4- Keputusan
“Iya dia takut sama orang asing,” sahut Ali dengan ketus, karena masih kesal dengan perkataan Faras tadi.
“Maaf kalau perkataanku tadi menyinggungmu, Ali,” ujar Faras dengan sungguh-sungguh.
Sofika semakin terpana dengan sikap Faras, yang menurutnya sangat baik.
Ali tersenyum mengejek. “Tulus?“ tanyanya, tak percaya pria itu berani meminta maaf atas kesalahannya yang dia anggap sudah menghinanya.
“Ali,” dengan gemas, Sofika mencubit lengan Ali.
“Iya, aku tulus minta maaf sama kamu,” ujar Faras dengan mata yang melirik sekilas ke arah tangan Sofika yang nempel di lengan Ali.
Sofika segera melepaskan tangannya, yang sedang mencubit lengan Ali.
Ali mengusap lengannya yang sedikit memanas, akibat cubitan sahabatnya itu.
“Ali!“ Sofika memelototi sahabatnya itu.
“Iya, aku maafkan,” dengan malas Ali menjawab.
“Terimakasih,” dengan seulas senyuman, Faras berkata.
“Jadi maksudku memintamu bertemu adalah untuk,” perkataan Faras terjeda oleh pelayan yang mengantar pesanan.
“Silakan disantap makanannya, semoga suka,” ucap pelayan itu dengan sopan.
“Terimakasih,” mereka bertiga kompak berkata.
“Ayo makan dulu,” setelah pelayan pergi, Faras mempersilakan.
Mereka bertiga makan dalam diam, hanya suara denting sendok yang saling beradu yang terdengar.
Ali makan dengan santai.
Berbeda dengan Sofika dan Faras yang makan dengan perasaan gelisah.
Sofika takut, Faras akan menolaknya. Dia sadar betul, dengan penampilannya yang jauh dari Faras.
Faras yang tampan, gagah, mapan, dan selalu rapi. Pastinya, dia akan mudah disukai banyak wanita.
Sementara dirinya, bertubuh gemuk, yang pastinya bukan tipe banyak pria. Sofika semakin gelisah.
Faras sendiri begitu gelisah, dia sedang memikirkan kata-kata yang cocok untuk mengatakan keputusannya. Apalagi ada Ali disini.
Dia jadi kesal, kenapa Ali ikut sih!
Makanan akhirnya tandas.
“To the poin aja, biar nggak lama,” ucap Ali dengan nada dingin, dia menatap Faras dengan tatapan kurang suka.
“Ali,” dengan berbisik, Sofika mencubit lengan temannya itu.
Ali hanya mendesah pelan, sambil menyikut lengan temannya yang suka sembarangan main cubit, sungguh kekerasan!
Faras menatap Ali dan Sofika bergantian. “Kalian berdua sangat cocok sepertinya,” lalu tersenyum.
Sebenarnya, dalam hati ingin Faras tertawa terbahak-bahak melihat tingkah Ali dan Sofika. Dia merasa Ali menyukai gadis gemuk itu, sungguh menggelikan, pikirnya.
“Tidak, tidak. Kami hanya berteman saja!“ tiba-tiba Sofika berkata dengan nada panik, intonasi bicaranya bahkan terdengar setengah berteriak.
Berbeda dengan Sofika yang langsung meralat perkataan Faras. Ali malah diam tak berkata-kata, dia hanya menyeruput minumannya dengan raut wajah yang santai.
Faras tak menanggapi perkataan Sofika.
Ali menatap Faras dengan tatapan dingin, pun Faras yang balas menatapnya.
“Aku ingin mengatakan keputusan tentang perjodohan yang dibuat orang tua kita,” sekarang Faras beralih menatap Sofika.
Sofika menahan napas untuk beberapa detik. Kedua tangannya saling meremas di bawah meja, raut tegang tampak jelas dari raut wajahnya.
Bahkan, keringat terasa mulai membasahi pelipisnya.
Rasa cemas dan takut membuat gadis itu rasanya ingin menangis, tapi sekuat tenaga dia tahan.
Masa menangis untuk hal yang belum pasti. Tapi, andai Faras menolaknya, dia sudah merencanakan untuk menangis sepuasnya di kamar sambil mengurung diri seharian.
Tangan hangat seseorang tiba-tiba saja menepuk-nepuk kedua tangan Sofika yang sedang saling meremas.
Sofika menatap tangan hangat itu. Iya, tangan itu milik Ali, sahabatnya.
Sofika menoleh sekilas ke arah Ali, seolah mengatakan terimakasih lewat tatapan matanya.
Ali hanya tersenyum tipis, sambil mengangguk, coba memberi ketenangan untuk sahabatnya itu.
Mereka kembali fokus kepada Faras.
“Katakan apa keputusan kamu,” dengan tegas Ali berkata, membuat Faras merasa jengah. Ali selalu saja ikut campur, pikirnya.
“Fika, aku sudah memikirkannya semalaman.“ Faras mulai mengeluarkan kata-kata setelah mengembuskan napas gelisah.
Tangan Sofika semakin gemetar, Ali bisa merasakannya. Karena, tangannya masih ada di atas tangan Sofika yang saling meremas.
Faras jadi teringat mimpinya semalam. Mimpi yang didominasi oleh Sofika.
Gadis itu terus saja mengejar-ngejarnya sampai akhirnya dia tertangkap, dan menjadi makanan gadis itu.
Ya, Faras bermimpi Sofika yang tubuhnya besar berkali-kali lipat, dia mengejarnya untuk dijadikan makanan. Hiiih, Faras bergidik ngeri.
Berbeda dengan Faras, Sofika justru mimpi indah. Bermimpi, menikah dengan Faras, dan lelaki itu sangat mencintai dirinya. Itu adalah mimpi terindah Sofika.
“Iya, dan…” bibir Sofika bergetar, membuat Ali merasa kesal kepadanya, karena sudah terlihat sekali kalau Sofika benar-benar jatuh hati kepada pria yang bahkan belum lama dikenalnya.
“Aku, aku…” Faras merasa tiba-tiba saja panas dingin hendak mengatakan keputusan ini.
Meski tampan dan rupawan juga pernah sekolah di luar negeri, tapi dia belum pernah sekalipun yang namanya pacaran. Kriterianya terlalu tinggi, dia merasa belum menemukan yang cocok selama ini.
Ali semakin jengkel melihat tingkah Faras.
“Katakan saja, apa susahnya sih!“ rasanya ingin sekali Ali menjedotkan kepala Faras ke meja, saking jengkelnya .
Faras mendengus mendengar perkataan Ali.
“Aku, ekhm, ekhm,” beberapa kali, Faras berdehem untuk memberikan semangat kepada dirinya sendiri.
“Aku menerima perjodohan ini, dan siap menikahi kamu,” dengan lantang Faras berkata, setelahnya dia merasa malu karena semua mata tampak menatap ke arahnya.
Bahkan terdengar desas-desus dari beberapa pelanggan kafe.
“So sweet banget sih, cowok setampan itu melamar gadis gemuk itu.“
“Wah pasti ceweknya kaya, makanya cowoknya mau,” desus yang lainnya.
“Dapet durian runtuh tuh cewek, cowoknya ganteng banget,” timpal yang lainnya.
“Seperti langit dan bumi,” sahut yang lainnya.
Dan masih banyak lagi desas desus yang terdengar. Membuat kuping Faras, Sofika dan Ali panas.
Terutama Sofika, yang merasa semua orang sepertinya tak rela Faras menikahi dirinya yang berbadan besar.
Ali mengembuskan napas gusar.
Sementara, Sofika masih diam tak percaya. Faras yang menurutnya sempurna mau menerima perjodohan ini.
“Kamu jangan main-main dengan sahabatku ini. Awas saja kalau berani kamu menyakitinya, aku tak akan segan-segan menyakitimu,” dengan nada dingin Ali berkata.
Sofika terkejut mendengar perkataan Ali, begitu pun dengan Faras.
“Ali, kenapa bicara seperti itu?“ Sofika menatap sahabatnya dengan resah, takut Faras marah sebenarnya.
“Aku sedang menegaskan, kepada dia. Kalau dia sudah memilihmu, maka dia tak boleh main-main dan menyakiti kamu,” jawab Ali dengan nada yang melembut.
Faras menatap mereka berdua bergantian dengan senyuman miring.
“Kamu menyukai dia kah?“ ejek Faras, yang dia tujukan untuk Ali.
Sofika terkejut mendengar perkataan Faras, dia menatap pria itu dengan gelengan kepala. “Tidak, tidak begitu,” dia merasa Faras tidak suka dengan kedekatannya dengan Ali.
Apakah Faras cemburu? Sofika tersenyum lebar, dalam hati dia merasa bahagia dengan apa yang dia pikirkan saat ini.
“Iya,” jawab Ali serius.
Sofika membulatkan mulut, untuk sesaat. Tapi kembali tenang setelah Ali melanjutkan perkataannya.
“Sebagai sahabat, kami sudah sangat dekat bagai saudara.“ Ali melanjutkan perkataannya.
“Oh,” hanya itu respons Faras, yang sebenarnya tidak percaya.
“Lalu bagaimana dengan kamu Fika?“ Faras menatap Sofika.
“Aku, emmh,” badannya terasa panas dingin saking groginya. “I iya, aku juga menerima pernikahan ini,” jawab Sofika malu-malu.