Banan terbangun. Ia menatap sekeliling ruangan yang memang bukan apartemennya. Tangannya menyentuh tubuh perempuan yang ada di sampingnya.
"SH*T! Aku tertidur!" Banan terkaget kaget.
Ia langsung duduk di tempat tidur.
Perempuan di sampingnya hanya tersenyum, "Ini masih pukul enam. Tidak perlu kaget begitu."
"Aku lupa menghubungi Dine semalam. Dia pasti mencariku," Banan mengecek ponselnya.
Tapi ponsel itu ternyata mati.
"Apa kamu mematikan ponselku?" Banan merasa kesal.
"Semalam Dine menelepon. Aku terganggu," jawabnya.
"D*mn! Kamu hanya cari masalah," Banan langsung menyalakan ponselnya.
Perempuan di sampingnya secara perlahan naik ke atas tubuhnya, dan mengambil ponsel di tangannya.
"Jangan dulu menyalakan ponsel. Kamu bisa bilang kalau ponsel habis baterai dan kamu tertidur. Jangan panik," ucapnya sambil menyimpannya kembali di meja samping tempat tidur.
"Masih ada waktu sebelum pergi ke kantor," ucapnya.
Banan menatap tubuh polos selingkuhannya ini. Buadadanya yang cukup besar dengan cup C itu berhasil menggodanya. Ia mulai menyentuh dan meremasnya.
Tubuh perempuan di atasnya itu mulai meliuk tanpa henti. Banan membalikkan tubuhnya hingga mempermudahnya untuk menelusuri tubuh selingkuhannya itu.
Erangan keluar dari mulutnya saat Banan mulai menyingkapkan selimut dan menekuk kedua kakinya. Hentakan mendadak membuatnya merintih tak tertahankan. Jari jemarinya meremas bahu Banan dengan kuat.
Mereka berdua terus bergerak mengikuti hawa nafsu yang tidak terkendali.
Sampai akhirnya, Banan ambruk menimpa tubuh sang pelakor. Keduanya bersama sama menarik nafas panjang dan menenangkan diri.
"Aku mandi dulu," Banan langsung bangkit dan masuk ke kamar mandi.
Perempuan teman tidurnya itu ikut berdiri dan mengikuti langkah Banan.
***
Dine terdiam di ruang kerjanya. Hatinya sedikit sedih karena baru saja ada pasiennya yang mengalami sakit parah. Seekor anjing berjenis maltese menderita hemangiosarkoma atau kanker agresif pada pembuluh darah. Tumor hemangiosarkoma memang dapat berkembang di mana saja di dalam tubuh karena sel-sel kanker berkumpul di berbagai pembuluh darah, dan saat ini sudah muncul di dalam livernya.
Satu hal yang ia syukuri adalah karena sakitnya ini cepat diperiksakan. Gejala hemangiosarkoma kadang sering tidak terdeteksi hingga akhirnya terjadi pendarahan internal yang parah. Bahkan, bisa saja terjadi kematian mendadak. Pengobatan yang akhirnya dijalani si maltese kecil itu hanya memperpanjang harapan hidup sekitar tiga bulan saja.
Dine menarik nafas panjang. Ia memandang foto kucingnya yang menjadi screen saver ponselnya. Kucing berjenis british short hair itu dulu juga mati karena penyakit yang sama. Satu malam, tiba tiba saja, nafasnya berhenti berdetak.
Sedih rasanya. Tapi, bagaimana lagi? Setidaknya Dre sudah tenang dan tidak lagi sakit.
Dine kembali teringat sosok Bian dan kucing kecilnya yang bernama Dre. Rasa tertariknya timbul pada kucing kecil berbulu hitam itu karena memiliki nama yang sama seperti nama kecilnya. Namun, selain itu juga karena sama seperti nama kucingnya yang sudah tidak ada di dunia ini.
Ia kemudian membalikkan ponselnya untuk melupakan kenangan soal Dre. Tapi.. Dine kembali membalikkan ponsel itu dan mengecek aplikasi pesan.
Banan tidak mengabariku sama sekali. Kemana dia? Mana semalam tiba tiba saja ponselnya mati.
Dine hendak menutup ponsel itu, namun terdengar ada nada pesan masuk. Ia pun membukanya. Pesan yang ia sangka dari Banan, ternyata bukan.
Senyum lebar tersungging di wajahnya. Pesan dari seseorang yang selama dua hari ini membuatnya berdebar tak menentu.
Bian : Dokter Dine, ini nomor ayah kucing. Ayah dari Dre. (Bian)
Bian : Tolong simpan nomor ini.
Dine tergelak sendiri.
Ayah kucing, ayah kucing, kamu menggemaskan!
Dine pun membalasnya : Darimana kamu mendapatkan nomorku?
Bian : Itu mudah saja. Staf klinikmu sepertinya bukan orang yang mampu menjaga rahasia.
Dine tersenyum : Apa aku harus memecatnya?
Bian : Kalau kamu memecatnya, aku akan kehilangan informanku. Please don't!
Dine kembali tersenyum : Ada ada saja.
Bian : Aku menghubungimu karena mau meminta tolong.
Dine : Ada apa?
Bian : Secara mendadak, aku harus ke suatu tempat dan baru akan kembali dua hari lagi, di Hari Minggu nanti.
Bian : Please please please, sebagai ibu kucing, kirimkan foto foto Dre selama dua hari ini. Apa boleh? Kabari aku mengenai kondisinya.
Dine : Baiklah.
Dine : Suatu tempat kemana?
Tapi Dine kemudian menghapus pesan terakhir yang dituliskannya.
Kenapa juga aku ingin tahu?
Bian : Aku sudah membaca pesanmu. Kenapa menghapusnya?
Bian : I have to go down under.
Dine : Down under? Australia? Selandia Baru?
Bian : Yes. Both.
Dine : Baiklah.
Bian : Are you going to miss me?
Dine menggelengkan kepalanya : Bicaramu itu...
Bian : Ok. Sorry.
Bian : Sorry, not sorry.
Dine akhirnya tak kuat menahan tawanya.
Ini lelaki sangat percaya diri. Tapi.. Ah, entahlah.
Dine : Jadi kamu minta maaf atau tidak?
Bian : Tidak. Aku tarik kata kataku.
Bian : Not sorry.
Dine : Kenapa menarik kata katamu?
Bian : Aku hanya mengungkapkan isi kepalaku. Itu tidak salah.
Dine : Ya sudah.. Sesukamu saja..
Bian : Itu niatku. Aku akan melakukan yang aku suka.
Tok tok tok..
"Dok, ada pasien," ujar staf nya.
"Oh baik," Dine mengangguk.
Dine : Sudah dulu. Ada pasien.
Bian : Bye.
Sesaat, Dine sungguh melupakan kegundahannya soal Banan. Di pikirannya sekarang ini berisikan seorang Bian yang ternyata lucu dan menggemaskan. Tak hanya itu, ayah dari Dre ini sungguh lelaki yang HOT!
Ia mengingat sosok Bian yang mengenakan kaos putih dan celana pendek hitam dengan tubuh penuh keringat namun tetap harum. Bayangan otot kencangnya dan senyumnya yang menawan memunculkan debar aneh di dirinya.
Huuuhh... Panas.. Panas.. Jakarta sungguh panas!
***
Bian menutup ponselnya dengan perasaan senang. Ada desir desir aneh di perutnya.
Gosh! What a feeling! Keputusan untuk kembali ke Jakarta ternyata tidak salah. Ada cinta di sini...
Kucing kecil itu membawaku pada sosok Dine. Ini takdir.. Ini jodoh...
Ia pun tersenyum sendiri.
"Boss, are you.. Alright?" Zhian memutar telunjuk di pelipisnya.
"Definitely fine!" Bian tergelak. "Apa yang tidak alright?"
Zhian hanya menggeleng, "Weird.. Tapi.. Unspeakable.. No word.."
"Jangan dipikirkan. I'm fine. Meski, sepertinya, aku butuh udara segar," Bian bergerak ke arah rooftop kantornya.
Hari menjelang sore. Langit mulai berubah ke arah jingga. Pemandangan yang indah.
Ia berhati hati karena tidak ingin ada karyawan atau siapapun di kantornya melihat sosoknya. Meski sebetulnya, area rooftop yang terhubung ke ruangannya bisa dibilang tidak akan ada yang bisa memasuki, karena akses hanya melalui satu pintu khusus dan tidak untuk umum.
Ada waktunya aku akan memunculkan diri!
Bian menatap keindahan langit senja dengan bayangan Dine mengisi relung hatinya. Setelahnya, ia membaca kembali pertukaran pesan antara dirinya dan dokter dari Dre tersebut. Senyum terus menerus tersungging dari mulutnya.
Namun, ada teriakan seorang perempuan yang membuatnya tersadar, "Kamu serius akan tetap menikahi Dine?"
Nama "DINE" yang terucap menarik perhatiannya.
Ia memperhatikan sepasang umat manusia, laki laki dan perempuan, yang berada di area rooftop umum. Posisi area rooftop yang terhubung ke ruangannya sedikit lebih tinggi sehingga ia bisa melihat ke arah rooftop yang umum untuk karyawan. Namun, karyawan lain tidak akan bisa melihat ke arahnya.
"Iya. Kamu tahu kalau hubungan kita tidak serius! Aku sudah menegaskan dari awal untuk tidak menuntut apapun!" ucap lelaki itu.
"Aku tidak menuntut apapun. Hanya berharap, setidaknya kamu tidak jadi menikahi Dine!" ujarnya lagi.
"Aku harus menikahi Dine. Jangan mencegahku! Dan, jangan lagi membicarakan soal ini.. Apalagi di kantor," lelaki itu terlihat geram
Bian memicingkan matanya. Ia memperhatikan sosok laki laki dan perempuan tersebut.
Sosok lelaki itu... Aku.. Tahu.. Dia.. Banan Aleric.. Tunangan Dine..
Bian langsung merasa kesal dan geram. Tangannya mengepal. Tapi kemudian, dalam hitungan detik... Senyum mengembang di mulutnya.
Menikah? Kamu bilang akan menikahi Dine? Langkahi dulu mayatku! Over my dead body!
Kamu bukan untuk Dine! Hubungan kalian tidak akan berlanjut! Lihat saja!