Seorang gadis bersenandung ria di dalam kamarnya sambil memasukkan beberapa buku di tas. sebuah ketukan dari pintu membuatnya bergegas melakukan aktivitasnya. Rambut lurus sebahu itu diikat sembarangan.
Dengan cepat, dia membuka pintu itu, bercdecih pelan ketika melihat seorang pria dengan rambut sangat berantakan. Pria itu hanya mengedikkan bahu dengan acuh, tak peduli dengan ekspresi wajah gadis tersebut.
“Mandilah, Vic. Kau snagat bau.” Gadis itu menutup hidungnya-berjalan mendahului Victor.
“Tapi, aku tetap tampan. Dan semua temanmu memujaku, Rose,” kata Victor dengan percaya diri.
Sumpah, Rose ingin sekali memasukkan wajah Victor ke dalam minyak goreng panas agar rusak, atau ia menyiramnya dengan air keras.
“Jangan memikirkan hal konyol, cepat sarapan!” Victor mengacak rambut Rose lalu meninggalkannya untuk bergegas ke kamar mandi. “Ingat...! Aku mengantarmu! Jangan berangkat sendirian.
Rose mendesah pelan karena Victor selalu saja seperti ini, menjadi brother complex yang sangat dibencinya. Setiap ia pergi kemanapun, pria itu selalu menjaga layaknya berlian yang mudah di curi.
“Dasar saudara menyebalkan!” Rose menggigit roti dnegan kasar untuk melampiaskan kekesalan yang menderanya saat ini.
“Kau tak boleh kesal padaku, Rose.” Victor duduk dengan wajah senyum lebar, dan itu terlihat lebai di mata Rose.
“Jangan bilang kalau kau tak mandi.” Rose menjulurkan lidahnya dengan jijik.
“Siapa bilang? Aku mandi!” Victor mengendus bau tubuhnya yang wangi.
“Mandi ala bebek berenang di sungai, hanya semenit.” Tawa Rose pecah karena mengejek Victor dnegan terang-ternagan. Dan lihat, wajah pria itu sudah muram durjana membuat gadis tersebut semakin tertawa menggelar.
Karena kesal, Victor langsung menyumpal mulut Rose dengan roti agar berhenti tertawa. “Aa ang au akukan?” Rose berguman tak jelas sebab mulutnya penuh.
“hanya balas dendam.” Victor menarik tas punggung Rose supaya bangkit dari kursinya.
“Ial! Au ulum elesai!” Rose pasrah diseret paksa oleh Victor masuk ke dalam mobil.
“Minum ini.”
Gadis itu menelan roti itu dnegan kasar. “Bisa todak kau bersikap lembut. Aku ini seorang gadis.” Tawa Victor pecah seketika.
“Kau bukan seorang gadis. Dadamu saja rata,” ejeknya dengan terang-terangan. Rose kesal setemngah mati-menggembungkan kedua pipinya dengan cepat.
“Apa kau tak melihat bongkahan besar di dadaku?” Mata Rose menunjuk ke buah persik yang sangat menonjol itu. Dengan cepat, Victor melempar jaket kearahnya.
“Jangan tunjukkan milikmu di depan pria lain, Ros. Ini peringatan.” Victor tahu bahwa Rose kecilnya sudah tumbuh menjadi gadis yang sangat memikin pria luar di sana, dan ia harus ekstra ketat menjaga agar tak ada yang berani mengusik gadis kecilnya.
“Oh s**t!” umpatnya dengan keras membuat Rose mengaga lebar.
“Kau mengumpat padaku!” serunya tak percaya.
“Bukan seperti itu, Ros.” Victor membela diri.
“Baru saja kau mengumpat padaku, Vic. Oh... rupanya kau tak sayang padaku.” Rose menangis bombay berharap Victor cemas.
“Oke, aku salah. Jadi, apa yang kau inginkan bidadari kecilku?” Victor mnginjak pedal gasnya perlahan untuk pergi ke universitas dimana Rose belajar.
“Nanti malam akan ada pesta di rumah Clair. Aku ingin kau mengizinkanku untuk pergi.” Rose sudah membayangkan memakai gaun yang dibelinya beberapa hari lalu.
“No!” tolak Victor dnegan cepat membuat Rose kecewa.
“Ayolah, Victor..., bukankah kau berjanji padaku?” Mata bak anjing pun dikeluarkan oleh Rose, dan itu membuat Victor tak bisa berkutik sama sekali.
“Baiklah..., tapi jangan pulang terlambat. Sebelum pukul dua belas malam, kau harus berada di dalam rumah. Jika aku tak menemukanmu, maka aku akan menghukummu.” Victor menginjak pedal remnya dnegan cepat.
“Terimakasih, Vic. Aku mencintaimu.” Rose mencium pelan pipi Victor, dan beranjak pergi meninggalkan pria itu sendirian.
Di dalam mobil, Victor terus memandangi tubuh Rose yang kian menghilang. Ia menatap ke arah jam yang ada di pergelangan tangannya. “Sial! Kenapa dia begitu cepat dewasa?” Tangannya bertumpu di stang setir karena cemas dengan masa depan Rose. “Semoga, aku bisa terus melindungimu, Rose.”
Viktor pun meninggalkan tempat itu, melaju dengan kecepatan penuh. Setelah pria itu pergi, Rose yang yang bersembunyi di balik pilar langsung keluar, dna tersenyum. “Maafkan aku, Vic. Aku berbohong padamu. Tapi, ini yang terbaik. Aku janji sebelum pukul dua belas malam, aku pulang.” Langkah kaki gadis itu berjalan berlawanan arah. Ia terus menelusuri koridor sepi sambil menoleh ke kanan dan kekiri.
Tak jauh darinya, seorang gadis melambaikan tangan, begitu juga dengan dirinya ikut melambaikan tangan menyambut kedatangan gadis itu. “Jadi, apakah nanti kau akan datang ke tempat penampungan, Ros?”
Rose mengangguk dengan cepat, membyat gadis itu menganga lebar. “Aku takut Victor akan marah padamu, begitu pula denganku, Ros. Pikirkan lagi? Sebaiknya kau beritahu dia.”
“No, Claire. Dia tetap tak akan menyetujuinya.” Rose membuka pintu berwarna coklat. “Dan kita harus pergi ketempat itu.
“Wow! Jiwa pedulimu keluar, Rose.” Claire merangkul bahunya dengan cepat. “Aku akan ikut bekerja keras, asalkan kau mengijinkanku dekat dengan Victor.”
Rose menyodok perut Claire dengan pelan. “Bukankah aku sudah memberikan lampu hijau? Itu smeua tergantung usahamu, Claire.”
“Entah kenapa, Victorku selalu bersikap dingin dan acuh. Aku tak tahan, Ros.”
‘Kau akan menyerah!” seru Rose tak percaya.
“No, kenapa aku menyerah untuk mendapatkannya? Justru aku sangat bersemangat.” Claire mengambil kardus yang ada di atas meja. “So, kita berangkat sekarang!”
Rose mengangguk, dan ikut membawa kardus yang ada di atas meja. Mereka berdua keluar dari ruangan berjalan menuju parkiran mobil. “Tempatnya lumayan jauh, kau harus bersiap untuk perjalanan panjang, Ros.”
Claire menutup pintu bagian belakang, lalu masuk ke dalam mobil. “Apakah kau sudah siap, sayang?”
“Cih, menjijikkan. Jangan panggil aku dengan sebutan menggelikan seperti itu.”
Tawa Claire pecah seketika. “Kau mudah di goda.” Mobil itu pun melaju meninggalkan kampus tersebut.
Disepanjang perjalanan, Rose bernyanyi dengan senang. Begitupula dengan Clair.e Mereka mengikuti alunan lagu yang terus berbunyi menemani kesunyian. Sesekali, Claire berteriak menyalurkan kebahagiannya.
Rose menggoda Claire dengan mentoel pipinya. Mereka pun saling bercanda satu sama lain, dan tak menyadari sesuatu yang melintas di depan mobilnya hingga si pengemudi mengerem mendadak.
“Ada apa, Claire?” tanya Rose menyentuh dadanya karena terkejut.
“Aku merasa tak ada yang melintas, tapi aku melihat bayangan hitam. Oh astaga...!” Claire turun dari mobil dan tak mendapati yang dimaksud.
“Apakah benar? Tak ada apapun.” Rose juga ikut turun mobil, dan menatap ke segala penjuru. Perasaan merinding pun terasa jelas. Ia bergidik ngeri karena merasa aneh. “Kita pergi dari tempat ini,” ajaknya segera masuk ke dalam mobil.
Claire mengangguk setuju. Mereka pun meninggalkan tempat itu segera. Tak lama kemudian, dibalik pohon munculah Eden yang sedang membawa potongan lengan ditangan. Darah merah kian menetes di tanah, dan juga beberapa luka yang mulai sembuh di tubuhnya menghilang.
“Apa yang kau lihat, Eden?” tanya James memegang pundak Eden. “Sial! Buang lengan itu!”
Eden melempar lengan itu sembarangan. Mata biru safir miliknya bersinar terang. Perlahan tapi pasti, ia memegang jantungnya yang berdetak sangat kencang.
“Ada apa dengan dirimu, kaawan?” James memegang erat pundak Eden sampai menoleh.
“Hah..., bisa tidak jangan menyentuh pundakku.” Pria itu menepis kasar tangan James.
“Wow! Ada apa denganmu, Man?”
“Ini aneh, kenapa jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya?” Eden berlari dengan cepat menuju ke jalan raya, bekas tempat mobil milik gadis asing yang baru saja dilihatnya.
“Mungkin karena kau sakit. Semalam kau tak tidur sama sekali bukan?” James melirik ke arah Eden yang teerlihat kebingungan dengan dirinya.
“Lupakan. Kita ke puncak gunung segera.” Eden hendak terbang, tapi dicekal lengannya oleh James.
“Ada beberapa orang di sana. Tadi malam aku sudah berkeliling hutan, di desa tak jauh dari rumahmu, akan ada kunjungan dari orang kota.” James memiliki telinga tajam, dan mudah mendapatkan informasi. “Jadi, bersiaplah berbaur dengan para manusia. Karena kita akan berada di sana.”
Eden memutar bola matanya jengah dnegan tingkah James yang terlihat kekanak-kanakan. Pria itu bahkan bersenandung ria, seolah lama tidak bertemu dnegan para manusia.
“Aku rasa kau lupa, bahwa kau adalah manusia, Jam.” Eden berjalan terlebih dulu, lalu menghilang sebelum James mengeluarkan suaranya.
“f**k you, Eden! Seharusnya kau tak meninggalkan aku!” James sangat kesal kaena Eden meninggalkan dirinya begitu saja. Ia ingi berteriak dengan keras, mengumpat pria itu. akan tetapi, pasti semua yang dilakukan sia-sia.
“Kendalikan dirimu, sebaiknya kau menahan amarahmu, James.” Itulah perkataan motovasi yang keluar dari mulut James ketika menghadapi Eden.
Bersambung