15. BANYAK CINTA UNTUK WANITA LAIN

1159 Words
“Mau sampai kapan kamu tinggal terpisah dengan Tante Anne? Apa nggak kasihan sama mama sendiri setiap hari berharap anaknya pulang?” Salah satu sudut bibir Jiro terangkat menampilkan senyuman remeh. Tangannya yang satu sibuk menuangkan minuman ke dalam gelas milik Gentala. Mereka bertemu di salah satu bar yang cukup sepi sehingga enak untuk ngobrol. “Memang ada pengaruhnya aku pulang atau enggak? Rasanya sudah nyaman tinggal di tempat sendiri, bisa bebas melakukan apa pun yang aku mau,” ucapnya. Jiro menuguk minuman miliknya hingga tandas. “Aku nggak nyaman tinggal di rumah mewah keluarga Daneswara. Apalagi di sana ada anak tunggal kesayangan Tuan Petra. Jadi jangan basa-basi nanya kenapa aku nggak pulang.” Kondisi Jiro sudah mulai tidak stabil. Terlalu banyak alkohol yang diteguk hingga ucapannya pun mulai melantur. Gentala yang melihat keadaan adik tirinya, hanya bisa menghela napas dan menggeleng. Tidak menyangka kalau anak baik yang selalu diceritakan Anne ternyata tukang minum. Sudah satu bulan Jiro tidak pulang dan menyebabkan Anne sempat jatuh sakit. Sejak awal Jiro memang memilih tidak ikut tinggal bersama karena saudara tirinya masih belum menerima Petra sebagai ayah. Sama seperti Gentala, hanya saja ia masih bisa bersikap dewasa dan berusaha untuk biasa saja jika berhadapan dengan Anne. “Aku sibuk kerja, jadi nggak sempat pulang. Tolong kasih tahu mamaku, jangan khawatir, aku nggak marah dengan dia,” ucap Jiro lagi. Gentala menghela napas lalu mencicipi sedikit minuman karena tidak ingin mabuk seperti Jiro. “Buat apa kamu punya hape canggih kalau nggak bisa dipakai nelpon mama kamu?” Jiro berdecis. “Kenapa kamu repot ngurus kehidupaku? Mau berlagak sebagai kakak yang baik?” “Saya nggak pernah menganggap kamu sebagai adik. Kamu sendiri juga sama, kan?” “Benar, aku cuma anak tunggal sama sepertimu, Gentala!” Tangan Jiro siap menuang minuman ke dalam gelas miliknya namun Gentala segera mencegah. “Jangan minum lagi, saya nggak suka ngurus orang mabuk.” “Sedikit lagi. Dan kamu nggak perlu ngurus aku, enggak usah repot.” Sejujurnya Gentala sangat malas bertemu dengan Jiro. Sifat mereka hampir mirip, keras kepala dan masa bodo. Tetapi Petra meminta tolong demi menenangkan hati Anne karena Jiro menghilang tanpa kabar. Padahal Gentala sudah mengatakan kalau adik tirinya baik-baik saja, sehat dan masih bernyawa. “Mau ke mana?” tanya Gentala saat Jiro turun dari kursi. “Ke toilet, mau ikut?” Gentala berdecis sinis. “Jangan buat masalah atau saya tinggal.” Sembari menunggu Jiro kembali dari toilet, Gentala fokus memainkan ponselnya. Membaca pesan masuk dari beberapa teman wanita yang terus mengganggunya. Perhatiannya teralihkan saat melihat layar ponsel Jiro yang diletakkan di atas meja menyala. Nama dan foto muncul sebagai penelepon. “Dena Sayang?” Diam-diam Gentala memperhatikan foto seorang wanita. Sangat tidak asing baginya. “Kayaknya aku pernah lihat. Tapi di mana, ya?” Panggilan itu Gentala abaikan karena tidak ada hak untuk menjawab. Tidak lama berselang, ponsel itu kembali menyala. Ada telepon masuk tetapi dengan nama wanita dan foto yang berbeda. Seketika saja Gentala tidak bisa menahan senyumnya. “b******k juga orang ini. Ternyata bukan Cuma suka minum, tapi pemain juga,” gumamnya. Gentala menceritakan semua yang ia tahu tentang Jiro. Termasuk alasan Gentala sering datang ke tempat Denallie bekerja. Setelah menyadari wanita yang menelepon Jiro adalah penyanyi dari bar langganannya, ia tidak bisa bersikap cuek atau masa bodo. Denallie dan juga Abila memang sudah salah paham terhadap kemunculan Gentala. Tetapi mengenai sifat laki-laki itu yang menyebalkan, Denallia tetap dengan pendapatnya itu. “Jadi kamu jangan salah paham lagi. Saya sering ke Purple atau ke tempat nyanyi kamu yang lain bukan karena saya tertarik, tapi saya mau cari cara buat kasih tahu kamu tentang kebenaran mengenai Jiro. Tapi sayang, tanggapan kamu selalu dingin, jadi saya malas cerita,” ucap Gentala. Denallie menutup wajahnya dengan kedua tangan. Tangisnya benar-benar pecah mendengar cerita Gentala. Merasa sangat bod0h karena ditipu oleh Jiro. Hatinya sakit, sampai bernapas terasa begitu sulit. “Kadang kenyataaan memang menyakitkan. Daripada kamu nggak tahu sama sekali, malah lebih sakit, kan?” “Jadi ini alasannya dia nggak pernah berniat bawa aku ketemu keluarganya. Karena dia nggak serius dan punya banyak selingkuhan,” ucapnya sambil terisak. Gentala menghela napas. Matanya memandang wanita yang menangis di dalam mobilnya. Ini kali pertama dan cukup membuatnya bingung harus bagaimana. “Kami menyesal kan, sudah membanggakan Jiro padahal dia itu busuk?” sindir Gentala. “Apalagi kamu membandingkan saya dengan dia. Jelas saya jauh lebih baik daripada dia,” sambungnya. Sindiran itu menyadarkan Denallie. Ia kembali mengambil beberapa lembar tisu untuk mengusap wajahnya yang semakin basah akibat air mata. “Kamu sama saja dengan Jiro. Dia selingkuh, sedangkan mulut kamu suka nggak sopan dan mesuum. Apa bedanya kalian berdua? Sama-sama b******k, kan?” Gentala menggaruk tengkuknya meski tidak gatal. Denallie memang berdeba dari banyaknya wanita yang ia temui. Dalam keadaan patah hati dan emosi, tapi semangatnya untuk memaki tetap ada. “Setidaknya saya nggak pernah mengikat wanita dengan sebuah status. Kalau saya suka bersenang-senang dengan mereka, harusnya nggak ada yang tersakiti. Beda dengan Jiro, sana sini mau tapi harus mengikat dengan status pacaran. Benar-benar egois.” “Cukup, jangan dibahas lagi. Aku benar-benar muak,” pinta Denallie dengan nada tinggi. “Sekarang kamu mau apa? Sudah bisa menerima kenyataan tentang Jiro?” “Menurut kamu, apa yang harus aku lakukan? Labrak dia dan caci maki di hadapan selingkuhannya?” Kening Gentala mengkerut dengan mata menyipit menatap Denallie. “Tunggu dulu, labrak di hadapan selingkuhannya?” “Iya, kenapa?” tanya Denallie polos. “Kamu yakin jadi yang pertama? Siapa tahu justru kamu yang jadi selingkuhannya,” ujar Gentala dengan santai. Tangis Denallie semakin pecah karena secara tidak langsung Gentala meledeknya. Ingin menjaga diri agar tidak semakin menyedihkan di hadapan laki-laki menyebalkan ini, justru semuanya runtuh akibat sakit hati yang tidak terbendung. Denallie ingin berteriak, melepaskan kekesalahannya. “Sudah-sudah, jangan ditangisi lagi. Kamu sudah cukup rugi, jadi jangan buang-buang waktu lagi,” ucap Gentala. Tangannya mengusap pelan pundak Denallie. Merasa iba melihat wanita itu menangis dengan kepala tertunduk. “Jangan terlihat lemah dan buat Jiro menyesal sudah mempermainkan perasaan kamu.” Perlahan Denallie mengangkat wajahnya, kemudian kembali melihat Gentala. “Buat dia menyesal?” “Iya. Memangnya kamu mau diam dan maafin dia begitu saja? Setidaknya tegakkan kepalamu saat mutusin dia. Paham Cantik?” Gentala memang sangat menyebalkan di mata Denallie. Tetapi malam ini, harus ia akui kalau laki-laki di sebelahnya ini berhasil membuatnya sadar kalau Jiro bukan orang yang tepat untuk diperjuangkan. Beberapa bulan yang berakhir sia-sia. Berpikir kesibukan pacarnya itu adalah untuk bekerja. Namun kenyataannya, Jiro memiliki banyak cinta untuk wanita lain. “Sudah malam, biar saya antar kamu pulang. Kalau mau nangis, lanjutkan di kos saja,” ujar Gentala santai. “Tunggu!” Gentala menahan niatnya menyalakan mobil. “Ada apa lagi?” “Kenapa kamu bantu aku sampai sejauh ini? Bagaimanapun, Jiro saudara kamu tapi kenapa kamu bela aku?” “Karena kamu terlalu b0doh, jadi saya kasihan. Nggak ada alasan spesial jadi jangan terlalu besar kepala,” tegasnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD