut akan disalahkan tetapi tangis wanita ini cukup menyentuh hatinya. Gentala segera menyampingkan makanannya, lalu bergeser tempat duduk di samping Denallie. “Sebaiknya saya antar kamu pulang. Daripada nangis di sini, yang ada kamu jadi malu,” ucap Gentala. “Ini semua juga salah kamu, kan?” bentak Denallie kesal. “Oke, ini salah saya. Tenang, kita pergi sekarang.” Perjalanan yang hanya tersisa beberapa menit dilalui dengan keheningan. Hanya terdengar suara mesin mobil yang cukup halus. Denallie sama sekali tidak bersuara dan memilih untuk memalingkan wajah. Seakan tidak sudi menatap wajah Gentala yang menyebalkan. “Berhenti di sini saja,” ucap Denallie pada akhirnya. “Kos kamu yang mana?” tanya Gentala. “Di dalam dan mobil nggak bisa masuk,” jawabnya dingin. Gentala mengangguk pelan. “Ya sudah, biar saya antar kamu sampai kos.” “Nggak perlu, nggak usah repot!” balasnya ketus. Gentala melihat Denallie membuka sabuk pengaman lalu membuka pintu mobil. Ia pun tidak diam, ikut menyusul wanita itu keluar dari mobil meski tanpa diminta. “Terima kasih sudah kasih aku tumpangan,” ucap Denallie masih dengan raut wajah sedih. “Sama-sama.” “Satu lagi, jangan menganggap kita dekat setelah apa yang kamu lakukan. Aku nggak pernah minta bantuan, jadi jangan paksa aku untuk merasa berutang budi.” Gentala tersenyum lalu menghela napas panjang. Akhirnya wanita ini masih ada tenaga untuk marah. “Terserah kamu mau ngomong apa, saya nggak peduli.” “Baguslah. Silakan pulang, hati-hati di jalan.” “Tunggu Dena!” Wanita itu menoleh lagi. “Ada apa lagi?” “Maaf untuk yang tadi. Bercanda saya mungkin keterlaluan.” “Bercanda?” Denallie tersenyum remeh. “Lebih tepatnya kamu cowok yang minim empati. Aku nggak minta dikasihani tapi sikap kamu benar-benar menyebalkan!” “Makanya saya minta maaf sama kamu. Selesai, kan?” “Terserah!” Gentala menatap kepergian Denallie dari hadapannya. Wanita itu berjalan di gang sempit yang cukup minim cahaya lampu. Gentala pun terus mengamati sampai bayangan Denallie benar-benar hilang. Tidak lama, terdengar erangan kasar penuh sesal. “Aku memang payah dalam urusan mengibur orang, terutama perempuan. Harusnya aku bisa menahan diri, setidaknya nggak menambah sakit hati gadis itu,” gumamnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD