Bab 3 - Cinta Pertama

1685 Words
3- Cinta Pertama Kedua orang tua Faras saling tatap, lalu mendesah. “Iya kami juga tidak tahu kalau ternyata setelah beberapa tahun tak bertemu perubahannya sangat drastis,” sahut ayahnya terkekeh. Faras hanya memasang wajah kecut. “ Tapi kan yang penting anaknya baik,” timpal ibunya. “Baik?“ Faras tak tau baik atau tidak kan baru ketemu sekali. “Iya baik,” timpal ayahnya. “Tapi, dia sangat bukan tipeku. Berbobot sih iya, sayangnya bobot badannya yang unggul,” tawa pun pecah dari mulut Faras. “Sekarang kamu mengejek, tapi nanti setelah menikah pasti jatuh cinta,” dengan nada kesal, ibu berkata. Tidak suka saja mendengar perkataan anaknya yang sengaja mengejek Sofika. “Mana mungkin begitu Bu? Ibu ini ada-ada saja,” sahut Faras dengan tawa yang pecah. “Jadi, kamu tidak mau menikah dengan Sofika?“ tanya ayahnya. Faras diam, coba berpikir dengan kepala dingin dan tenang. Setelah hampir lima menit berpikir, akhirnya dia menemukan jawabannya. Sementara itu, malamnya di rumah Sofika Sofika begitu riang dengan binar bahagia di wajahnya. Dia menatap ponsel, yang kini wallpapernya sudah berganti dengan foto seorang pria tampan, yaitu Faras. Saat pertemuan, dia sempat meminta Selfi bareng pria itu. “Ih ganteng banget sih suami Aku,” gumamnya dengan penuh kebahagiaan, lalu memeluk erat ponselnya. Dia tak peduli, jika jam sudah menunjukkan pukul setengah dua dini hari. “Ah, kamu sudah membuatku bucin,” kekeh Sofika. Dia sendiri tak percaya, jika akan mendapatkan jodoh pria setampan dan selembut Faras. Sopan, tampan dan baik hati, itulah penilaiannya untuk Faras. Ting Terdengar suara nada pesan dari ponsel yang saat ini sedang dia dekap erat. Sofika segera melihat pesan dari siapa itu. Ternyata dari Ali. “Jam segini, dia mengirim pesan? Dasar kurang kerjaan,” gumamnya, heran. Lalu membaca pesan masuk tersebut. “Tidur, sudah malam. Jangan mikirin lelaki yang belum tentu juga sedang mikirin Kamu saat ini,” itu adalah bunyi pesan masuk dari Ali, sahabatnya. Dengan senyuman sinis tersemat di bibirnya yang tipis, Sofika pun menutup pesan tanpa membalas. Dia melangkahkan kaki menuju pintu yang mengarah ke balkon kamarnya. Dengan perlahan, Sofika membuka pintu dan keluar dari kamar, lalu menatap ke arah rumah Ali dari balkon kamarnya. Benar dugaannya ternyata. Ali tampak sedang duduk di gazebo yang ada di halaman depan rumahnya, yang memang berbentuk sebuah saung sederhana, dengan lantai dari papan jati, dan dialasi karpet tebal. Tempat yang nyaman, yang biasa dirinya dan Ali gunakan untuk sekedar mengobrol, bercanda, curhat ataupun main ular tangga, sejak mereka masih kecil. Ali melambaikan tangannya dari saung itu. Sofika hanya menggelengkan kepalanya dengan geli, balas melambai. Ting Pesan kembali masuk dari Ali. “Tidur, udah jam segini.“ Sofika membaca pesan itu, lalu mengetikkan balasan. “Kamu sendiri kenapa begadang?“ “Aku sedang patah hati,” balas Ali. “Masa? Kok aku nggak pernah tau, kamu punya pacar? Dasar curang!“ balas Sofika, ditambah emot marah. “Kamu nggak peka amat sih,” balas Ali. “Peka? Membingungkan jadi orang,” balas Sofika. “Kamu yang bikin aku patah hati,” balas Ali dengan emot jengkel. “Wek Wek Wek,” balas Sofika, dia tau Ali suka bercanda. “Terserah deh, cepet tidur. Calon suamimu itu belum tentu mikirin Kamu,” pesan terakhir Ali, karena setelahnya, dia terlihat bangkit dan masuk ke dalam rumahnya. Sofika pikir, Ali pasti sudah mengantuk dan mau tidur. “Iya, iya! Dasar cenayang!“ pesan balasan terakhir Sofika, yang tidak dibalas Ali, karena sahabatnya itu benar-benar sudah ngantuk berat ternyata. Hingga, saat masuk ke dalam kamar, Ali langsung saja merebahkan tubuh di atas tempat tidur, dan saat kepalanya menempel ke bantal, dia langsung terlelap. Sofika pun sama, dia sudah beberapa kali menguap. Setelah, mematikan lampu kamar dan menggantinya dengan lampu tidur, dia pun langsung terlelap. Bibirnya tampak menyunggingkan senyuman saat tidur. Dia mimpi indah sepertinya. Sepertinya dugaan Ali salah. Ali pikir Faras tidak memikirkan Sofika. Tapi, kenyataannya, saat ini Faras malah susah tidur karena memikirkan Sofika. Bahkan, saat tidur pun lelaki itu sampai memimpikan wanita gemuk itu. Besok paginya, di rumah Faras. “Bagaimana? Kamu sudah memikirkannya baik-baik bukan? Kamu sudah membuat keputusan? Apa keputusanmu?“ Sang Ayah sudah benar-benar tak sabar ingin tau jawaban anaknya. Faras meletakkan kembali sendok yang sudah hampir sampai ke mulutnya. Mengingat wanita itu, nafsu makannya tiba-tiba saja menguap entah terbang kemana. Melihat gelagat anaknya yang tampak kesal, sang ibu langsung menyahuti perkataan suaminya. “Lebih baik makan dulu, setelah habis barulah kita bahas hal itu,” sengaja melirik suaminya. Paham maksud istrinya, sang suami pun tak lagi berkata-kata, dan hanya fokus menghabiskan makanan di piringnya. Faras tersenyum lega, ibunya memang yang paling pengertian. Faras pun mulai makan, meski sebenarnya kurang nafsu. Selesai makan, mereka pun mulai berbincang kembali. Membahas keputusan Faras, mau atau tidaknya menikah dengan Sofika. “Temui gadis itu, dan utarakan keputusan kamu. Kami tak akan memaksa,” ujar sang ayah, setelah mereka berbincang hampir lima belas menit lamanya. “Baiklah, yah,” dengan berat hati Faras berkata. Dia pun mengirimkan pesan kepada Sofika, yang isinya mengajak bertemu pada jam makan siang. Di rumahnya, Sofika tersenyum lebar membaca pesan sepagi ini dari Faras. “Bisakah kamu datang untuk makan siang bareng siang ini, di Sweet Kafe,” itu isi pesan yang dikirim oleh Faras. Sofika menatap pesan itu, lalu memeluk ponselnya. Faras adalah cinta pertamanya. “Aku sepertinya jatuh cinta padamu, Faras,” gumamnya dengan tawa kecil penuh kebahagiaan. Sofika pun tersenyum lebar, dia berputar-putar dan menari-nari dengan binar bahagia dari sorot matanya. “I love you Faras, I love you,” gumamnya sepenuh hati. Saking bahagianya , Sofika sampai tidak sadar kalau ibunya sudah berdiri diambang pintu depan raut khawatir. Merasa takut anaknya patah hati. “Fika,” panggil ibunya. Sofika langsung menghentikan aksinya, dan menoleh ke arah sang ibu yang menatapnya dengan tatapan cemas. Pipi Sofika sontak merona karena malu. “Ibu,” gumamnya pelan. Ibunya langsung menghampiri, dan meraih tangan besar anaknya, lalu membawanya duduk di sisi tempat tidur. “Fika, kamu jatuh cinta sama Faras?“ tanyanya. Sofika mengangguk yakin. “Sepertinya iya,” jawabnya dengan pipi yang semakin merona. “Sayang,” dengan lembut ibunya membelai kepala anaknya. Sofika diam menatap ibunya dengan heran, karena bisa melihat kekhawatiran dari raut wajah ibunya. “Ibu senang kamu menyukai calon suamimu itu, tapi ingatlah satu hal. Janganlah terlalu cinta begitu, ibu tidak mau kamu bertepuk sebelah tangan. Atau, kamu sakit hati karena ternyata pria itu tak memilihmu,” ujar sang ibu dengan lembut. Sofika menggigit bibir. Dia mengerti maksud ibunya. “Aku paham Bu,” jawabnya, tanpa mengeluarkan banyak kata-kata lagi. Ibunya tersenyum lembut. “Kamu cantik, kamu baik, kamu harta ayah dan ibu paling berharga. Kami ingin kamu bahagia,” ujarnya. Setelah berbicara sebentar, ibunya keluar dari kamar. Sofika diam termenung menatap pantulan dirinya di dalam cermin. Menyentuh pipi cabinya. “Aku cantik?“ Sofika tertawa. “Faras tampan dan sempurna, benar kata Ali, apa dia mau menikahi wanita gendut kayak aku?“ gumamnya, diiringi embusan napas pelan. Rasa bahagianya yang membuncah tadi, entah terbang ke mana. Karena, yang dia rasakan saat ini adalah hatinya yang gelisah. Dipenuhi kecemasan, jangan-jangan Faras memintanya bertemu untuk menolak dirinya. Dia menggelengkan kepalanya kuat-kuat. “Dia tak akan menolakmu Sofika, tidak akan! Meski kamu gemuk, kamu adalah wanita cantik! Ingat kata ibumu, kamu itu baik, dan harta berharga milik ibu dan ayah!“ Sofika berusaha memberikan afirmasi positif, untuk menumbuhkan kembali rasa percaya dirinya, yang berkurang tujuh puluh lima persen. Siang mendebarkan yang Sofika tunggu pun akhirnya tiba. Sofika memakai celana jeans nomor tiga puluh enam, dipadu atasan blouse warna biru langit dan rambut panjang yang dia gerai. Ditambah sedikit pondation, dengan sapuan bedak tipis dan bibir yang diwarnai dengan liptin warna merah muda pucat. Dia terlihat segar dan manis, meski bertubuh gemuk. “Aduh yang mau janjian, putri ibu cantik banget sih,” goda ibunya dengan senyuman merekah. Dengan senyuman malu-malu, Sofika memeluk lengan ibunya. “Ibu, apaan sih,” ujarnya sangat pelan, dan coba menetralkan detak jantungnya karena malu. “Ya, udah berangkat sana, nanti kesiangan loh. Kasihan Faras,” goda ibunya kembali, dengan mata mengerling nakal. “Ibu,” pipi Sofika semakin merona. Kemudian, dia pamit. Tapi saat melihat mobil Ali ada di halaman rumahnya, Sofika segera menuju ke rumah Ali. “Pak, saya mau ke rumah Ali dulu sebentar ya,” ujar Sofika kepada sopir yang akan mengantarnya. “Baik, non,” jawab Pak Sopir dengan sopan. Sofika melangkah cepat menuju ke rumah Ali. Kebetulan, Ali baru keluar dari rumahnya, dan sepertinya hendak pergi lagi. “Ali!“ panggil Sofika, dari luar gerbang. Ali menoleh. “Fika,” lalu menghampiri sahabatnya dan membuka pintu gerbang. “Ali antar aku ya, aku grogi banget,” pinta Sofika dengan wajah memelas. “Anter? Kemana?“ tanya Ali. “Aku mau ke Sweet Kafe, janjian sama Faras,” jawab Sofika dengan pipi merona. Ali terkekeh. “Aku? Nganterin kamu kencan? Enggak salah? Yang ada Aku jadi kambing congek disini!“ jawab Ali dengan tawa yang akhirnya pecah. “Please Ali,” dengan raut wajah yang memelas. Dan disinilah sekarang mereka berada. Di Sweet kafe. Tepat berada di hadapan Faras. Faras hanya menghela napasnya kasar. Menatap jengkel dua manusia di hadapannya. “Fika, apa kamu tak bisa jika datang tanpa dia,” melirik Ali sekilas. Ali merasa tersinggung dengan ucapan Faras, yang terlihat jelas tak ingin ada dirinya. “Kamu tak suka ada aku?“ dengan menahan emosi, di kolong meja tangannya mengepal. “Iya, karena ada hal penting yang hanya ingin aku bicarakan dengannya.“ Faras melirik Sofika sekilas. Dilirik Faras, pipi Sofika memerah. Ali melirik sahabatnya. Sofika menatap Ali. “Maaf ya,” ujarnya. “Aku yang meminta Ali mengantar ke sini, karena merasa grogi,” lanjut Sofika dengan malu, karena takut Faras berpikir dirinya yang penakut dan tidak mandiri. Padahal bukan begitu, dia hanya cemas karena takut ditolak. Sebelumnya dia begitu percaya diri, Faras tak akan menolaknya. Namun, setelah mendengar perkataan ibunya, dia jadi merasa gelisah. “Kenapa? Apa kamu takut kepadaku?“ dengan lembut, Faras menatap Sofika. Membuat gadis itu tak karuan perasaannya, dan pipinya semakin merona. Dan keromantisan itu terhenti oleh perkataan Ali.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD