Bian kembali berlari pagi menuju satu lokasi tempat bidadari cantik yang berhasil memesonanya.
Adine Edrea.. I'm coming... Ibu dari kucingku.. Itu kamu! Tidak ada yang lain.
Bian tersenyum sendiri membayangkan dia dan dokter Adine mengurus kucing itu berdua.
Kenapa aku seperti ini? So childish Bian!
Keringat terus mengucur di tubuhnya. Otot kakinya yang kencang sudah semakin menegang. Tubuh tinggi besarnya seperti berkilau efek dari keringat membasahinya.
Beberapa orang kaum hawa yang melintas secara sadar melirik hingga dua kali. Ketampanannya memang begitu menarik mata, menimbulkan imajinasi liar yang berkeliaran di benak pikiran mereka.
Sosok Bian memang sebegitunya. Sebegitu memesona hingga mampu membuat para perempuan melirik hingga lebih dari dua kali.
Sampai akhirnya, ia tiba di Animalia Petworld. Bian tersenyum lebar dengan hanya membaca plang nama drh Adine Edrea. Ia melangkah masuk ke dalamnya, dan tanpa ragu langsung naik ke lantai dua.
Bian menyapa staf yang bertugas di meja registrasi, "Pagi, saya mau menengok Dre, si kucing kecil."
"Oh silahkan pak, bisa masuk ke ruang perawatan," jelasnya.
"Baik, saya tahu ruangannya," Bian pun melangkah menuju lokasi kucing kecilnya berada.
Namun di ambang pintu, langkahnya terhenti.
Senyum lebar langsung mengembang ketiak memperhatikan sosok drh. Adine Edrea tampak belakang sedang memeriksa kondisi kucing kecilnya.
My heart is going crazy! Or am I? Am I going crazy or not? Really Bian, you're not your usual self.
Ia menarik menarik dan menghembuskan nafas berulang kali.
Jangan kehilangan ketenanganmu! Kamu pasti bisa!
Setelah menarik nafas super panjang, Bian pun melangkah masuk ke dalam ruang rawat tersebut.
"Morning!" Bian menyapanya.
Dine menoleh dan tersenyum, "Pagi... Dre sudah membaik."
"Thank you. Berkat ibu kucing, anak kucing semakin membaik," Bian tergelak.
"Saya bukan ibu kucingmu," Dine tersenyum lebar.
Bian mengelus d**a kirinya berulang kali. Ia memperhatikan bibir merah Dina yang menggodanya. Tiba tiba saja, ia membayangkan menyentuh bibir indah itu.
Stop it! Pegang jantungmu! Senyum dokter Adine bisa membuatnya lepas. Apa aku sungguh kembali ke Jakarta? Atau ini surga dunia? Bibir indahnya menggodaku..
Tiba tiba Bian tergelak.
Sungguh isi kepalaku melantur kemana mana.
Dine mengerutkan keningnya, "Apa ada yang lucu?"
"Ada," Bian berkata tegas.
"Apa itu?" Dine penasaran.
"Aku! Aku lucu.. Hidupku seperti komedi dua hari ini.." Bian menjawab tanpa kejelasan.
"Hah?" Dine bingung sendiri.
Bian akhirnya tertawa, "Ah sudahlah.. Isi kepalaku sepertinya sedang tidak normal. Abaikan kelakuanku."
"Tapi untuk kamu tahu, aku normal. I'm fine.." Bian berusaha menjelaskan.
Dine akhirnya tertawa, "Aku tahu kamu normal. You look fine."
Sekilas ia memperhatikan otot otot tangan Bian yang begitu kencang dan kokoh. Tak hanya itu, rahang dan jakunnya yang menonjol semakin membuatnya terlihat jantann. Ingin rasanya menyentuh tubuh lelaki di hadapannya.
Hot! Hot! Hot!
"Hmm.. Dokter tidak lagi memanggilku bapak?" Bian menggodanya.
Dine berdehem, "Ehm.. Sorry."
"Tidak masalah. Sepertinya umur kita tidak beda jauh," Bian lalu menyodorkan tangannya, "Aku ayah kucing, namaku Bian."
Dine tersenyum sambil menyambut uluran tangan Bian, "Aku dokter hewan di sini, kamu bisa memanggilku Dine atau Dre."
"Ibu kucing dan anak kucing memiliki kesamaan nama.. Ini takdir!" Bian menggoda Dine.
Tangannya menggenggam erat tangan Dine.
Tak ingin rasanya melepaskan tangan ini, tapi.. Dia bukan milikku.. Tepatnya, belum menjadi milikku...
Bian kembali mengatupkan bibirnya menahan senyum.
Dine lagi lagi tersenyum, "Takdir apa?"
"Takdir kita terhubung lewat anak kucing.." Bian menjawab apa adanya.
Dine tersenyum dan menggelengkan kepalanya, "Takdir kita? Apa tidak salah? Lebih tepatnya takdir anak kucing dan aku, bukan kita."
Bian tertawa, "Aku dan Dre tak terpisahkan. Dia dan kamu, sama saja seperti aku dan kamu."
"Bukannya anak kucing ini baru kamu temukan kemarin?" Dine tergelak. "Bagaimana mungkin tak terpisahkan. Kalian baru juga kenal."
"Yes, tapi.. Soon to be inseparable..." Bian ikut tergelak. "Aku memutuskan akan mengadopsinya."
Dine lalu menatap Bian dengan serius, "Mmm.. Apa kamu menyukai binatang??"
Bian tersenyum, "Aku tidak bisa hidup tanpa mereka. Mereka menjadi sumber kehidupanku dan juga hidup banyak orang."
Ia mengatupkan bibirnya menahan diri untuk bercerita lebih lanjut.
Emery Holding adalah perusahaan yang berkecimpung di bidang agribisnis, yaitu sistem usaha yang menggabungkan kegiatan pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan, dan sumber daya alam. Salah satunya tentu saja peternakan yang menghasilkan produk pangan, seperti daging, telur, dan s**u.
Ia sudah terbiasa berhubungan dengan hewan sejak kecil. Ayahnya sering mengajak ke perternakan milik keluarganya. Bian menemui peternak yang membudidayakan, mengembangbiakkan hewan ternak di ladang atau padang peternakan. Bahkan sedikit banyak, ia bisa membantu proses kelahiran hewan ternak.
Emery Holding berhasil menumbuhkan usaha agrifood nya yang mengacu pada semua proses dalam rantai pangan pertanian. Mulai dari menghasilkan produk pertanian, pengolahannya, hingga ketersediaannya di rak-rak toko. Atau meliputi proses produksi, pengolahan, inventarisasi, distribusi hingga pemrosesan.
Tak heran kapitalisasi pasar Emery Holding mencapai 3,18 trilyun dolar dan masuk menjadi tiga besar perusahaan agribisnis di seluruh dunia. Emery Holding juga menjadi perusahaan produk pertanian terkemuka di dunia berdasarkan pendapatan. Pada akhir tahun buku, melaporkan pendapatan sebesar 550 milyar dolar.
Di tanah air, Emery Holding memiliki kebun kelapa sawit dan juga peternakan sapi dan unggas terbesar. Belum lagi peternakan sapi Abram Creek yang ada di Australia Selatan.
"Ehm," Dine berdehem, "Kenapa melamun?"
Bian menatap Dine,"Sorry. Kamu bicara soal binatang, dan ingatanku melayang kemana mana.."
"Aku seorang relawan penyayang binatang. Kamu tahu Yayasan Satwa Dwipantara?" tanya Bian.
Dine mengangguk, "Aku sering menitipkan hewan hewan terlantar ke yayasan tersebut."
"Yes, aku relawan di situ," Bian tersenyum. "Banyak kucing kucing lain yang membutuhkanmu sebagai ibunya di sana.."
Dine tergelak, "Ada ada saja."
"Apa ibu kucing mau ikut berpartisipasi dalam kegiatan minggu ini?" tanya Bian sambil menahan senyumnya.
Ini kesempatan untuk bisa dekat dengan Dine!
"Kegiatan apa?" Dine langsung tertarik.
"Pertama adalah vaksin rabies dan vaksin lainnya secara terbatas. Yayasan membuka kesempatan para pemilik hewan peliharaan untuk mendapatkan vaksin gratis. Kedua, edukasi soal pemeliharaan dan perawatan hewan. Ketiga adalah pemeriksaan dan pengobatan gratis," Bian memaparkan.
"Menarik," Dine berbinar senang. Ia selalu menyukai kegiatan yang melibatkan binatang.
"Mau bergabung? Aku jemput nanti minggu," tanya Bian.
Dine tertarik, tapi..
Apa Banan akan mengizinkannya berkegiatan dengan Bian? Atau aku lakukan secara diam diam? Toh ini demi kebaikan.
"Aku ikut, tapi kamu tidak perlu menjemputku. Nanti kita ketemu di lokasi," Dina memutuskan.
"Siap bu dokter..." Bian tersenyum senang.
"Dre, kamu harus cepat sehat," Bian kemudian mengusap usap kepala kucing kecilnya, "Kalau sudah sehat, kamu bisa ikut ayah dan ibumu bertemu teman temanmu."
Dine lagi lagi tersenyum.
Lucu juga aku menjadi ibu kucingnya.. Bian.. Kamu semakin menarik saja di mataku..
"Dokter, ada pasien," staf klinik tiba tiba muncul di ruang rawat.
"Baik," Dine menoleh.
Ia lalu melihat ke arah Bian, "Bye. Sampai ketemu nanti minggu."
Bian hanya mengangguk tanpa menjawab apapun. Ia terdiam memperhatikan langkah Dine yang menjauh dari pandangannya.
I'm falling hard.. I'm falling hard..
Dine berjalan menjauh. Secara perlahan tangannya menyentuh d**a kirinya.
Oh.. Jantungku! Calm down Dine.. Tenang...
Gayung bersambut.
Cukup dua kali pertemuan. Bian jatuh hati semakin dalam. Dine pun menyadari kalau ada yang berbeda di hatinya. Dua insan manusia yang mulai terhubung oleh takdir.