Dine akhirnya membuka mulutnya, "Siapa yang menelepon barusan?"
"Biasa orang kantor," Banan menjawab acuh tak acuh.
Dine hanya menarik nafas panjang. Perasaannya tidak enak. Tapi, Dine memutuskan untuk diam. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Banan memasang ekspresi tidak ingin diganggu lebih lanjut. Sedangkan Dine tidak suka keributan di pagi hari.
Tak lama, Banan melihat jam tangannya, "Aku harus ke kantor sekarang. Sejak bos besar kembali ke Indonesia, suasana kantor seperti tegang."
"Bos besar?" Dine penasaran. "Siapa maksudmu?"
"Siapa lagi kalau bukan owner dan CEO dari Emery Holding, Abian Savero Emery," jelas Banan.
"Ow.. Dia.. Back for good? Atau sementara saja?" tanya Dine.
"Aku tidak tahu, tapi melihat gelagatnya, sepertinya kembali untuk menetap. Aku tidak tenang. Semua diobrak abrik olehnya," Banan menghela nafas. "Dasar orang kaya selalu seenaknya."
"Memang diobrak abrik bagaimana?" Dine mengerutkan keningnya.
"Iya, kemungkinan besar akan ada perbaikan sistem pengendalian intenal. Jadi sekarang ini sedang ada auditor dan konsultan berkeliaran mengecek pekerjaan tiap bagian dan divisi," jelas Banan.
"Padahal rasa rasanya semua sudah berjalan baik," Banan mengeluarkan isi hatinya.
"Namanya juga dia pemilik perusahaan, mungkin ingin yang terbaik," Dine menggumam sambil memainkan sendok garpunya.
"Ah, menurutku dia hanya anak muda yang manja. Tujuannya seperti ingin mempersulit saja yang kerja saja.." Banan kembali mengeluhkan sikap atasannya.
"Anak muda yang manja? Dia masih muda?" Dine mengerutkan keningnya.
"Usianya tiga puluh lima tahun. Seusiaku. Tapi dia tidak pernah memunculkan diri, jadi tidak banyak orang yang tahu wajahnya," jelas Banan.
"Oww.. Kenapa? Rahasia?" Dine penasaran.
"Entah. Sejak meninggalnya Ibu Aaria Rein Emery dan Bapak Abram Emery, dia menghilang dan tidak pernah memunculkan diri di kantor pusat di Jakarta, bahkan juga di tanah air. Kabarnya dia berdiam diri di peternakan Abram Creek milik keluarga Emery di Australia Selatan. Semua perintah dan keputusan bisnis disampaikan melalui kuasa sekaligus tangan kanannya, Bapak Zhian Raeef," jelas Banan.
Dine hanya mengangguk angguk.
Kelakuan konglomerat memang tidak bisa diterima nalar orang normal. Ah sudahlah...
"Aku pergi dulu," Banan mengelap mulutnya dengan tisu dan meminum air mineral hingga habis.
"Iya," Dine ikut berdiri mengantarkan Banan ke ambang pintu.
Banan mengecup pipinya. Dine hanya diam dan kemudian melambaikan tangan mengantarkan kepergian tunangannya itu.
Kenapa perasaanku tidak enak terus? Ada apa ini?
Ia mengelus dadanya berulang kali. Dengan hati tak menentu, Dine melangkah ke arah ruang rawat hewan hewan yang ada di kliniknya. Ia menghampiri kucing kecil bernama Dre.
"Halo kucing kecil, ayahmu kemana?" Dine tersenyum.
Dine tergelak mendengar ucapannya sendiri.
"Dok," stafnya tiba tiba datang.
"Ya," Dine menoleh.
"Ada pasien," ujarnya.
"Ok.." Dine pun melangkah pergi dari ruang rawat itu.
"Oh ya, lelaki tadi, yang membawa kucing, siapa namanya?" tanya Dine.
"Sebentar," staf itu membuka catatan di tangannya, "Namanya Bian SE. Cuma itu saja yang ditulisnya di form registrasi."
Bian.. Itu namamu.. Kamu.. Boleh.. Juga..
Kamu bertunangan Dine! Stop it!
Dine hanya mengangguk. Ia melangkah masuk ke ruang pemeriksaan untuk memeriksa pasien lainnya.
***
Banan bergerak menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari lokasi klinik. Namun sesaat sebelum masuk ke dalam mobil, tangannya ada yang menarik. Ia pun menoleh, matanya melotot.
"Apa kamu gila? Berani sekali menyentuhku di sini?" Banan berbisik. "Bagaimana kalau ada staf yang melihat?"
Perempuan di hadapannya hanya tersenyum dan mengecup pipinya dengan cepat, "Jangan berbuat kalau takut."
Banan membuka pintu mobil dan duduk di jok pengemudi. Perempuan itu dengan cepat ikut masuk dan duduk di sampingnya, di kursi penumpang.
"Turun," Banan menatapnya dan bicara dengan tegas.
"Kamu mau ke kantor kan? Aku ikut.." ucapnya.
Banan hanya menggelengkan kepalanya sambil menyalakan mesin mobil, "Apa yang kamu lakukan di sini?"
"Menemuimu. Aku tadi bertukar pesan sama Dine. Dia bilang kalau kamu ada di sini," jelasnya.
"Ini tidak bisa dibiarkan. Aku tidak mau Dine tahu," Banan menggerakkan mobilnya keluar dari area parkir.
"Salah sendiri kamu tidak mengangkat teleponku dan lama membalas pesanku," ucapnya.
Banan hanya menarik nafas panjang.
Ketika mobil menjauh dari lokasi tempat praktek Dine, perempuan di sampingnya ini kembali menciumnya. Bahkan tangannya dengan berani mengelus area di antara selangkangannya.
Banan mendesah pelan, "Jangan seperti ini."
"Aku tahu kamu menyukainya," desahnya.
"Tidak sekarang," Banan secara perlahan menggeser tangan perempuan itu.
"Lalu kapan?" tanyanya.
"Nanti malam," Banan menjawabnya. "Aku ke apartemenmu."
"Janji?" bisiknya.
"Iya.." Banan mengangguk.
Gairahnya memuncak. Apalagi melihat penampilan perempuan di sebelahnya yang berhasil menggodanya. Kancing kemejanya yang terbuka hingga memperlihatkan belahan d**a yang ranum dan kenyal. Tak hanya itu. Banan tahu kalau rok yang terangkat hingga memperlihatkan paha putih mulus dilakukannya dengan sengaja.
Mobil pun memasuki parkiran kantor. Ia mematikan mesin mobil dan melepas sabuk pengamannya. Tak menunggu lama, jari jemarinya merogoh kedua buahdada besar yang sudah menggodanya sepanjang jalan. Banan mengecupnya secara perlahan, bahkan meninggalkan satu bekas merah di sebelah kanan.
"Ahh.." Desahan perempuan di hadapannya itu semakin meningkatkan hasratnya.
Tapi, mau tidak mau, Banan memilih berhenti, "Nanti malam. Aku tidak bisa terlambat."
"Iya.." perempuan itu merapikan pakaiannya.
Keduanya turun dari dalam mobil dan melangkah ke arah lift dengan ekspresi seperti tidak terjadi apapun.
Banan bekerja di Kantor Pusat Emery Holding. Perusahaannya, Emery Food terletak di lantai tujuh, delapan dan sembilan gedung tiga puluh lantai terebut. Bagian marketing menempati ruangan tersendiri di lantai sembilan.
Ia pun menekan tombol lantai sembilan. Sedangkan perempuan di sampingnya itu menekan tombol lantai lain.
Ketika pintu lift terbuka, perempuan selingkuhannya itu turun lebih dulu. Mereka berpisah tanpa ucapan sepatah katapun.
Banan menggigit bibirnya. Ia tak sanggup menolak hasratnya. Meski di sisi lain, tak ingin kalau harus berpisah dari Dine. Hanya saja.. Dine selalu menolak sentuhannya. Ia tidak pernah bisa lebih jauh dari ciuman.
Sedangkan, ada perempuan lain yang menyerahkan segalanya. Ini seperti pelarian. Pelarian yang menyenangkan... Awalnya...
Hidupnya berubah menjadi penuh ketegangan setiap harinya. Tantangan yang meningkatkan adrenalinnya. Namun sekarang, ada rasa takut kalau Dine akan mengetahui semuanya.
Ia tidak mau itu.. Banan sudah bisa menebak, kalau Dine mengetahui rahasianya, hubungannya pasti akan berakhir.
Tapi, aku tak bisa lepas. Perempuan itu jadi pelepas syahwatnya secara rutin. Gairahh ini tidak bisa aku kendalikan.
Banan keluar dari lift di lantai sembilan. Ia memasuki ruangannya dan duduk diam. Setelah beberapa saat, ia menarik laci mejanya. Ada sebuah ponsel yang terus menerus berdering dalam mode silent. Tapi, ia abaikan. Banan kembali menutup laci tersebut.
Jari jemarinya berulang kali mengetuk meja kerjanya. Tatapan matanya kosong.
Ada rahasia yang ia simpan. Tidak ada seorang pun yang tahu.. Kecuali dirinya, dan...